Claim Missing Document
Check
Articles

Found 15 Documents
Search

URGENSI LEGALITAS FINANCIAL TECHNOLOGY (FINTECH): PEER TO PEER (P2P) LENDING DI INDONESIA Sitompul, Meline Gerarita
JURNAL YURIDIS UNAJA Vol 1 No 2 (2018): JURNAL YURIDIS UNAJA
Publisher : JURNAL YURIDIS UNAJA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.5281/jyu.v1i2.428

Abstract

Financial Technologi (Fintech) lahir dan berkembang sesuai tuntutan zaman dimana proses pembayaran, transfer, jual beli, hingga pembiayaan diharapkan menjadi semakin praktis, aman dan modern. Salah satu layanan fintek yang mendapatkan perhatian adalah layanan peer to peer (P2P) lending. P2P lending adalah sebuah platform teknologi yang mempertemukan secara digital peminjam yang membutuhkan modal usaha dengan pemberi pinjaman yang mengharapkan return yang kompetitif. Selama ini untuk fintech peer to peer (P2P) lending khususnya layanan pinjam meminjam secara online yang terdaftar di OJK, payung hukumnya mengacu pada Peraturan OJK (POJK) Nomor 77 Tahun 2016. Berdasarkan POJK, OJK sebagai lembaga untuk mengatur, memberi izin dan mengawasi Fintech P2P Lending yang terdaftar. Sementara untuk fintech ilegal atau yang belum terdaftar di OJK, diperlukan regulasi yang lebih tinggi kedudukannya dari POJK. Merujuk data Kementerian Komunikasi dan Informatika saat ini sudah 803 fintech yang telah diblokir karena tak memiliki izin atau illegal.  Penelitian ini mencoba untuk membahas tentang urgensi legalitas financial technologi, khususnya P2P Lending di Indonesia. Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis. Di kemudian hari, pembahasan ini kiranya akan membuka jalan untuk memfasilitasi masyarakat Indonesia, khususnya yang mencari kepastian hukum dalam penggunaan financial technologi P2P Lending.  
PERLINDUNGAN HUKUM DALAM HAL DIREKSI PERSEROAN TERBATAS MELAKUKAN ULTRA VIRES Sitompul, Meline Gerarita
JURNAL YURIDIS UNAJA Vol 2 No 1 (2019): JURNAL YURIDIS UNAJA
Publisher : LPPM Universitasdiwangsa Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35141/jyu.v2i1.536

Abstract

Prinsip hukum ultra vires menetapkan bahwa batas kewenangan bertindak dari badan hukum memberikan pengertian, ?adalah bukan tindakan hukum itu tidak boleh dilakukan, tetapi tindakan hukum tersebut tidak dapat dilakukan.? Hal tersebut memberikan makna sebuah tindakan hukum tidak dapat dilakukan apabila menyalahi atau melampui batas maksud tujuan dan kegiatan perseroan. Hal itu merujuk penjelasan yang memberikan pengertian tentang tindakan ultra vires yaitu, tindakan direksi yang melampaui batas maksud tujuan dan kegiatan  perseroan terbatas. Tujuannya untuk mengetahui bentuk tanggung jawab direksi perseroan dalam tindakan ultra vires demi perlindungan perseroan dan pihak lainnya serta bagaimana perlindungan hukumnya terhadap pihak lainnya. Secara implisit Undang-Undang Perseroan Terbatas mengakui dan menerima Doktrin ultra vires. Pengakuan dan penerimaan ini terlihat dari adanya ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan. Untuk mengkaji dan menjawab permasalahan diatas maka penelitian ini mempergunakan pendekatan yuridis normatif, pendekatan sejarah, dan pendekatan kasus. Dengan pendekatan yuridis normatif, maka dapat ditarik kesimpulan, yaitu: Pengaturan ultra vires menurut Pasal 92 (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 mengenai batas kewenangan Direksi yang utama adalah ?maksud dan tujuan perseroan? mempunyai 2 (dua) segi, di satu pihak merupakan sumber kewenangan bertindak bagi perseroan dan di lain pihak merupakan batas kewenangan bertindak perseroan. Tindakan ultra vires menyebabkan timbulnya tanggung jawab pribadi pada Direksi yang didasarkan pada prinsip piercing the corporate veil (penyingkapan tirai perusahaan). Berdasarkan hal ini sistem pertanggungjawaban dalam hukum privat hukum perseroan terkait dengan kepentingan perorangan/individu. Penelitian ini menyarankan sebaiknya ada aturan tegas yang bersifat mengikat semua organ perseroan yaitu RUPS, Direksi dan Dewan Komisaris pada Anggaran Dasar perseroan berdasar pada Pasal 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
IMPLIKASI COVID-19 DALAM KONTRAK BISNIS, ANTARA FORCE MAJEURE DAN WANPRESTASI Sitompul, Meline Gerarita
JURNAL YURIDIS UNAJA Vol 2 No 2 (2020): JURNAL YURIDIS UNAJA
Publisher : LPPM Universitasdiwangsa Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penetapan COVID-19 dengan status Global Pandemic oleh WHO, yang kemudian diikuti oleh setiap negara di dunia, tak terkecuali Indonesia melalui Keppres No. 12 Tahun 2020 sebagai bencana nasional memberikan perubahan pada segala aspek kehidupan, khususnya dalam dunia usaha atau dunia bisnis. Penularan dan bahkan beresiko kematian membuat hampir seluruh negara mengeluarkan berbagai kebijakan sebagai upaya pengendalian penyebaran virus. Diperkirakan bahwa banyak perusahaan atau orang pribadi sebagai subjek hukum, tidak dapat menepati janjinya akibat global pandemic ini sehingga mengakibatkan wanprestasi. Penelitian ini mencoba untuk membahas mengenai implikasi COVID-19 apakah dapat dikategorikan sebagai Force Majeure dalam kontrak bisnis. Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, melalui penelitian dogmatik. Di kemudian hari, pembahasan ini kiranya akan membuka jalan untuk memfasilitasi pelaku usaha dalam dunia bisnis mengenai implikasi Covid -19 yang dapat dijadikan alasan untuk tidak dapat melaksanakan kontrak karena dikategorikan Force Majeure, namun tidak serta merta semua perjanjian yang tidak dapat dilaksanakan pada masa pandemi kontrak tersebut menggunakan alasan overmacht, sebab pandemic covid 19 tidak dapat digeralisir sebagai overmacht pada setiap orang, melainkan harus dinilai secara kasus per kasus sesuai dengan situasi dan kondisi faktualnya masing masing. Situasi force majeur yang diakibatkan oleh COVID-19 tersebut tidak serta merta dapat dijadikan pembatalan suatu kontrak, namun sebagai bahan pertimbangan untuk dapat di sepakati kembali dengan adanya itikad baik
ONLINE DISPUTE RESOLUTION (ODR): PROSPEK PENYELESAIAN SENGKETA E-COMMERCE DI INDONESIA Meline Gerarita Sitompul; M. Syaifuddin; Annalisa Yahanan
Jurnal Renaissance Jurnal Renaissance Volume 1 Nomor 02, Agustus 2016
Publisher : Prima Center Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.53878/jr.v1i2.15

Abstract

Internet is not just limited to use of information that can be accessed through social media, but also can be used as a means to trade, that is e-commerce. In cyberspace, e-commerce transactions, it is possible occur a dispute as well as dispute occur in a conventionally legal relation. As activities of trade and e-commerce grow, the frequency of dispute will getting high and it means there will be a dispute that must be solved. Evolving information and communication technologies (ICT) will improve the managing and solving disputes online. When Alternative Dispute Resolution (ADR) are combined with ICT, the result is Online Dispute Resolution (ODR). This research is an attempt to discuss some issues about business settlement via ODR, and the prospect of ODR in Indonesia. This description is an attempt to give comprehensive view about the ODR and how the law will be used to mediate the civil dispute using the internet media as alternative possibility to resolve civil conflict in Indonesian society. This research characteristic is analytical descriptive. In the future, this discussion will open a new way in facilitating Indonesian people, especially for they that seeking the justice provision, in the resolving their dispute using the ODR.Key Words: e-commerce, online dispute resolution, dispute
IMPLEMENTASI KONSEP OMNIBUS LAW DALAM HUKUM INVESTASI DI INDONESIA Meline Gerarita Sitompul
JURNAL YURIDIS UNAJA Vol. 4 No. 2 (2021): JURNAL YURIDIS UNAJA
Publisher : Universitas Adiwangsa Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35141/jyu.v4i2.23

Abstract

Indonesia seharusnya menjadi pilihan yang menarik dalam bidang investasi di banding dengan negara asia yang lain. Hal ini berkaitan dengan kepastian hukum yang disebabkan karena banyaknya regulasi terkait perijinan yang tumpah tindih dan pada lamanya ijin investasi serta biaya tinggi yang sulit diprediksi. Ketakselarasan peraturan perundang-undangan terkait perizinan di berbagai sektor memunculkan gagasan perlunya omnibus law untuk menyelesaikan hambatan perizinan berusaha. Omnibus law yang lahir di negara yang menganut system Common Law diharapkan sebagai suatu alternatif terobosan baru sebagai reformasi regulasi di Indonesia. Konsep omnibus law seharusnya menjadi penyederhanaan dari berbagai regulasi di Indonesia mengenai investasi. Penelitian ini mencoba untuk membahas tentang konsep omnibus law dalam hukum investasi di Indonesia. Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, melalui penelitian dogmatik. Di kemudian hari, pembahasan ini kiranya akan membuka jalan untuk memfasilitasi tentang bagaimana konsep omnibus law yang jelas, taat terhadap hierarki aturan, dan menjamin kepastian hukum terkait dalam pembuatan suatu regulasi khususnya di bidang investasi.
URGENSI LEGALITAS FINANCIAL TECHNOLOGY (FINTECH): PEER TO PEER (P2P) LENDING DI INDONESIA Meline Gerarita Sitompul
JURNAL YURIDIS UNAJA Vol. 1 No. 2 (2018): JURNAL YURIDIS UNAJA
Publisher : Universitas Adiwangsa Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35141/jyu.v1i2.155

Abstract

Financial Technologi (Fintech) lahir dan berkembang sesuai tuntutan zaman dimanaproses pembayaran, transfer, jual beli, hingga pembiayaan diharapkan menjadisemakin praktis, aman dan modern. Salah satu layanan fintek yang mendapatkanperhatian adalah layanan peer to peer (P2P) lending. P2P lending adalah sebuahplatform teknologi yang mempertemukan secara digital peminjam yangmembutuhkan modal usaha dengan pemberi pinjaman yang mengharapkan returnyang kompetitif. Selama ini untuk fintech peer to peer (P2P) lending khususnyalayanan pinjam meminjam secara online yang terdaftar di OJK, payung hukumnyamengacu pada Peraturan OJK (POJK) Nomor 77 Tahun 2016. Berdasarkan POJK,OJK sebagai lembaga untuk mengatur, memberi izin dan mengawasi Fintech P2PLending yang terdaftar. Sementara untuk fintech ilegal atau yang belum terdaftar diOJK, diperlukan regulasi yang lebih tinggi kedudukannya dari POJK. Merujuk dataKementerian Komunikasi dan Informatika saat ini sudah 803 fintech yang telahdiblokir karena tak memiliki izin atau illegal. Penelitian ini mencoba untuk membahastentang urgensi legalitas financial technologi, khususnya P2P Lending di Indonesia.Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis. Di kemudian hari, pembahasan inikiranya akan membuka jalan untuk memfasilitasi masyarakat Indonesia, khususnyayang mencari kepastian hukum dalam penggunaan financial technologi P2P Lending.
PERLINDUNGAN HUKUM DALAM HAL DIREKSI PERSEROAN TERBATAS MELAKUKAN ULTRA VIRES Meline Gerarita Sitompul
JURNAL YURIDIS UNAJA Vol. 2 No. 1 (2019): JURNAL YURIDIS UNAJA
Publisher : Universitas Adiwangsa Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35141/jyu.v2i1.159

Abstract

Prinsip hukum ultra vires menetapkan bahwa batas kewenangan bertindak daribadan hukum memberikan pengertian, “adalah bukan tindakan hukum itu tidak bolehdilakukan, tetapi tindakan hukum tersebut tidak dapat dilakukan.” Hal tersebutmemberikan makna sebuah tindakan hukum tidak dapat dilakukan apabila menyalahiatau melampui batas maksud tujuan dan kegiatan perseroan. Hal itu merujukpenjelasan yang memberikan pengertian tentang tindakan ultra vires yaitu, tindakandireksi yang melampaui batas maksud tujuan dan kegiatan perseroan terbatas.Tujuannya untuk mengetahui bentuk tanggung jawab direksi perseroan dalamtindakan ultra vires demi perlindungan perseroan dan pihak lainnya serta bagaimanaperlindungan hukumnya terhadap pihak lainnya. Secara implisit Undang-UndangPerseroan Terbatas mengakui dan menerima Doktrin ultra vires. Pengakuan danpenerimaan ini terlihat dari adanya ketentuan-ketentuan yang berkaitan denganmaksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan. Untuk mengkaji dan menjawabpermasalahan diatas maka penelitian ini mempergunakan pendekatan yuridisnormatif, pendekatan sejarah, dan pendekatan kasus. Dengan pendekatan yuridisnormatif, maka dapat ditarik kesimpulan, yaitu: Pengaturan ultra vires menurut Pasal92 (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 mengenai batas kewenangan Direksiyang utama adalah “maksud dan tujuan perseroan” mempunyai 2 (dua) segi, di satupihak merupakan sumber kewenangan bertindak bagi perseroan dan di lain pihakmerupakan batas kewenangan bertindak perseroan. Tindakan ultra viresmenyebabkan timbulnya tanggung jawab pribadi pada Direksi yang didasarkan padaprinsip piercing the corporate veil (penyingkapan tirai perusahaan). Berdasarkan halini sistem pertanggungjawaban dalam hukum privat hukum perseroan terkait dengankepentingan perorangan/individu. Penelitian ini menyarankan sebaiknya ada aturantegas yang bersifat mengikat semua organ perseroan yaitu RUPS, Direksi danDewan Komisaris pada Anggaran Dasar perseroan berdasar pada Pasal 4 UndangUndang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Urgensi Legalitas Gaar dan Saar sebagai Instrumen Preventif Penghindaran Pajak di Indonesia Meline Gerarita Sitompul
JURNAL YURIDIS UNAJA Vol. 5 No. 1 (2022): JURNAL YURIDIS UNAJA
Publisher : Universitas Adiwangsa Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35141/jyu.v5i1.302

Abstract

Sekitar 80% sumber penerimaan negara, khususnya Indonesia ialah berasal dari pajak yang dipergunakan untuk membiayai pengeluaran umum negara yang tentunya untuk mensejahterakan rakyat Indonesia. Pada tahun 2020, berdasarkan Tax Justice Network, Indonesia diperkirakan mengalami kerugian sekitar Rp. 69,34 triliun akibat penghindaran pajak. Tentu adanya praktik penghindaran pajak telah diikuti pula dengan adanya ketentuan anti penghindaran pajak. Mayoritas negara-negara di dunia telah melengkapi sistem pajak domestik dengan ketentuan anti penghindaran pajak yang bersifat khusus dan umum. Penelitian ini mencoba untuk membahas mengenai urgensi dari Specific Anti Avoidance Rules (SAAR) dan General Anti Avoidance Rules (GAAR) sebagai instrumen preventif penghindaran pajak di Indonesia, dimana skema yang muncul akan penghindaran pajak juga semakin kompleks. Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, melalui penelitian dogmatik. Di kemudian hari, pembahasan terkait SAAR dan GAAR ini diharapkan dapat mengakomodasi keterbatasan informasi terkait dengan skema penghindaran pajak yang tidak dapat diketahui secara pasti. SAAR tedapat dalam Pasal 18 ayat (2) UU Pajak Penghasilan, Peraturan Menteri Keuangan nomor 107/PMK.03/2017 dan Peraturan Menteri Keuangan nomor 93/PMK.03/2019. Sedangkan dalam penjelasan Pasal 18 UU No 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, dinyatakan bahwa pemerintah berwenang mencegah praktik penghindaran pajak sebagai upaya yang dilakukan wajib pajak untuk mengurangi, menghindari, atau menunda pembayaran pajak yang seharusnya terutang yang bertentangan dengan maksud dan tujuan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Namun masih kurang eksplisit terkait ruang lingkup GAAR.
PENGARUH KEBIJAKAN PERMENDAG NO 19 TAHUN 2021 TERKAIT EKSPOR KOPI INDONESIA Sitompul, Meline Gerarita; Yunarti, Y; Afdal, Muh
Jurnal Galung Tropika Vol 12 No 1 (2023)
Publisher : Fakultas Pertanian, Peternakan dan Perikanan Universitas Muhammadiyah Parepare

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31850/jgt.v12i1.1052

Abstract

Provisions regarding coffee exports have been regulated several times by Regulation of the Minister of Trade of the Republic of Indonesia until the most recent is Permendag No. 19 of 2021. Since the enactment of this regulation, all coffee business actors have had the opportunity to become Indonesian coffee exporters. This study discusses whether there has been a change in the value of coffee exports before and after Permendag No.19 of 2021 on coffee exports in Indonesia. The research methodology used is quantitative descriptive, using secondary data, which is analyzed using the Paired sample T-test to determine the difference in the average coffee export value before and after Permendag No.19 of 2021. The results show that the Government of Trade No.19 of 2021 influences Indonesian coffee exports. The value of Indonesian coffee exports after the implementation of Permendag No. 19 of 2019 has increased, which is relatively high, as seen from the correlation value, which reaches 96%. The ease of exporting coffee products after the Minister of Trade Regulation is one of the reasons. Permendag No.19 of 2021 in article 50 point (r) makes the coffee export process more accessible so that in addition to reaching a broader market, it also increases the emergence of new exporters. It allows coffee from upstream or farmers to directly access the international market.
IMPLEMENTASI KONSEP OMNIBUS LAW DALAM HUKUM INVESTASI DI INDONESIA Meline Gerarita Sitompul
JURNAL YURIDIS UNAJA Vol. 4 No. 2 (2021): JURNAL YURIDIS UNAJA
Publisher : Universitas Adiwangsa Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35141/jyu.v4i2.23

Abstract

Indonesia seharusnya menjadi pilihan yang menarik dalam bidang investasi di banding dengan negara asia yang lain. Hal ini berkaitan dengan kepastian hukum yang disebabkan karena banyaknya regulasi terkait perijinan yang tumpah tindih dan pada lamanya ijin investasi serta biaya tinggi yang sulit diprediksi. Ketakselarasan peraturan perundang-undangan terkait perizinan di berbagai sektor memunculkan gagasan perlunya omnibus law untuk menyelesaikan hambatan perizinan berusaha. Omnibus law yang lahir di negara yang menganut system Common Law diharapkan sebagai suatu alternatif terobosan baru sebagai reformasi regulasi di Indonesia. Konsep omnibus law seharusnya menjadi penyederhanaan dari berbagai regulasi di Indonesia mengenai investasi. Penelitian ini mencoba untuk membahas tentang konsep omnibus law dalam hukum investasi di Indonesia. Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, melalui penelitian dogmatik. Di kemudian hari, pembahasan ini kiranya akan membuka jalan untuk memfasilitasi tentang bagaimana konsep omnibus law yang jelas, taat terhadap hierarki aturan, dan menjamin kepastian hukum terkait dalam pembuatan suatu regulasi khususnya di bidang investasi.