Claim Missing Document
Check
Articles

Found 15 Documents
Search

URGENSI LEGALITAS FINANCIAL TECHNOLOGY (FINTECH): PEER TO PEER (P2P) LENDING DI INDONESIA Meline Gerarita Sitompul
JURNAL YURIDIS UNAJA Vol. 1 No. 2 (2018): JURNAL YURIDIS UNAJA
Publisher : Universitas Adiwangsa Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35141/jyu.v1i2.155

Abstract

Financial Technologi (Fintech) lahir dan berkembang sesuai tuntutan zaman dimanaproses pembayaran, transfer, jual beli, hingga pembiayaan diharapkan menjadisemakin praktis, aman dan modern. Salah satu layanan fintek yang mendapatkanperhatian adalah layanan peer to peer (P2P) lending. P2P lending adalah sebuahplatform teknologi yang mempertemukan secara digital peminjam yangmembutuhkan modal usaha dengan pemberi pinjaman yang mengharapkan returnyang kompetitif. Selama ini untuk fintech peer to peer (P2P) lending khususnyalayanan pinjam meminjam secara online yang terdaftar di OJK, payung hukumnyamengacu pada Peraturan OJK (POJK) Nomor 77 Tahun 2016. Berdasarkan POJK,OJK sebagai lembaga untuk mengatur, memberi izin dan mengawasi Fintech P2PLending yang terdaftar. Sementara untuk fintech ilegal atau yang belum terdaftar diOJK, diperlukan regulasi yang lebih tinggi kedudukannya dari POJK. Merujuk dataKementerian Komunikasi dan Informatika saat ini sudah 803 fintech yang telahdiblokir karena tak memiliki izin atau illegal. Penelitian ini mencoba untuk membahastentang urgensi legalitas financial technologi, khususnya P2P Lending di Indonesia.Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis. Di kemudian hari, pembahasan inikiranya akan membuka jalan untuk memfasilitasi masyarakat Indonesia, khususnyayang mencari kepastian hukum dalam penggunaan financial technologi P2P Lending.
PERLINDUNGAN HUKUM DALAM HAL DIREKSI PERSEROAN TERBATAS MELAKUKAN ULTRA VIRES Meline Gerarita Sitompul
JURNAL YURIDIS UNAJA Vol. 2 No. 1 (2019): JURNAL YURIDIS UNAJA
Publisher : Universitas Adiwangsa Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35141/jyu.v2i1.159

Abstract

Prinsip hukum ultra vires menetapkan bahwa batas kewenangan bertindak daribadan hukum memberikan pengertian, “adalah bukan tindakan hukum itu tidak bolehdilakukan, tetapi tindakan hukum tersebut tidak dapat dilakukan.” Hal tersebutmemberikan makna sebuah tindakan hukum tidak dapat dilakukan apabila menyalahiatau melampui batas maksud tujuan dan kegiatan perseroan. Hal itu merujukpenjelasan yang memberikan pengertian tentang tindakan ultra vires yaitu, tindakandireksi yang melampaui batas maksud tujuan dan kegiatan perseroan terbatas.Tujuannya untuk mengetahui bentuk tanggung jawab direksi perseroan dalamtindakan ultra vires demi perlindungan perseroan dan pihak lainnya serta bagaimanaperlindungan hukumnya terhadap pihak lainnya. Secara implisit Undang-UndangPerseroan Terbatas mengakui dan menerima Doktrin ultra vires. Pengakuan danpenerimaan ini terlihat dari adanya ketentuan-ketentuan yang berkaitan denganmaksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan. Untuk mengkaji dan menjawabpermasalahan diatas maka penelitian ini mempergunakan pendekatan yuridisnormatif, pendekatan sejarah, dan pendekatan kasus. Dengan pendekatan yuridisnormatif, maka dapat ditarik kesimpulan, yaitu: Pengaturan ultra vires menurut Pasal92 (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 mengenai batas kewenangan Direksiyang utama adalah “maksud dan tujuan perseroan” mempunyai 2 (dua) segi, di satupihak merupakan sumber kewenangan bertindak bagi perseroan dan di lain pihakmerupakan batas kewenangan bertindak perseroan. Tindakan ultra viresmenyebabkan timbulnya tanggung jawab pribadi pada Direksi yang didasarkan padaprinsip piercing the corporate veil (penyingkapan tirai perusahaan). Berdasarkan halini sistem pertanggungjawaban dalam hukum privat hukum perseroan terkait dengankepentingan perorangan/individu. Penelitian ini menyarankan sebaiknya ada aturantegas yang bersifat mengikat semua organ perseroan yaitu RUPS, Direksi danDewan Komisaris pada Anggaran Dasar perseroan berdasar pada Pasal 4 UndangUndang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Urgensi Legalitas Gaar dan Saar sebagai Instrumen Preventif Penghindaran Pajak di Indonesia Meline Gerarita Sitompul
JURNAL YURIDIS UNAJA Vol. 5 No. 1 (2022): JURNAL YURIDIS UNAJA
Publisher : Universitas Adiwangsa Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35141/jyu.v5i1.302

Abstract

Sekitar 80% sumber penerimaan negara, khususnya Indonesia ialah berasal dari pajak yang dipergunakan untuk membiayai pengeluaran umum negara yang tentunya untuk mensejahterakan rakyat Indonesia. Pada tahun 2020, berdasarkan Tax Justice Network, Indonesia diperkirakan mengalami kerugian sekitar Rp. 69,34 triliun akibat penghindaran pajak. Tentu adanya praktik penghindaran pajak telah diikuti pula dengan adanya ketentuan anti penghindaran pajak. Mayoritas negara-negara di dunia telah melengkapi sistem pajak domestik dengan ketentuan anti penghindaran pajak yang bersifat khusus dan umum. Penelitian ini mencoba untuk membahas mengenai urgensi dari Specific Anti Avoidance Rules (SAAR) dan General Anti Avoidance Rules (GAAR) sebagai instrumen preventif penghindaran pajak di Indonesia, dimana skema yang muncul akan penghindaran pajak juga semakin kompleks. Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, melalui penelitian dogmatik. Di kemudian hari, pembahasan terkait SAAR dan GAAR ini diharapkan dapat mengakomodasi keterbatasan informasi terkait dengan skema penghindaran pajak yang tidak dapat diketahui secara pasti. SAAR tedapat dalam Pasal 18 ayat (2) UU Pajak Penghasilan, Peraturan Menteri Keuangan nomor 107/PMK.03/2017 dan Peraturan Menteri Keuangan nomor 93/PMK.03/2019. Sedangkan dalam penjelasan Pasal 18 UU No 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, dinyatakan bahwa pemerintah berwenang mencegah praktik penghindaran pajak sebagai upaya yang dilakukan wajib pajak untuk mengurangi, menghindari, atau menunda pembayaran pajak yang seharusnya terutang yang bertentangan dengan maksud dan tujuan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Namun masih kurang eksplisit terkait ruang lingkup GAAR.
Implementasi Undang-Undang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dalam Pemasaran Digital Produk Umkm Di Kabupaten Pangkajene Kepulauan Meline Gerarita Sitompul; Mutmainna
JURNAL YURIDIS UNAJA Vol. 6 No. 2 (2023): JURNAL YURIDIS UNAJA
Publisher : Universitas Adiwangsa Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35141/jyu.v6i2.970

Abstract

Dalam menjalankan usaha, salah satu yang juga perlu diperhatikan adalah hukum dalam berbisnis. Pemasaran digital melalui media sosial dan e-commerce saat ini merupakan cara yang efektif dan relatif murah untuk mempromosikan bisnis UMKM. Keberadaan teknologi sebagai pendukung perekonomian selain memberikan dampak yang positif memungkinkan pula menimbulkan potensi pelanggaran terkait regulasi perdagangan Pelaku UMKM mendapatkan kemudahan namun bukan berarti bebas dari aturan hukum. Dengan berkembangnya teknologi dan model bisnis, pemerintah Indonesia pun turut mengeluarkan peraturan yang mengatur pemasaran produk UMKM khususnya melalui media sosial dan e-commerce, yaknik Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pelaku UMKM perlu dengan cermat memahami UU ITE untuk memastikan operasional, pemasaran, dan transaksi yang dilakukan tidak melanggar hukum. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalis bentuk pemasaran digital produk UMKM di Kabuoaten Pangkajene Kepulauan, dan mengkaji implementasi UU ITE sebagai aspek hukum pada penerapan pemasaran digital. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dengan menggunakan model triangulasi, yang menggabungkan metode wawancara terstruktur, wawancara mendalam dan observasi terhadap pelaku UMKM. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan pemasaran digital memperluas pangsa pasar pelaku UMKM, meningkatkan awareness bagi konsumen karena pelaku UMKM rutin memperbarui informasi mengenai produk, serta meningkatkan penjualan karena beberapa UMKM juga berkolaborasi dengan beberapa marketplace. Kemudian bagi pelaku UMKM di daerah Kabupaten Pangkajene Kepulauan yang kategorinya makanan dan minuman menyatakan bahwa penggunaan whatsapp masih menjadi platform yang paling di memudahkan konsumen. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sejauh ini belum sepenuhnya memadai untuk mendukung UMKM. Diantaranya karena tingginya biaya kepatuhan, aturan yang masih belum spesifik, dan penguatan
Legal Aspects of State Asset Management: International Perspectives on Implementing State-Owned Property Law Syamsir, Syamsir; Nuriyatman, Eko; Bela Dhyta, Nova; Rahman, Rofi Aulia; Sitompul, Meline Gerarita
Journal of Law and Legal Reform Vol. 6 No. 2 (2025): April, 2025
Publisher : Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/jllr.v6i2.19296

Abstract

State asset management is a fundamental component of public financial governance, aimed at ensuring transparency, accountability, and efficiency. In Indonesia, the legal foundation for state asset administration is established under Law Number 1 of 2004 on State Treasury. In the context of globalization, aligning domestic regulations with international legal standards, such as the International Public Sector Accounting Standards (IPSAS), has become imperative. Discrepancies between national and international regulatory frameworks may result in legal inconsistencies, inefficiencies, and challenges in securing state assets abroad. This scholarly article employs a doctrinal legal research approach to evaluate the conformity of Indonesia’s legal framework with international standards. It identifies key challenges, including the inadequate implementation of IPSAS, deficiencies in technological infrastructure, and limited institutional capacity. Additionally, protecting state assets in foreign jurisdictions remains complex due to disparities in legal systems, bureaucratic constraints, and insufficient international legal cooperation. To address these challenges, Indonesia must reinforce its legal framework, integrate advanced technological solutions, and enhance cross-border legal collaboration. The adoption of internationally recognized best practices in state asset management will strengthen legal certainty, mitigate financial risks, and ensure compliance with global governance principles. This article contributes to the legal discourse by analyzing the complexities of state asset management in an increasingly interconnected world and proposing regulatory and institutional reforms to enhance its effectiveness.