cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota adm. jakarta selatan,
Dki jakarta
INDONESIA
Buletin Iptek Tanaman Pangan
Published by Kementerian Pertanian
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Arjuna Subject : -
Articles 189 Documents
Pupuk Majemuk dan Pemupukan Hara Spesifik Lokasi pada Padi Sawah Zaini, Zulkifli
Buletin Iptek Tanaman Pangan Vol 7, No 1 (2012): Iptek Tanaman Pangan
Publisher : Puslitbang Tanaman Pangan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Compound Fertilizer Formulation in Indonesia: Need for SSNM (Site Spesific Nutrient Management). The government had reduced fertilizer subsidy since 1st April 2010, which increased fertilizer price by 25-40%. Fertilizer price is predicted to further increasing, thus farmers must be more efficient in using fertilizer for their rice field. Landholding for rice farmers in Indonesia is mostly small and varying. Farming practices vary among farmers and among fields, therefore crop needs for nutrient inputs vary greatly among fields. For this reason we are suggesting the need for the formulation of up to three types of NPK fertilizers for rice in Indonesia: (a) NPK source with ratio about 1:1:1 as in Phonska, (b) NK source for application as topdressing to obtain high yield on land without application of crop residues and organic matter, or K soil is deficient, and (c) NP source with 1:1 ratio for N:P, for use in situation where yield was low and high application of cropresidues or organic matter, or high soil supply of K. IAARD in collaboration with IRRI had developed the Nutrient Manager for Rice, an interactive computer-based decision tool, which provides fertilizer guideline for a rice field, based on the response to easy-to-answer multiple choice questions. The web application of Nutrient Manager for Rice for Indonesia was released by Minister of Agriculture and could be accessed through http://webapps.irri.org/nm/id. It became evident that extension workers could be reached faster through internet to improve their knowledge for fertilizer management in Indonesia. The target users are (a) AIAT extensionist, (b) field extension, and (c) progress farmers. With SSNM technology, it is expected that the use of fertilizer by farmers it more rational, and at the same time increase rice production as well as farmersincomes.Key words: Fertilizer formulation, SSNM
Pupuk Majemuk dan Pemupukan Hara Spesifik Lokasi pada Padi Sawah Zaini, Zulkifli
Buletin Iptek Tanaman Pangan Vol 7, No 1 (2012): Iptek Tanaman Pangan
Publisher : Puslitbang Tanaman Pangan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Compound Fertilizer Formulation in Indonesia: Need for SSNM (Site Spesific Nutrient Management).The government had reduced fertilizer subsidy since 1st April 2010, which increased fertilizer price by 25-40%. Fertilizer price is predicted to further increasing, thus farmers must be more efficient in using fertilizerfor their rice field. Landholding for rice farmers in Indonesia is mostly small and varying. Farming practicesvary among farmers and among fields, therefore crop needs for nutrient inputs vary greatly among fields. Forthis reason we are suggesting the need for the formulation of up to three types of NPK fertilizers for rice inIndonesia: (a) NPK source with ratio about 1:1:1 as in Phonska, (b) NK source for application as topdressingto obtain high yield on land without application of crop residues and organic matter, or K soil is deficient, and(c) NP source with 1:1 ratio for N:P, for use in situation where yield was low and high application of cropresidues or organic matter, or high soil supply of K. IAARD in collaboration with IRRI had developed theNutrient Manager for Rice, an interactive computer-based decision tool, which provides fertilizer guidelinefor a rice field, based on the response to “easy-to-answer multiple choice questions”. The web application ofNutrient Manager for Rice for Indonesia was released by Minister of Agriculture and could be accessedthrough http://webapps.irri.org/nm/id. It became evident that extension workers could be reached fasterthrough internet to improve their knowledge for fertilizer management in Indonesia. The target users are (a)AIAT extensionist, (b) field extension, and (c) progress farmers. With SSNM technology, it is expected that theuse of fertilizer by farmers it more rational, and at the same time increase rice production as well as farmers’incomes.
Pengembangan Padi Hibrida di Indonesia Satoto Satoto; Bambang Suprihatno
Iptek Tanaman Pangan Vol 3, No 1 (2008): April 2008
Publisher : Puslitbang Tanaman Pangan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pengembangan varietas padi hibrida secara komersial setidaknya didasarkan atas dua hal, yaitu keunggulan varietas hibrida tersebut dan kemudahan produksi benihnya. Keunggulan varietas padi hibrida didasarkan atas fenomena heterosis yang diharapkan muncul, terutama potensi hasil, sedangkan kemudahan produksi benih dapat dilakukan dengan penggunaan galur mandul jantan dengan karakter pembungaan yang mendukung persilangan alami. Penelitian padi hibrida di Indonesia dimulai pada tahun 1983 dengan tujuan menjajaki prospek dan kendala penggunaan padi hibrida. Sejak 1998 penelitian lebih diintensifkan dengan melakukan pembentukan tetua padi hibrida yang berasal dari plasma nutfah sendiri dengan target mendapatkan padi hibrida yang adaptif di lingkungan Indonesia dan berpotensi hasil 15-20% lebih tinggi dibanding varietas inbrida terbaik. Sejak 2001 penelitian padi hibrida melibatkan lebih banyak peneliti dari berbagai disiplin ilmu dengan tujuan meningkatkan stabilitas heterosis dan mendapatkan teknik budi daya yang sesuai untuk padi hibrida. Dari program pembentukan tetua dan hibrida telah diperoleh sejumlah padi hibrida harapan, kandidat galur mandul jantan (GMJ) baru beserta pasangannya, dan galur-galur restorer. Pada tahun 2002 telah dilepas varietas Maro dan Rokan, disusul Hipa3 dan Hipa4 pada tahun 2004, Hipa5 Ceva dan Hipa6 Jete pada tahun 2007. Di lingkungan yang sesuai, varietas-varietas tersebut mampu menghasilkan gabah 1,0-1,5 t/ha lebih tinggi dibanding varietas inbrida terbaik di daerah yang bersangkutan. Pada umumnya varietas padi hibrida yang sudah dilepas termasuk 25 varietas padi hibrida swasta masih mempunyai kelemahan, antara lain rentan terhadap wereng coklat, hawar daun bakteri, dan atau tungro. Tingkat heterosis dari varietas padi hibrida yang dilepas oleh BB Padi bervariasi antarlokasi. Dengan kata lain, hibrida tersebut bersifat spesifik lokasi. Pengujian selanjutnya menunjukkan sejumlah hibrida yang unggul merupakan turunan dari GMJ IR58025A, IR62829A, dan IR68897A. Pemuliaan untuk membentuk galur-galur tetua dan hibrida yang lebih baik dilakukan secara terus-menerus. Pembentukan dan perbaikan GMJ dan restorer yang tahan wereng coklat, hawar daun bakteri atau tungro sedang dalam proses dan saat ini sudah diperoleh sejumlah galur mandul jantan dan restorer yang tahan wereng coklat dan hawar daun bakteri.
Jagung Berbiji Putih sebagai Bahan Pangan Pokok Alternatif M. Yasin H.G.; Wem Langgo; Faesal Faesal
Iptek Tanaman Pangan Vol 9, No 2 (2014): Desember 2014
Publisher : Puslitbang Tanaman Pangan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

White grain maize has a good potensial for an alternative staple food, because it has an affinity to rice, in terms of its physical appearance, chemical properties and taste. As apposed to the yellow maize, white maize is characterized by lacking of carotenoid pigmentasion. Indonesian Agency for Agricultural Research and Development (IAARD) had released four improved white maize varieties, namely “Anoman 1” and “Srikandi Putih 1” as open pollinated variety, and “Bima Putih 1” and “Bima Putih 2” as hybrid variety. Anoman 1 is drought tolerance, while Srikandi Putih 1 contains high protein quality, where the lysine amino acid content is twice as much as that of regular grain maize. The grain of Anoman 1 variety contains carbohydrate as much as that of rice or wheat. Growing improved variety of white maize, coupled with proper fertilization, could increase grain yield three times more compares to yield of local variety. Procedures and techniques for varietal improvement of the white maize is similar to those of regular yellow maize. Farmers group with some training could become a seed producer of an open pollinated variety, whenever the seeds are needed. Small scale farmers are suggested to grow an open-pollinated variety, but if the market demands are increasing, hybrid variety is considered feasible to be recommended. Yield potential of hybrid variety Bima Putih 1 and Bima Putih 2 is quite high, up to 10 t/ha day grain. Therefore, if the white grain maize is fully accepted for the national staple food, the national food sufficiency could be easily attained.
Kontroversi System of Rice Intensification (SRI) di Indonesia Mahyuddin Syam
Iptek Tanaman Pangan Vol 1, No 1 (2006): Juli 2006
Publisher : Puslitbang Tanaman Pangan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

System of Rice Intensification (SRI) yang dikembangkan di Madagaskar sekitar 20 tahun yang lalu telah menyebar di banyak negara termasuk Indonesia. Paket rekomendasi SRI yang berlaku secara umum adalah: (1) tanam bibit muda berumur 8-15 hari, satu batang per rumpun, (2) tanam pindah dengan akar horizontal dan kedalaman 1-2 cm, (3) jarak tanam 25 cm x 25 cm atau lebih lebar, (4) pengairan berkala (intermitten), (5) penyiangan dengan landak 2-4 kali sebelum pri- mordia, dan (6) penggunaan bahan organik atau kompos sebanyak mungkin sebelum tanam. Hasil padi SRI dilaporkan mencapai 12-16 t/ha gabah kering panen (GKP), jauh lebih tinggi dari rata-rata hasil padi sawah nasional. Hal ini telah mendorong berbagai pihak di dalam dan luar negeri untuk menguji SRI dengan membandingkannya dengan cara budi daya yang diterapkan petani dewasa ini. Untuk mendapatkan gambaran terkini, Yayasan Padi Indonesia (YAPADI) melakukan survei di Ciamis dan Garut, Jawa Barat, dua di antara beberapa daerah yang menerapkan SRI di Indonesia. Hasil kegiatan YAPADI menunjukkan bahwa SRI tidak diterapkan secara luas oleh petani di kedua kabupaten itu. Hal ini berkaitan dengan tidak menonjolnya hasil panen yang diperoleh, banyaknya curahan tenaga kerja yang diperlukan, sukarnya mendapat pupuk kandang, dan harga produk yang tidak sesuai dengan harapan petani. Oleh karena itu, apabila tujuan pengembangan tanaman padi adalah untuk meningkatkan produktivitas, maka SRI kurang tepat untuk dianjurkan secara luas. Terlepas dari hal itu, pendekatan penyuluhan dalam kegiatan SRI dapat dipakai sebagai acuan sistem penyuluhan yang akan datang. Dalam hal ini petani didudukkan sebagai mitra dan didorong untuk mandiri melalui kontak yang cukup intens dan praktek lapang. Penggunaan bahan organik dan pemakaian air secara efisien melalui pengairan berselang (intermitten) sudah lama dianjurkan peneliti dan perlu dikembangkan lebih luas. Penggunaan bibit muda satu batang per rumpun mengurangi penggunaan benih sehingga menguntungkan petani meski tanaman cukup rentan terhadap hama keong emas atau tersapu hujan lebat.
Strategi Pengembangan Pasar Domestik Pertanian dalam Menghadapi Persaingan Global Djoko Said Damardjati
Iptek Tanaman Pangan Vol 6, No 2 (2011): Desember 2011
Publisher : Puslitbang Tanaman Pangan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Strong and competitive domestic market is a key for facing the world market which is increasingly liberal, open and global. The domestic market structure will change dynamically to adjust the development and to be compatible with the world market. Therefore, the development for better market infrastructure, institutional, human resources, policy and other support facilities should be directed in such a way as to be able to carry out the distribution of goods efficiently that benefits all players, including farmers’ as a producer and consumer. Transformation from farmer producers to farmer suppliers through GAPOKTAN is required. At the distribution and marketing level, there is a need to develop institutional and efficient marketing system through the establishment of the agribusiness terminal (TA) and agribusiness sub-terminal (STA). To build an effective marketing network synergistic cooperation is needed among all agencies and stakeholders, in building and empowering institutional facilities of the existing markets and streamline of critical nodes in the agricultural marketing chains. Traditional markets and modern markets (super market and hypermarket) as the primary goal of marketing of agricultural commodities are objects that need to be fairly regulated. With the very dynamic market developments as demanded by consumers, the traditional market is expected to reorganize themselves into semi-modern interprices in order to remain a good choice for consumers and competitive with modern markets. The development of modern markets both supermarkets and hypermarkets also need to be regulated so that their growth would not to be ‘counter-productive’ with the efforts of building a strong and competitive domestic product market. Competitive domestic market of the local products that compete well with imported products, and the high absorption of the local products is expected to the entry of imported products into the Indonesian market.
Pengelolaan Plasma Nutfah secara Terpadu Menyertakan Industri Perbenihan Nani Zuraida; Sumarno Sumarno
Iptek Tanaman Pangan Vol 2, No 2 (2007): September 2007
Publisher : Puslitbang Tanaman Pangan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Plasma nutfah sering disalah-maknai dengan keanekaragaman hayati atau kumpulan berbagai spesies tahaman. Padahal plasma nutfah atau sumber daya genetik adalah koleksi keragaman (fenotipik dan genotipik) dalam masing-masing spesies tanaman. Kesalahpahaman makna tersebut mengakibatkan kegiatan konservasi ìplasma nutfahî menjadi tidak kena sasaran. International Plant Genetic Resources Institute menekankan pentingnya pemerintah nasional (negara) mengelola plasma nutfah sejalan dengan ketentuan National Soverignity Right of Plant Genetic Resources/CBD. Pengelolaan plasma nutfah merupakan kegiatan penggunaan dana (cost center), tanpa secara langsung menghasilkan pemasukan uang. Pemerintah yang mendanai kegiatan demikian pada umumnya tidak dapat menyediakan pembiayaan secara cukup dan berkelanjutan. Perusahaan benih yang memanfaatkan penjualan benih varietas unggul secara komersial sewajarnya ikut mendanai pengelolaan plasma nutfah atas dasar iuran wajib (check off) dari hasil penjualan benih. Ketersediaan varietas unggul yang benihnya dijual oleh perusahaan benih, berasal dari pemanfaatan plasma nutfah. Pengelolaan plasma nutfah secara teknis yang meliputi evaluasi, identifikasi sifat penting, studi genetik, pemanfaatan gen ke dalam varietas unggul harus melibatkan peneliti multi disiplin, perusahaan benih, masyarakat konsumen dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) agar efektif dan optimal. Kerja secara tim terdiri dari pihak-pihak yang berkepentingan ini diistilahkan sebagai tim GEUC (Genetic Evaluation, Utilization and Commercialization). Di negara-negara lain pengelolaan plasma nutfah tanaman dilakukan oleh Pemerintah Pusat dilengkapi unit Regional yang ditugasi mengkoleksi plasma nutfah jenis-jenis tanaman spesifik. Indonesia belum mengelola plasma nutfah semua jenis tanaman secara nasional dan dinilai tertinggal dibandingkan negara lain.
Pemanfaatan Plasma Nutfah Padi Varietas Lokal dalam Perakitan Varietas Unggul Trias Sitaresmi; Rina H. Wening,; Ami T. Rakhmi; Nani Yunani; Untung Susanto
Iptek Tanaman Pangan Vol 8, No 1 (2013): Juni 2013
Publisher : Puslitbang Tanaman Pangan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Indonesia is rich in rice germplasm which functioning as genetic resources, consisting of local varieties and wild species. Million years ago, Indonesian archipelago was an integral part of the Asia continent, which is considered as the center of origin of rice. Vavilov postulated that India is the Center of Origin of rice and Indonesia could be considered as the Secondary Center of Origin of rice. Local varieties had been planted by farmers for many generations on specific agroecology, so that presumably they are resistant/tolerant to biotic or abiotic stresses on a specific location. Farmers had selected seeds from the population, based on good adaptation or god quality for the next planting season. They selected plants that have good grain quality and good cooking taste. Therefore, most of the local varieties have a good grain quality and their taste quality met the consumer’s preference. Germplasm research on rice in Indonesia had identified local varieties which are resistant/tolerant to pests and diseases including: ganjur, bacterial leaf blight, orange leaf blight, brown planthopper, leaf blast, neck blast, white striped leaf, tungro, drought, Al toxicity, Fe toxicity, tolerant to abiotic stress such as salinity, cold temperature, and shade. The local varieties had been used in the breeding program, however, the number of germplasm used as parental crosses is still low. Research on gene analyses, gene mapping, and study on the gene inheritance are needed, to facilitate an efficient use of the genetic resources. Use of local varieties as parental hybridization is recommended, to get superior specific genotype on the new varieties, so that released varieties should have a broad genetic variability.
Pengembangan Model Pengelolaan Tanaman Terpadu Kedelai di Lahan Kering dan Lahan Sawah di Maluku Marietje Pesireron; Syeni S. Kaihatu
Iptek Tanaman Pangan Vol 6, No 1 (2011): Juni 2011
Publisher : Puslitbang Tanaman Pangan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tanaman kedelai belum berkembang di Maluku dan masih berstatus sebagai komoditas pangan baru, namun potensi pengembangan dan permintaan pasarnya cukup baik. Pengkajian PTT kedelai dilakukan di lahan petani, melibatkan petani secara partisipatif di Kecamatan Seram Utara, Kabupaten Maluku Tengah. Komponen PTT yang diuji meliputi varietas unggul Sinabung (lahan sawah) dan Tanggamus (lahan kering), olah tanah sempurna (OTS) dan olah tanah tidak sempurna (OTTS) di lahan sawah, perlakuan benih dengan rhizoplus (20 g/kg benih), jarak tanam 40 cm x 10 cm (lahan sawah) dan 40 cm x 20 cm (lahan kering), dua biji per lubang, jumlah benih 40-50 kg/ha, pemupukan pada lahan kering: PTT1 (200 kg/ha Ponska + 50 kg/ha urea + 1 t/ha pupuk organik + 150 g rhizoplus), PTT2 (100 kg/ha Ponska + 25 kg/ha urea + 2 t/ha pupuk organik + 150 g rhizoplus), dibandingkan dengan cara petani. Pada lahan sawah: PTT1 (200 kg Ponska + 50 kg urea + 1 t pupuk organik + 150 g rhizoplus/ha ), PTT2 (100 kg Ponska + 25 kg urea + 2 t pupuk organik + 150 g rhizoplus/ha). Dari ketiga paket teknologi PTT (PTT1, PTT2, Petani) yang diterapkan di lahan sawah, PTT2 memberikan hasil lebih tinggi yaitu 2,8 t/ha, PTT1 dan cara petani masing-masing 2,4 t/ha dan 2 t/ha. Pada lahan kering, hasil kedelai pada PTT1 dan PTT2 sama yaitu 1,6 t/ha dan cara petani 0,9 t/ha. Berdasarkan analisis kelayakan usahatani kedelai pada lahan sawah, PTT2 memberi R/C rasio lebih tinggi (2,1) diikuti oleh PTT1 (2,0), dan cara petani 1,9. Untuk meyakinkan bahwa usahatani kedelai dengan teknologi PTT layak dikembangkan maka analisis ini dilengkapi dengan nilai MBCR (Marginal Benefit Cost Ratio). Nilai MBCR PTT2 dan PTT1 di lahan sawah masing-masing 2,7 dan 2,54 sehingga dinilai layak untuk dikembangkan. Komponen teknologi PTT kedelai di lahan kering berbeda dengan lahan sawah. Berdasarkan R/C rasio, PTT1, PTT2, dan cara petani layak secara finansial, namun berdasarkan nilai MBCR, PTT1 dan PTT2 kedelai di lahan kering kurang layak dikembangkan karena nilai MBCRnya kurang dari 2. Biaya pengolahan tanah yang lebih besar di lahan kering dan biji kedelai yang lebih kecil dibandingkan dengan di lahan sawah menjadi penyebab kurang layaknya usahatani di lahan kering.
Potensi Arang Hayati “Biochar” sebagai Komponen Teknologi Perbaikan Produktivitas Lahan Pertanian Anischan Gani
Iptek Tanaman Pangan Vol 4, No 1 (2009): April 2009
Publisher : Puslitbang Tanaman Pangan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pemanasan global akibat meningkatnya emisi CO2 dan gas rumah kaca lainnya ke atmosfer mengkhawatirkan masyarakat dunia akhir-akhir ini. Penambatan karbon dalam tanah pertanian melalui perbaikan praktek pengelolaan telah diidentifikasi sebagai salah satu opsi untuk mengurangi emisi CO2. Keuntungan penggunaan bahan organik sebagai pembenah tanah bersifat jangka pendek, terutama di daerah tropis, karena cepatnya proses dekomposisi, dan biasanya mengalami mineralisasi menjadi CO2. Karena itu penambahan bahan organik ke tanah harus setiap tahun untuk mempertahankan produktivitas. Biochar atau arang hayati dapat mengatasi keterbatasan tersebut dan menyediakan opsi bagi pengelolaan tanah. Kenyataannya, biochar telah dimanfaatkan secara tradisional oleh sebagian petani di pedesaan. Berbagai hasil penelitian menunjukkan, biochar berpotensi untuk memperbaiki kesuburan tanah. Manfaat biochar terletak pada dua sifat utamanya, yaitu mempunyai afinitas tinggi terhadap hara dan persisten dalam tanah. Kedua sifat ini dapat digunakan untuk menyelesaikan beberapa masalah penting pertanian akhir-akhir ini, seperti kerusakan tanah dan keamanan pangan, polusi air oleh agrokimia, dan perubahan iklim. Di banyak negara maju dan berkembang, biochar telah menjadi tumpuan bagi keberlanjutan sistem usahatani dan sekaligus mengurangi dampak perubahan iklim global karena sifatnya yang karbon-negatif. Indonesia sebagai negara yang ikut meratifikasi pengurangan dampak perubahan iklim global tentu berkepentingan dalam penggunaan biochar. Selain dapat meningkatkan produktivitas lahan dan tanaman, penggunaan biochar juga dapat mengurangi kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan pertanian. Di Indonesia, pemanfaatan biochar dalam skala luas adalah hal yang relatif baru. Oleh karena itu, pemerintah berperan penting dalam memberikan pemahaman dan pembinaan kepada masyarakat luas, terutama petani, akan pentingnya biochar sebagai pembenah tanah guna mendukung keberlanjutan pertanian mendatang.

Page 1 of 19 | Total Record : 189