cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota adm. jakarta timur,
Dki jakarta
INDONESIA
Majalah Kedokteran
ISSN : 02164752     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Health,
Majalah FK UKI bertujuan sebagai wadah publikasi hasil penelitian staff pengajar fakultas kedokteran internal dan eksternal UKI, sebagai sharing knowledge para dosen fakultas kedokteran serta menunjang pengembangan ilmu kedokteran/kesehatan.
Arjuna Subject : -
Articles 8 Documents
Search results for , issue "Vol. 30 No. 2 (2014): APRIL - JUNI" : 8 Documents clear
Pengaruh Ekstrak Serai Wangi (Cymbopogon nardus L) terhadap Kematian Larva Aedes aegypti Agus Aulung; Sri Rahayu; Anggitia N. Haque
Majalah Kedokteran UKI Vol. 30 No. 2 (2014): APRIL - JUNI
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33541/mkvol34iss2pp60

Abstract

Abstrak Aedes aegypti merupakan vektor penyakit demam berdarah dengue (DBD). Salah satu cara untuk mencegah penyakit DBD, adalah dengan memutus rantai penularan oleh Ae. aegypti dengan insektisida. Serai wangi (Cymbopogon nardus L) merupakan tanaman yang dapat digunakan sebagai insektisida. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas daya bunuh ekstrak serai wangi (Cymbopogon nardus L) terhadap mortalitas larva Aedes aegypti. Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah metode acak sederhana. Hewan coba yang digunakan adalah larva Aedes aegypti instar III akhir atau instar IV awal dengan enam kelompok uji dan pengulangan sebanyak empat kali dengan pengamatan pada jam ke-2, ke-4 dan ke-24. Konsentrasi ekstrak serai wangi yang diuji adalah 0,2%, 0,4%, 0,6%, 0,8% dan 1% dan kelompok kontrol. Hasil penelitian didapatkan bahwa ekstrak serai wangi pada semua konsentrasi uji memiliki daya bunuh yang efektif terhadap Larva Ae. aegypti. Untuk menentukan dosis letal 50% (LC50) dan dosis letal 90 % (LC90) dilakukan analisis probit. Dosis letal pada jam ke-2 LC 50 adalah 1,09% dan pada jam ke-4 adalah 0,65% sedangkan untuk LC90 pada jam ke-2 dan jam ke-4 adalah 4,4% dan 2,67%. Dapat disimpulkan bahwa pada konsentrasi 4,4% ekstrak serai wangi efektif membunuh 90% larva Ae. aegypti . Kata kunci : ekstrak seraiwangi, Ae. aegypti Abstract Aedes aegypti is known as vector of dengue haemoraghic fever (DHF). One of many ways to cope with this disease is by eradicating and breaking the chain of transmission by Ae. aegypti. using insecticide. Serai wangi (Cymbopogon nardus L) is one of plants derived insecticides. Molecules act as insecticide in this plant are cytronela, geraniol, eugenol, saponim, tannin, alkaloid and flavonoid. This study aimed to find the eficacy of serai wangi extract on Ae. aegypti larvae mortality. Study design was experimental with random sampling, using instar III larvae as animal model in six tested groups, and four times replication. The tested larvae was observed at 2nd, 4th and 24th hour Tested groups containing concentration of 0,2%, 0.4%, 0.6%, 0.8% and 1% and control group using aquadest. To determine the 50% (LC50) lethal dose and 90% lethal dose (LC90) probit analysis was used. 50 (LC50) lethal dose at 2nd hour was 1.09% and at 4th hours was 0.65%, while for LC90 the mortality was at 2nd hour and 4.4% at 4th hour is. It can be concluded that the concentration of 4.4% extract of serai wangi was effective to kill 90% of the Ae. aegypti larvae. Keywords : extract, serai wangi, Ae. aegypti
Kerja Sebagai Bagian Terapi Skizofrenia Dwi Karlina
Majalah Kedokteran UKI Vol. 30 No. 2 (2014): APRIL - JUNI
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33541/mkvol34iss2pp60

Abstract

Abstrak Manusia dapat memenuhi kebutuhan biologik, psikologik, sosial dan aktualisasi diri dengan bekerja. Individu memperoleh materi, kepuasan, citra diri yang baik, bebas dari stigma sebagai penganggur. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas kerja sebagai bagian terapi skizofrenia. Responden terdiri atas pasien skizofrenia, lelaki dan perempuan, berusia 18 – 55 tahun, pendidikan terendah Sekolah Menengah Pertama ( SMP), kontrol teratur setiap bulan. Enam belas responden bekerja dan tujuh orang yang tidak memiliki pekerjaan. Dari yang bekerja, 13 responden bekerja sebagai tenaga administrasi di instansi pemerintah , satu orang bekerja di toko alat-alat musik, satu sebagai kasir di salon kecantikan, dan satu orang lagi sebagai pramuniaga di pasar swalayan. Pemeriksaan dilakukan setiap bulan dengan wawancara terstruktur, yang berisi pertanyaan : apa kegiatan yang dilakukan, apakah bersosialisasi, apakah waktu luang diisi dengan melakukan hobi, adakah perubahan kebiasaan makan, tidur dan mandi; apakah saat ini ada keluhan yang menunjukkan kekambuhan skizofrenia, seperti halusinasi, waham, inkoherensi. Hasilnya lima responden yang bekerja kambuh satu kali dan sebelas orang lainnya tidak mengalami relaps. Semua responden yang tidak bekerja mengalami kekambuhan, dengan rincian satu orang kambuh satu kali, lima orang kambuh dua kali dan satu orang lainnya kambuh sampai tiga kali selama pemantauan satu tahun. Ternyata bekerja dapat menekan kekambuhan skizofrenia. Penelitian pendahuluan ini diharapkan membuka peluang untuk penelitian lebih lanjut dengan sampel yang lebih besar.Kata kunci : kebutuhan, skizofrenia, citra diri Abstract Each person can fulfil their need of biological, psychological, social and self actualization by working. We get material, satisfaction, good self image, free from stigma as unemployed. The aim of this research was to know the effectiveness of working as a part of schizophrenia therapy. The respondents are schizophrenic patients with or without job, male and female, 18 – 55 years old, at least secondary school leavers. Monthly they got monitored by interview including the questionnaires about their activities, social lives, how their spent their leisure time, the progress of their life style, whether the schizophrenic symptoms still appeared like hallucination, delusion, incoherent. Thirteen respondents worked as employees, as government official, one works in a music store, one as a cashier in a beauty salon, and the rest as employees at supermarkets. Seven respondents are jobless. The result was five from sixteen patients who have job relapse once, all of the respondents who were jobless relapse once to three times in one year. The conclusion is working is effective enough to reduce relapse in schizophrenic patients. Key words: the need, schizophrenia, self image
Retrobulber Neuritis Post Nephrectomy Gilbert W. S. Simanjuntak; Reinne C. Natali; Golda A. M. Simanjuntak
Majalah Kedokteran UKI Vol. 30 No. 2 (2014): APRIL - JUNI
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33541/mkvol34iss2pp60

Abstract

Abstract A 52 years old lady was referred due to a sudden decrease of vision. She underwent nephrectomy two days before being admitted to the Department of Ophthalmology. The examination showed that the right eye visual acuity was 1/60, left eye 20/70, ascertained with Marcus Gunn pupil reflex. Electroretinography examination revealed a retrobulber optic nerve disorder, diagnosed as neuritis. She received medication of methylprednisolone injection, followed by oral. On the last examination right eye visual acuity was 4/60, left eye 20/30 with S +0,50, and no more inflammation.Keywords: retrobulbar neuritis, nephrectomy, complication Abstrak Seorang perempuan berusia 52 tahun datang dengan keluhan tajam penglihatan turun mendadak. Penderita mengalami nefrektomi dua hari sebelumnya, dan kemudian dirujuk ke Departemen Penyakit Mata. Pada pemeriksaan ditemukan visus mata kanan 1/60 dan visus mata kiri 20/70 yang disertai refleks pupil Marcus Gunn. Pemeriksaan elektroretinografi memperlihatkan hasil gangguan di nervus optikus retrobulber. Pasien dengan neuritis retrobulber diterapi dengan injeksi metilprednisolon, dilanjutkan pemberian oral. Pada pemeriksaan terakhir didapatkan visus mata kanan 4/60 dan mata kiri 20/30 dengan S +0,50, dan tidak ditemukan lagi tanda peradangan.Kata kunci: neuritis retrobulber, nefrektomi, komplikasi
Kelainan Ginjal pada Artritis Idiopatik Juvenil: Laporan Kasus Selli Muljanto; Sudung O. Pardede; Eka L. Hidayati
Majalah Kedokteran UKI Vol. 30 No. 2 (2014): APRIL - JUNI
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33541/mkvol34iss2pp60

Abstract

Abstrak Artritis idiopatik juvenil merupakan salah satu penyakit rematik tersering pada anak, dan merupakan penyakit kompleks yang dapat mengenai berbagai organ. Keterlibatan ginjal pada orang dewasa telah dilaporkan, sedangkan pada anak jarang ditemukan. Didapatkan kasus seorang anak perempuan berusia 10 tahun dengan keluhan nyeri sendi disertai tanda peradangan sendi dan gangguan gerak sendi berulang sejak lima bulan yang lalu. Pada pemeriksaan laboratorium selalu ditemukan hematuria dan proteinuria. Pasien didiagnosis sebagai glomerulonefritis kronik dengan artritis idiopatik juvenil, dan diterapi dengan metilprednisolon, metotreksat, losartan dan lisinopril. Setelah pengobatan dengan metilprednisolon dosis tinggi selama satu bulan, yang dilanjutkan dengan penurunan dosis metilprednisolon bertahap, tidak terdapat lagi hematuria maupun proteinuria. Direncanakan biopsi ginjal pada pasien untuk menentukan lesi ginjal namun orangtua tidak bersedia.Kata kunci : artritis idiopatik juvenil, hematuria, proteinuria, glomerulonefritis Abstract Juvenile idiopathic arthritis is a frequent rheumatic disease among rheumatic diseases in children and is a complex disease which influence many body organs. Kidney influence in adult has been reported but it is very rare in children. We reported a 10 years old girl case with a joint pain, a joint inflammation, and joint movement disorder since 5 months ago. Laboratorium results always showed hematuria and proteinuria. The patient was diagnosed as chronic glomerulonephritis on juvenile idiopathic arthritis, and was treated with methylprednisolone, methotrexate, losartan, and lisinopril. After a high dose methylprednisolone administration for one month which was continued with reducing dose slowly, the patient showed no hematuria and proteinuria any more. Kidney biopsy was not performed because the parent did not agree with this procedure.Key words: juvenile idiopathic arthritis, hematuria, proteinuria, glomerulonephritis
Proteinuria pada Anak Sudung O. Pardede; Putri Maharani; Bernadetta Nadeak
Majalah Kedokteran UKI Vol. 30 No. 2 (2014): APRIL - JUNI
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33541/mkvol34iss2pp60

Abstract

Abstrak Proteinuria merupakan salah satu keadaan yang sering ditemukan pada anak, umumnya sebagai petanda kelainan ginjal dan saluran kemih, meskipun dapat juga terjadi oleh sebab lain. Pada anak sekolah, ditemukan 5 - 15% proteinuria transien dan pada 0,4 - 1% anak sekolah dapat ditemukan proteinuria persisten. Proteinuria dapat dibedakan menjadi proteinuria glomerular, proteinuria tubular, dan proteinuria karena produksi berlebih. Proteinuria glomerular disebabkan peningkatan permeabilitas pada sawar filtrasi glomerulus terhadap protein plasma. Proteinuria tubular terjadi karena kerusakan tubulus primer dengan dominasi protein berat molekul ringan. Proteinuria juga dapat disebabkan produksi protein melebihi kapasitas reabsorbsi tubular. Pemeriksaan proteinuria dilakukan dengan cara uji semikuantitatif atau kuantitatif dengan mengumpulkan urin 24 jam atau urin sewaktu. Proteinuria transien tidak perlu diterapi sedangkan terapi proteinuria persisten tergantung pada penyebabnya. Prognosis proteinuria persisten kurang baik, dan perlu evaluasi berkala meliputi pemeriksaan fisik termasuk tekanan darah, pemeriksaan urinalisis, dan fungsi ginjal. Kata kunci: proteinuria, glomerular, tubular, anak Abstract Proteinuria is a condition commonly found in children, usually as a marker of kidney and urinary tract disorder, although it can occur without abnormality of kidney and urinary tract. Transent proteinuria is found in 5 - 15% of school-age children, and persistent proteinuria is found in 0,4 – 1% of school age children. Proteinuria can be categorized as glomerular proteinuria, tubular proteinuria, and proteinuria due to overproduction. Glomerular proteinuria is caused by increased glomerular filtration membrane permeability of plasma protein. Tubular proteinuria is caused by primary tubular damage dominated by low molecular weight protein. Proteinuria can also be caused by overproduction of protein exceeding the tubular reabsorption capacity. Proteinuria test is performed by semi-quantitative or quantitative test by 24-hour urine collection or random urinary excretion. Management of proteinuria is targeted to the underlying causes. Transient proteinuria doesn’t require treatment while persistent proteinuria is treated based on the underlying causes. The prognosis of persistent proteinuria is not so good, so it is important to evaluate physical examination, including, blood pressure, urinalysis, and renal function periodically.Keywords: proteinuria, glomerular, tubular, children
Sindrom Metabolik: Komplikasi Pertumbuhan Janin Intrauterin yang Terhambat Adhi Pribadi; Johanes C. Mose
Majalah Kedokteran UKI Vol. 30 No. 2 (2014): APRIL - JUNI
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33541/mkvol34iss2pp60

Abstract

Abstrak Perkembangan manusia intrauterin berkorelasi dengan penyakit yang timbul pada periode dewasa. Hipotesis perkembangan menyatakan bahwa risiko suatu penyakit dalam jangka panjang secara inisial diinduksi respons adaptasi janin. Respons termasuk perubahan metabolisme dan hormon, yang mungkin berpengaruh terhadap pertumbuhan organ. Penelitian epidemiologi menunjukkan BBLR dan PJT berhubungan dengan penyakit jantung, Stroke, DM tipe 2, obesitas, Sindrom Metabolik, dan osteoporosis. Periode perikonsepsi merupakan masa yang sensitif terhadap perubahan dan defisiensi nutrisi. Memori isyarat lingkungan terekam sejak konsepsi sampai persalinan oleh janin dan diturunkan pada generasi berikutnya. Hal ini meningkatkan dugaan bahwa penyakit metabolik diturunkan berbasis epigenetik dan tidak murni berbasis multigenik.Kata Kunci: intrauterin, perkembangan, PJT, sindrom metabolik Abstract Adult period diseases correlate with intrauterine development. Hypothesis development notes that the risk in latter life is induced by intrauterine fetal adaptive responses. The responses include: mal-development of metabolism and hormone that can influence alter fetal organs development. Result of epidemiology study stated that IUGR has significant correlation with cardiac disease, stroke attack, Diabetes Mellitus type 2, obesity, metabolic syndrome, and osteoporosis. Periconception period is a sensitive period of change and nutrition deficiency. Environment memory has been recorded by the fetus since conception until fetal delivery and has consequences to be transfered to the offspring. This increases the assumption that metabolic diseases signal have epigenetic memory base and not merely multigenic base.Kay Words: intrauterine, development, IUGR, metabolic syndrome
Peranan Telomer pada Karsinogenesis Rahayu Yekti
Majalah Kedokteran UKI Vol. 30 No. 2 (2014): APRIL - JUNI
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33541/mkvol34iss2pp60

Abstract

Abstrak Telomer adalah segmen nukleotida yang terletak pada ujung kromosom sel eukariot dan berperan penting mencegah kerusakan dan degradasi kromosom. Beberapa penelitian menjelaskan pemeliharaan telomer sangat penting dalam pengaturan waktu hidup sel. Perubahan pada telomer berhubungan dengan proses penuaan dan karsinogenesis. Proses penuaan berhubungan dengan pemendekan telomer, pada manusia panjang telomer memendek secara proporsional sesuai dengan umur. Keutuhan telomer dipelihara oleh aktivitas telomerase yang dihubungkan dengan karsinogenesis. Penelitian akhir-akhir ini menegaskan bahwa telomer dan telomerase berperan penting dalam penekanan atau peningkatan transformasi malignan. Kata kunci : telomer, telomerase, keganasan, karsinogenesis Abstract Telomere consist of nucleotide sequence at the ends of eukaryote cell chromosome, and play essential roles in protecting the chromosome from damage and degradation. Many studies implicate telomere maintenance as an important regulator of cell life span. The change on telomere is related to aging process and carcinogenesis. The aging process is closely related to the shortening of telomere. In human the length of telomere shortens proporsionally with ageing process. Telomeric integrity is maintained by activation of telomerase, which is strongly associated with cancer. Recent observation confirms that telomeres and telomerase play an important roles in both suppressing and facilitating malignant transformation. Key words : telomere, telomerase, malignancy, carcinogenesis
Anatomical and Functional Outcome of Scleral Buckling and Primary Vitrectomy in Rhegmatogenous Retinal Detachment Nashrul Ihsan; Ari Djatikusumo; Andi A.Victor; Elvioza; Gitalisa Andajani; Anggun R. Yudantha; Mario M. Hutapea
Majalah Kedokteran UKI Vol. 30 No. 2 (2014): APRIL - JUNI
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33541/mkvol34iss2pp60

Abstract

Abstract Retinal detachment is a serious sight-threatening condition, which needs a prompt treatment. Recently, pars plana vitrectomy (PPV) has been frequently used than scleral buckling (SB) although the advantages of PPV over SB had never been proven. To compare anatomical and functional outcomes, as well as complications of SB vs. primary PPV as the initial surgery in rhegmatogenous retinal detachment, a literature study was carried out for journal articles indexed by the PubMed. We included studies (interventional or observational) that reported the use of primary PPV vs. SB in retinal detachment. We did not restrict the search by the lens status. We excluded studies that were not reported in English and could not be accessed. Out of 44 articles identified, only seven articles were eligible. In most studies, the rates of retinal attachment after the first surgery of both techniques were similar (p>0.05). Only two studies reported significantly better primary anatomical success in PPV than SB (p=0.0002 and p=0.037). Both techniques also showed functional success based on the best corrected visual acuity (BCVA) results, with three studies found that PPV had a significantly better final BCVA (p=0.03, p=0.0005, p<0.05). The complication of these two techniques could not be compared. Retinal re-detachment, choroidal detachment, proliferative vitreoretinopathy (PVR) progression and infection were reported in SB group. Meanwhile, higher intraocular pressure, retinal re-detachment, PVR, epiretinal membrane (ERM), macula pucker, and iatrogenic break were reported in PPV group. Both surgical techniques gave good results in visual function (LogMar <1.00) and quite the same in primary anatomical success.Key words: pars plana vitrectomy, rhegmatogenous retinal detachment, scleral buckling Abstrak Ablasio retina merupakan suatu kedaruratan mata yang membutuhkan tata laksana segera. Dewasa ini, vitrektomi pars plana (pars plana vitrectomy/PPV) lebih sering digunakan dibandingkan scleral buckling (SB), meskipun kelebihan PPV dari SB belum pernah dibuktikan. Untuk membandingkan luaran anatomi dan fungsi, serta komplikasi SB dan PPV primer sebagai tata laksana bedah inisial pada ablasio retina regmatogenosa, dilakukan pencarian literatur menggunakan database PubMed. Kriteria inklusi adalah artikel yang melaporkan hasil PPV primer vs. SB pada ablasio retina. Seleksi tidak dibatasi oleh status lensa. Kriteria eksklusi adalah artikel yang tidak menggunakan Bahasa Inggris dan tidak dapat diakses. Dari 44 artikel yang teridentifikasi, tujuh artikel memenuhi kriteria. Tingkat perlekatan retina setelah operasi pertama pada kedua teknik setara hampir pada semua studi (p>0,05). Hanya dua studi melaporkan keberhasilan anatomis primer yang secara signifikan lebih baik pada PPV (p=0,0002 and p=0,037). Kedua teknik juga menunjukkan keberhasilan fungsional dilihat dari best corrected visual acuity (BCVA), dengan tiga studi melaporkan BCVA yang secara signifikan lebih baik pada PPV (p=0,03, p=0,0005, p<0,05). Komplikasi kedua teknik tidak dapat dibandingkan. Pada kelompok SB dilaporkan terjadinya retinal re-detachment, choroidal detachment, prolifestive vitreoretinopathy progresif (PVR) dan infeksi. Sementara itu, dilaporkan peningkatan tekanan intraokular, retinal re-detachment, PVR, epiretinal membrane (ERM), macula pucker, dan robekan iatrogenik pada kelompok PPV. Kedua teknik bedah memberikan hasil akhir tajam penglihatan yang baik (LogMar <1.00) dan keberhasilan anatomis primer yang relatif sama.Kata kunci: ablasio retina regmatogenosa, scleral buckling, vitrektomi pars plana.

Page 1 of 1 | Total Record : 8