Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

Merokok dan Penuaan Dini berupa Wrinkles Seputar Wajah Sekuriti Universitas Islam Bandung Deis Hikmawati; Diany Maedasari; Panji Ramdhani Prasetya
Global Medical & Health Communication (GMHC) Vol 5, No 2 (2017)
Publisher : Universitas Islam Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (144.121 KB) | DOI: 10.29313/gmhc.v5i2.2066

Abstract

Penuaan dini (PD) adalah proses degeneratif yang melibatkan kulit dan sistem penyokong kulit meliputi tulang, kartilago dan jaringan subkutaneus, berupa perubahan stuktural dan elastilitas kulit yang ditandai dengan wrinkles/kerutan kulit (fine wrinkles, coarse wrinkles), kulit yang kasar, kulit kering, teleangiaektasi, lesi kanker, serta perubahan pigmentasi. Wrinkles adalah permukaan kulit yang mengalami lekukan, dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor ekstrinsik berasal dari lingkungan paparan sinar matahari, polusi udara, rokok, pergerakan otot yang berulang terkait ekspresi wajah, serta kebiasaan gaya hidup yang berhubungan dengan pola makan dan posisi tidur. Tujuan penelitian ini adalah apakah merokok sebagai faktor ekstrinsik berefek pada kejadian penuaan dini berupa wrinkles di seputar wajah, yaitu sekitar mata, nasolabial fold, dan bibir pada sekuriti Universitas Islam Bandung (Unisba) usia 20–40 tahun. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik menggunakan metode potong lintang. Subjek penelitian adalah pegawai Unisba, yaitu sekuriti berusia 20–40 tahun yang memenuhi kriteria inklusi dengan jumlah 68 orang selama periode Maret–Juni 2016. Penelitian ini menggunakan formulir penelitian yang terdiri atas 16 pertanyaan. Uji analisis menggunakan uji chi-square. Hasil penelitian berupa wrinkles di dahi (p=0,272), seputar mata (p=0,203), nasolabial fold (p=0,493), dan bibir (0,493) menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan merokok dengan penuaan dini berupa wrinkles di dahi, seputar mata, nasolabial fold, dan bibir (p>0,05). Simpulan, merokok tidak berefek pada penuaan dini berupa wrinkles di dahi, seputar mata, nasolabial fold, dan bibir pada sekuriti Unisba usia 20–40 tahun. SMOKING AND PREMATURE AGING IN FORM OF FACIAL WRINKLES ON UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG SECURITY STAFFPremature aging is a degenerative process that involves the skin and the skin support systems including the bone, cartilage, and subcutaneous compartments which is skin structural and elastic change characterized such as wrinkles (fine wrinkles, coarse wrinkles), rough skin, dry skin, teleangiaectasia, cancerous lesions, and changes in pigmentation. Wrinkles are curvature of skin surface. There are two factors influence, namely intrinsic and extrinsic factors. Extrinsic factors associated with exposure to sunlight, air pollution, smoking, repetitive muscle movements, diet and sleep position. The objective of the study was to determine the effects of smoking as external factor in the incidence of premature aging such as wrinkles based on area around the face as forehead, around eyes, nasolabial fold, and lips of 68 Universitas Islam Bandung (Unisba) security staff around 20–40 years old. This study was descriptive analytic using cross sectional method during period March to June 2015. This study used the form in the form consisted of 16 questions. Analyzed test using chi-square method. The result related to wrinkles in forehead was (p=0.272), around eyes (p=0.203), nasolabial fold (p=0.493) and lips (0.493). The result showed that there was no significant relation between smoking and premature aging such as wrinkles on forehead and wrinkles around crows feet, nasolabial fold and lip (p>0.05). In conclusion, smoking has no relation with premature aging such as wrinkles on forehead and wrinkles around the lips, crows feet, nasolabial fold of Unisba security staff aged 20–40 years old.
Pengetahuan tentang Dampak Infeksi Gonore pada Pasien Pria dengan Gonore Nasyifa Nurul Fitriany; Raden Ganang Ibnusantosa; Titik Respati; Deis Hikmawati; Tony S. Djajakusumah
Jurnal Integrasi Kesehatan dan Sains Vol 1, No 1 (2019): Jurnal Integrasi Kesehatan dan Sains
Publisher : Universitas Islam Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29313/jiks.v1i1.4198

Abstract

Gonore merupakan infeksi menular seksual yang disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae. Salah satu karakteristik yang memengaruhi seseorang terkena gonore antara lain  pengetahuan mengenai infeksi gonore. Gonore  memiliki komplikasi seperti epididimitis, orkitis, prostatitis, cowperitis, bahkan infertilitas. Di samping itu, gonore dapat meningkatkan angka kejadian HIV. Tujuan penelitian ini mengetahui karakteristik dan tingkat pengetahuan dampak infeksi gonore pada pasien pria dengan gonore berdasar atas karakteristik usia dan jenis pasangan di salah satu  Klinik IMS di Kota Bandung periode Maret–Mei 2018. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif cross sectional. Subjek penelitian berjumlah 60 orang dengan pengambilan sampel secara consecutive sampling. Pengumpulan data menggunakan kuesioner dan wawancara. Pada penelitian ini didapatkan kejadian gonore terbanyak pada rentang usia 25–49 tahun (67%), wiraswasta (92%), belum menikah (77%), dan memiliki pasangan pria (53%).  Responden memiliki pengetahuan baik mengenai dampak infeksi gonore sebanyak (54%). Bila dilihat berdasar atas karakteristik usia, responden yang memiliki pengetahuan baik adalah responden pada rentang usia 25–49 tahun (74%), sedangkan karakteristik berdasar atas jenis pasangan, responden berpengetahuan baik yaitu yang memiliki pasangan pria (52%). Simpulan penelitian ini bahwa pengetahuan mengenai dampak infeksi gonore pada pasien pria dengan gonore tergolong baik.KNOWLEDGE ABOUT  THE IMPACT OF GONORRHEA INFECTION IN GONORRHEA MALE PATIENTSGonorrhea is a sexually transmitted infection caused by Neisseria gonorrhoeae. One of the characteristics that affect people is knowledge of affected by gonorrhea. Complications of gonorrhea are epididymitis, orchitis, prostatitis, cowperitis, and even infertility. Also, gonorrhea could increase the number of HIV incidence. The purpose of this study was to determine the characteristics and level of knowledge of male patients with gonorrhea based on the characteristics of age and gender of sexual partner at Klinik IMS in Kota Bandung period March–May 2018. This study used the descriptive cross-sectional method. There were 60 participants in this study, chosen using consecutive sampling technique. The data collected from questionnaires and interviews. In this study, the highest incidence found in 25 to 49 years old (67%), enterpreneur (92%), single (77%), and male partner (53%). Respondents had good knowledge about gonorrhea infection (54%). According to the results of this study, respondents who had good knowledge about the impact of gonorrhea infection were 25 to 49 years (74%), while according to gender sexual partner, well-informed respondents were men who had a male sexual partner (52%). The conclusion of this study is the patient’s knowledge about the impact of gonorrhea were good.
Karakteristik Nevus Pigmentosus berdasar atas Gambaran Histopatologi di Rumah Sakit Al-Islam Bandung Ennok Nisa Islamiati; Siska Nia Irasanti; Mia Kusmiati; Deis Hikmawati; Ismet Muchtar Nur
Jurnal Integrasi Kesehatan dan Sains Vol 1, No 1 (2019): Jurnal Integrasi Kesehatan dan Sains
Publisher : Universitas Islam Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29313/jiks.v1i1.4327

Abstract

Nevus pigmentosus (NP) merupakan lesi melanositik jinak yang paling umum, puncaknya pada usia 25 sampai 26 tahun. Faktor yang memengaruhinya di antaranya penuaan, pubertas, kehamilan, penggunaan kortikosteroid sistemik, faktor genetik, lingkungan, usia, dan jenis kelamin. Tujuan penelitian ini mengetahui karakteristik pasien NP berdasar atas gambaran histopatologi di Rumah Sakit Al-Islam Bandung. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif cross-sectional menggunakan metode pengambilan sampel berupa total sampling. Data yang digunakan berupa data sekunder dari rekam medis periode 2012−2017 dan didapatkan data berjumlah 48 rekam medis. Pengolahan data dilakukan menggunakan program Microsoft Exel tahun 2011. Hasil penelitian menunjukkan frekuensi tertinggi NP terdapat pada usia 25−45 tahun sebanyak 23 kasus (48%), NP lebih sering terjadi pada perempuan dibanding dengan laki-laki, nevus intradermal dengan jumlah 38 kasus (79%), dan regio kepala dengan frekuensi 39 kasus (81%). Perkembangan NP pada usia dewasa dapat disebabkan oleh beberapa kemungkinan di antaranya paparan sinar matahari, sering melakukan aktivitas di luar lingkungan, dan kurang penggunaan sunblock. Efek paparan sinar matahari secara langsung dapat menyebabkan proses melanogensis melalui aktivasi tirosinase akibat teraktivasinya protein kinase C. Simpulan penelitian ini menunjukkan frekuensi tertinggi NP terdapat pada usia 25−45 tahun dengan perbandingan perempuan lebih banyak dibanding laki-laki, serta gambaran histopatologi yang terbanyak adalah nevus intradermal yang berlokasi di regio kepala. THE CHARACTERISTIC OF NEVUS PIGMENTOSUS BASED ON HISTOPATOLOGICAL FEATURES IN AL-ISLAM HOSPITAL BANDUNGNevus pigmentosus (NP) is the most common benign melanocytic lesion and peak at 25 to 26 years of age. The factors that influence NP is included aging, puberty, pregnancy, the used of systemic corticosteroid, genetic factors, environment, age, and gender. The purpose of this study was to describe the characteristics of NP patients based on histopathological features at Al-Islam Hospital Bandung. This study used a cross-sectional descriptive method using a total sampling method to collect the samples. The data used in this study is a secondary data from medical records 2012−2017 and obtained 48 medical records. Data processed by using the Microsoft Excel program 2011. The results showed that the highest frequency of NP occurred at the age of 25−45 years as many as 23 cases (48%), NP is more common in women rather than men, nevus  intradermal with 38 cases (79%), and the head region with a frequency of 39 cases (81%). The progression of NP in adult can be caused by several possibilities including sun exposure, frequent activities outside the environment and lack use of sunblock. The effects of direct sunlight exposure can cause the melanogenesis process through activation of tyrosinase due to activation of protein kinase C. The conclusions in this study showed that the highest frequency of NP is found at the age of 25−45 years old with a ratio of women is more than men, and the highest number of the histopathological features is intradermal nevus located in the head region.
Scoping Review: Hubungan Faktor Sosiodemografi dan Perilaku dengan Kejadian Skabies Remagari Briliani Mulyana Rosi; Nurul Annisa Abdullah; Deis Hikmawati
Jurnal Integrasi Kesehatan dan Sains Vol 3, No 2 (2021): Jurnal Integrasi Kesehatan dan Sains
Publisher : Universitas Islam Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29313/jiks.v3i2.7426

Abstract

Skabies adalah infestasi parasit yang sangat gatal pada kulit yang disebabkan oleh tungau S. scabiei yang menghasilkan erupsi pruritus pada kulit. Terdapat 300 juta kasus setiap tahun. Indonesia menempati posisi pertama dari 195 negara dengan beban skabies terbesar. Faktor risiko skabies ada 11 faktor, di antaranya sosiodemografi dan perilaku. Tujuan penelitian mengetahui faktor sosiodemografi dan perilaku yang berhubungan dengan kejadian skabies. Metode penelitian yang digunakan adalah metode scoping review yang dilaksanakan dari bulan September–Desember 2020. Pencarian sistematis dilakukan melalui database elektronik (PubMed, ProQuest, Springer Link, dan Google Scholar) sesuai dengan kriteria inklusi dan tidak termasuk eksklusi serta dilakukan skrining menggunakan kriteria eligible pada diagram PRISMA. Hasil penelitian dari total 4.104 artikel terdapat 358 artikel sesuai dengan kriteria inklusi dan didapatkan sembilan artikel yang eligible serta di-review uraiannya. Simpulan, faktor sosiodemografi yang berhubungan dengan skabies adalah lokasi sekolah, pelajar dengan ayah dan ibu berpendidikan rendah, pekerjaan ibu, pekerjaan ayah, laki-laki, akses fasilitas kesehatan, pendapatan rumah tangga, serta jumlah anggota keluarga yang besar. Faktor perilaku yang berhubungan dengan skabies adalah personal hygiene yang buruk, berbagi tempat tidur, pakaian, pemakaian toilet bersama dengan orang lain, cuci tangan tanpa sabun, jarang mandi, serta riwayat kontak dengan orang lain atau keluarga yang memiliki gejala skabies. SCOPING REVIEW: RELATIONSHIP OF SOCIODEMOGRAPHIC AND BEHAVIORAL FACTORS WITH SCABIESScabies is a parasitic infestation that is severe itching on the skin caused by S. scabiei mites that produce pruritus eruptions on the skin. There are 300 million cases every year. Indonesia ranks first out of 195 countries with the highest scabies burden. Risk factors scabies there are 11 factors, including sociodemography and behavior. The objective of this study was to know the sociodemographic and behavioral factors associated with scabies. This study used scoping review method have conducted from September–December 2020. Systematic searches are conducted through electronic databases (PubMed, ProQuest, Springer Link, and Google Scholar) according to inclusion and not exclusion criteria and screened using eligible criteria in PRISMA diagrams. Results of the study, from 4,104 articles, there were 358 articles according to inclusion criteria and obtained nine following eligible and reviewed description. In conclusion, sociodemographic factors associated with scabies are the location of the school, students with lowly educated fathers and mothers, mother’s occupation, father’s occupation, man, access to health facilities, household income, a large number of family members. Behavioral factors related to scabies were poor personal hygiene, bed-sharing, clothes, toilet, washing hands without soap, rarely bathing, as well as a history of contact with others or families who have symptoms of scabies.
Hubungan Derajat Stres dengan Kejadian Akne Vulgaris pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Unisba Tingkat Dua dan Tiga Indah Aini; Deis Hikmawati; Gemah Nuripah
Bandung Conference Series: Medical Science Vol. 3 No. 1 (2023): Bandung Conference Series: Medical Science
Publisher : UNISBA Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29313/bcsms.v3i1.6296

Abstract

Abstract. Acne vulgaris (AV) is a common skin disease, especially in adolescents. Medical students experience more stress than study program students in the non-medical sector. Stress is thought to be one of the components that impact AV by increasing androgen hormones from the adrenal organs and sebum production. The purpose of this study was to determine the relationship between the degree of stress and the occurrence of AV in second and third-grade students of the Faculty of Medicine, Unisba. Method cross-sectional. The number of samples is 100 people with consecutive sampling techniques. Data was collected through the Stress Questionnaire from the International Stress Management Association (ISMA) and AV based on visual assessment through facial photos and observations for the period March-August 2022. Data analysis used the chi-square test. The results showed that of the 5 respondents who experienced mild stress, 4 respondents (80%) experienced AV and 1 respondent (20%) did not experience AV. Then, of the 46 respondents who experienced moderate stress, 22 respondents (47,8%) experienced AV and 24 respondents (52,2%) did not experience AV. Meanwhile, of the 49 respondents who experienced severe stress, 25 respondents (51%) experienced AV and 24 respondents (49%) did not experience AV. P-value = 0,393. The conclusion of this study, there is no significant relationship between the degree of stress and the occurrence of AV. Keywords: Acne vulgaris, adolescents, degree of stress. Abstrak. Akne vulgaris (AV) adalah penyakit kulit yang umum terjadi terutama pada remaja. Mahasiswa kedokteran lebih banyak mengalami stres yang tinggi dibandingkan dengan mahasiswa program studi di sektor non-medis. Stres diduga salah satu komponen yang berdampak pada AV dengan meningkatkan hormon androgen dari organ adrenal dan produksi sebum. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan derajat stres dengan kejadian AV pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Unisba tingkat dua dan tiga. Rancangan penelitian observasional analitik dengan metode cross sectional. Jumlah sampel 100 orang dengan teknik consecutive sampling. Pengambilan data melalui Stress Questionnaire dari International Stress Management Association (ISMA) dan AV berdasarkan penilaian penglihatan melalui foto wajah serta observasi periode Maret–Agustus 2022. Analisis data menggunakan uji chi-square. Hasil penelitian menunjukkan dari 5 responden yang mengalami stres ringan, 4 responden (80%) mengalami AV dan 1 responden (20%) tidak mengalami AV. Kemudian, dari 46 responden yang mengalami stres sedang, 22 responden (47,8%) mengalami AV dan 24 responden (52,2%) tidak mengalami AV. Adapun, dari 49 responden yang mengalami stres berat, 25 responden (51%) mengalami AV dan 24 responden (49%) tidak mengalami AV. Nilai p-value = 0,393. Simpulan penelitian ini, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara derajat stres dengan kejadian AV. Kata Kunci: Akne vulgaris, derajat stres, remaja.