Claim Missing Document
Check
Articles

Found 8 Documents
Search

Mitologi Perkawinan Dayak Tobag Seko, Salfius; Soa, Alfonsus Hendri; Negara, Purnawan Dwikora
Widya Yuridika Vol 7, No 2 (2024): Widya Yuridika: Jurnal Hukum
Publisher : Universitas Widya Gama Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31328/wy.v7i2.5906

Abstract

This article reviews the implementation of the marriage traditions of the Dayak Tobag traditional community in Tayan Hilir District, Sanggau Regency from a socio-anthropological perspective which is still maintained today. The aim is to identify, describe and explain marriages in the Tobag Dayak sub-tribe from a socio- anthropological perspective in Tebang Benua Village, Tayan Hilir District using empirical legal research methods to see the types of traditional marriages carried out by the Tobag Dayak indigenous community. Indigenous peoples often have deep reasons for maintaining traditional marriages and rituals. Indigenous peoples tend to highly value their traditions and cultural heritage. Weddings and traditional rituals are an integral part of their cultural identity that has been passed down from generation to generation. Maintaining traditions is considered a way to honor ancestors and maintain the integrity of their culture. From the results of this research it can be revealed that there are 4 types of Tobag Dayak traditional marriage ceremonies, namely: hanging marriage customs, simple marriage customs, ordinary marriage customs, and large wedding customs
REVITALIZING TRADITION: THE ROLE OF PAKAT PERKARA IN RESOLVING LAND DISPUTES WITHIN THE DAYAK TOBAG COMMUNITY Seko, Salfius; Soa, Alfonsus Hendri
Masalah-Masalah Hukum Vol 54, No 1 (2025): MASALAH-MASALAH HUKUM
Publisher : Faculty of Law, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/mmh.54.1.2025.47-56

Abstract

Land disputes are a significant issue, especially for Indigenous communities, where traditional customs play a central role in resolving conflicts. In Tebang Benua Village, Tayan Hilir District, Sanggau Regency, the Dayak Tobag community utilizes a unique dispute resolution mechanism known as Pakat Perkara, which focuses on negotiation and consensus-building to resolve land disputes. This study examines the effectiveness of the Pakat Perkara mechanism, which integrates local wisdom and customary law to foster harmony and social cohesion. While the mechanism promotes fairness and inclusivity, challenges arise in reaching agreements, especially when there are significant differences in interests. This research highlights the need for further development and strengthening of this approach to ensure it functions effectively in addressing disputes. It also emphasizes the importance of integrating customary law into the formal legal system, creating a more responsive and equitable framework for resolving land disputes. The study concludes by recommending the revitalization of customary courts and legal procedures to enhance Indigenous peoples' autonomy and justice, promoting sustainable land management and community empowerment.
Pelaksanaan Tradisi Buang-Buang Masyarakat Adat Melayu Dusun Nanga Empanang Kabupaten Kapuas Hulu Rheva, Rheva Ayudia; Seko, Salfius
Majalah Ilmiah Tabuah: Ta`limat, Budaya, Agama dan Humaniora Vol. 29 No. 1 (2025): Majalah Ilmiah Tabuah : Ta'limat, Budaya, Agama, dan Humaniora
Publisher : Fakultas Adab dan Humaniora UIN Imam Bonjol Padang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37108/tabuah.v29i1.1679

Abstract

Tradisi buang-buang merupakan salah satu warisan budaya masyarakat adat Melayu Dusun Nanga Empanang, Kabupaten Kapuas Hulu. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pelaksanaan tradisi buang-buang secara mendalam pada era modernisasi, mulai dari persiapan, rangkaian upacara, hingga makna yang terkandung di dalamnya. Melalui metode wawancara tidak berstruktur, penelitian ini menemukan bahwa tradisi buang-buang memiliki peran penting dalam kehidupan sosial dan spiritual masyarakat. Tradisi ini masih sangat relevan dengan era modernisasi, yang mana tradisi ini sendiri tidak hanya sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur, tetapi juga sebagai sarana untuk menjaga keseimbangan antara manusia dan alam.
HUKUM ADAT SEBAGAI SARANA PERLINDUNGAN TERHADAP TEMBAWANG PADA SUB SUKU DAYAK TOBAG KALIMANTAN BARAT Seko, Salfius; Lolita, Lolita; Soa, Alfonsus Hendri
Bina Hukum Lingkungan Vol. 8 No. 1 (2023): Bina Hukum Lingkungan, Volume 8, Nomor 1, Oktober 2023
Publisher : Asosiasi Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24970/bhl.v8i1.243

Abstract

ABSTRAKTembawang atau lebih dikenal sebagai temawak pada sub suku Dayak Tobag merupakan kebun yang ditanami beraneka macam buah-buahan terkadang juga ditanami pohon tertentu, misalnya ulin, sungkai, dan lain sebagainya. Tembawang ini yang memiliki banyak fungsi, baik fungsi ekologis ekonomis, sosial budaya bahkan juga menjadi simbol identitas etnisitas dan keluarga. Saat ini keberadaannya “darurat “ baik eksistensi dan keberlangsungannya. Berdasarkan kenyataan tersebut, maka kajian ini memfokuskan pada permasalahan utama, yakni bagaimana perlindungan terhadap keberadaan tembawang pada sub suku Dayak Tobag? Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif eksploratif dan pendekatan action research dengan metode FGD. Penggunaan kedua metode tersebut dengan pertimbangan untuk melakukan pendalaman dan akurasi data terhadap kajian yang dilakukan. Sedangkan implementasi penelitian ini menggunakan metode FGD adalah bentuk aksi masyarakat dalam merekonstruksi dirinya ketika menghadapi suatu permasalahan sesuai kearifan lokal yang hidup dalam masyarakat. Keberadaan tembawang pada masyarakat sub suku Dayak Tobag yang terus mengalami penyusutan dari tahun ke tahun, baik secara kualitas maupun kuantitas, dikarenakan alih fungsi lahan secara masif dan dampak dari pembangunan yang tidak berbasis pada konsep ekologis. Di samping kedua faktor tersebut, ketiadaan regulasi yang memberi perlindungan terhadap tembawang berkontribusi cukup besar penyusutan areal tembawang tersebut. Untuk itu, kajian ini menjadi penting guna mendorong adanya pengakuan dan perlindungan secara de facto dan de jure, baik pada masyarakat adat maupun oleh negara. Adanya aturan adat dan peraturan di tingkat desa dapat menjadi solusi di tingkat basis untuk memberi perlindungan minimum terhadap keberadaan tembawang.Kata kunci: ketentuan hukum adat; perlindungan hukum; tembawang. ABSTRACTTembawang or better known as temawak in the Tobag Dayak sub-tribe is a garden planted with various kinds of fruits, sometimes certain trees are also planted, such as ironwood, sungkai, and so on. This Tembawang has many functions, both ecological, economic, socio-cultural and even as a symbol of ethnic identity and family. Currently its existence is "emergency" both its existence and sustainability. Based on this fact, this study focuses on the main problem, namely how to protect the existence of tembawang in the Tobag Dayak sub-tribe? The research method used is explorative qualitative and an action research approach with the FGD method. The use of these two methods is with the consideration of deepening and accuracy of the data for the studies conducted. While the implementation of this research using the FGD method is a form of community action in reconstructing themselves when facing a problem according to local wisdom that lives in society. The existence of tembawang in the Tobag Dayak sub-tribe community continues to experience depreciation from year to year, both in quality and quantity, due to massive land conversion and the impact of development that is not based on ecological concepts. In addition to these two factors, the absence of regulations that provide protection for tembawang has contributed significantly to the reduction in the tembawang area. For this reason, this study is important to encourage de facto and de jure recognition and protection, both for indigenous peoples and by the state. The existence of customary rules and regulations at the village level can be a solution at the base level to provide minimum protection against the existence of tembawang.Keywords: customary law; legal protection; tembawang.
Jaminan Kearifan Masyarakat Adat dalam Pembukaan Lahan Secara Membakar Berdasarkan Peraturan Gubernur Kalimantan Barat Soa, Alfonsus Hendri; Seko, Salfius; Ismawati, Sri
Bina Hukum Lingkungan Vol. 9 No. 2 (2025): Bina Hukum Lingkungan, Volume 9, Nomor 2, Februari 2025
Publisher : Asosiasi Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24970/bhl.v9i2.320

Abstract

ABSTRAK Tanah bagi masyarakat adat adalah ibu yang memberi kehidupan dan manusia adalah anak-anak yang diberi tanggung jawab untuk mengelola dan menjaganya. Dalam pemanfaatan lahan, masyarakat adat mengolahnya dengan cara membakar dan mengolahnya menjadi lahan pertanian untuk kemudian ditanami varietas lokal. Kegiatan tersebut dilakukan secara terus menerus sehingga menjadi sebuah kebutuhan. Namun kegiatan pembukaan lahan dengan cara membakar akan memberikan dampak negatif jika meluas dan tidak ada upaya preventif maupun represif. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap jaminan pembukaan lahan dengan cara membakar berdasarkan prinsip kearifan masyarakat adat. Metode penulisan yang digunakan adalah metode penelitian hukum empiris dengan menggunakan laporan penelitian penerapan prinsip keadilan restoratif dalam kasus lingkungan hidup bagi petani masyarakat adat dengan menggunakan pendekatan konseptual untuk menganalisis permasalahan yang diangkat. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa integrasi antara tradisi dan regulasi diperlukan untuk menjaga keseimbangan antara pertanian dan perlindungan lingkungan, guna memastikan keberlanjutan bagi generasi mendatang. Kata kunci: jaminan pembukaan lahan; masyarakat adat; prinsip kearifan masyarakat adat ABSTRACT Land for indigenous peoples is the mother who provides life and humans are the children who are entrusted with the responsibility to manage and look after it. In using land, indigenous people process it by burning it and turn it into agricultural land to then plant local varieties. These activities are carried out continuously, so they become a necessity. However, land clearing activities by burning them have negative impacts if they spread widely and there are no preventive or repressive measures. This research aims to reveal guarantees for land clearing by burning based on local wisdom principles. The writing method used is a normative legal research method using research reports on the implementation of restorative justice principles in environmental cases for indigenous community farmers using a conceptual approach to analyze the issues raised. The results of this research conclude that clearing land by burning based on the principles of local wisdom in indigenous communities is a guarantee for indigenous communities to preserve traditions and increase soil fertility levels in the process of planting local varieties of plants and surrounded by fire breaks to prevent the spread of fire to the surrounding area Keywords: indigenous people; land clearing; local wisdom
The Meaning of Religiosity of The Munjong Traditional Ceremony Seko, Salfius; Soa, Alfonsus Hendri; Lolita, Lolita
International Journal Ethnic, Racial and Cultural Heritage Vol 1, No 2 (2024): January 2024
Publisher : Universitas Tanjungpura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26418/ijerch.v1i2.75936

Abstract

The expression of gratitude of the Dayak Tobag community to Jebata is expressed in the form of gratitude called Munjong. Munjong has a meaning as an expression of gratitude for all gifts, fortune / harvest, protection and welfare as well as a form of restoration of relationships that have been damaged due to human behaviour in relation to the cosmos. The purpose of this research is to understand the religio magical meaning of the munjong traditional ceremony from the perspective of Dayak Tobag. This research uses empirical/sociological legal research methods using a phenomenological approach and hermeneutic theory so that it is known that the Dayak Tobag people see everything as a gift, a gift and everything that exists is centred and there is someone who makes it, namely SANG-ADA who makes everything exist and is the centre of everything that exists. All events and activities in relation to nature (cosmos) and humans in the Tobag Dayak community are seen in a transcendental dimension culminating in an expression of gratitude. The expression of gratitude in the Tobag Dayak perspective is manifested in a traditional Munjong ceremony.  
HUKUM ADAT SEBAGAI SARANA PERLINDUNGAN TERHADAP TEMBAWANG PADA SUB SUKU DAYAK TOBAG KALIMANTAN BARAT Seko, Salfius; Lolita, Lolita; Soa, Alfonsus Hendri
Bina Hukum Lingkungan Vol. 8 No. 1 (2023): Bina Hukum Lingkungan, Volume 8, Nomor 1, Oktober 2023
Publisher : Asosiasi Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24970/bhl.v8i1.243

Abstract

ABSTRAKTembawang atau lebih dikenal sebagai temawak pada sub suku Dayak Tobag merupakan kebun yang ditanami beraneka macam buah-buahan terkadang juga ditanami pohon tertentu, misalnya ulin, sungkai, dan lain sebagainya. Tembawang ini yang memiliki banyak fungsi, baik fungsi ekologis ekonomis, sosial budaya bahkan juga menjadi simbol identitas etnisitas dan keluarga. Saat ini keberadaannya “darurat “ baik eksistensi dan keberlangsungannya. Berdasarkan kenyataan tersebut, maka kajian ini memfokuskan pada permasalahan utama, yakni bagaimana perlindungan terhadap keberadaan tembawang pada sub suku Dayak Tobag? Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif eksploratif dan pendekatan action research dengan metode FGD. Penggunaan kedua metode tersebut dengan pertimbangan untuk melakukan pendalaman dan akurasi data terhadap kajian yang dilakukan. Sedangkan implementasi penelitian ini menggunakan metode FGD adalah bentuk aksi masyarakat dalam merekonstruksi dirinya ketika menghadapi suatu permasalahan sesuai kearifan lokal yang hidup dalam masyarakat. Keberadaan tembawang pada masyarakat sub suku Dayak Tobag yang terus mengalami penyusutan dari tahun ke tahun, baik secara kualitas maupun kuantitas, dikarenakan alih fungsi lahan secara masif dan dampak dari pembangunan yang tidak berbasis pada konsep ekologis. Di samping kedua faktor tersebut, ketiadaan regulasi yang memberi perlindungan terhadap tembawang berkontribusi cukup besar penyusutan areal tembawang tersebut. Untuk itu, kajian ini menjadi penting guna mendorong adanya pengakuan dan perlindungan secara de facto dan de jure, baik pada masyarakat adat maupun oleh negara. Adanya aturan adat dan peraturan di tingkat desa dapat menjadi solusi di tingkat basis untuk memberi perlindungan minimum terhadap keberadaan tembawang.Kata kunci: ketentuan hukum adat; perlindungan hukum; tembawang. ABSTRACTTembawang or better known as temawak in the Tobag Dayak sub-tribe is a garden planted with various kinds of fruits, sometimes certain trees are also planted, such as ironwood, sungkai, and so on. This Tembawang has many functions, both ecological, economic, socio-cultural and even as a symbol of ethnic identity and family. Currently its existence is "emergency" both its existence and sustainability. Based on this fact, this study focuses on the main problem, namely how to protect the existence of tembawang in the Tobag Dayak sub-tribe? The research method used is explorative qualitative and an action research approach with the FGD method. The use of these two methods is with the consideration of deepening and accuracy of the data for the studies conducted. While the implementation of this research using the FGD method is a form of community action in reconstructing themselves when facing a problem according to local wisdom that lives in society. The existence of tembawang in the Tobag Dayak sub-tribe community continues to experience depreciation from year to year, both in quality and quantity, due to massive land conversion and the impact of development that is not based on ecological concepts. In addition to these two factors, the absence of regulations that provide protection for tembawang has contributed significantly to the reduction in the tembawang area. For this reason, this study is important to encourage de facto and de jure recognition and protection, both for indigenous peoples and by the state. The existence of customary rules and regulations at the village level can be a solution at the base level to provide minimum protection against the existence of tembawang.Keywords: customary law; legal protection; tembawang.
Jaminan Kearifan Masyarakat Adat dalam Pembukaan Lahan Secara Membakar Berdasarkan Peraturan Gubernur Kalimantan Barat Soa, Alfonsus Hendri; Seko, Salfius; Ismawati, Sri
Bina Hukum Lingkungan Vol. 9 No. 2 (2025): Bina Hukum Lingkungan, Volume 9, Nomor 2, Februari 2025
Publisher : Asosiasi Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24970/bhl.v9i2.320

Abstract

ABSTRAK Tanah bagi masyarakat adat adalah ibu yang memberi kehidupan dan manusia adalah anak-anak yang diberi tanggung jawab untuk mengelola dan menjaganya. Dalam pemanfaatan lahan, masyarakat adat mengolahnya dengan cara membakar dan mengolahnya menjadi lahan pertanian untuk kemudian ditanami varietas lokal. Kegiatan tersebut dilakukan secara terus menerus sehingga menjadi sebuah kebutuhan. Namun kegiatan pembukaan lahan dengan cara membakar akan memberikan dampak negatif jika meluas dan tidak ada upaya preventif maupun represif. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap jaminan pembukaan lahan dengan cara membakar berdasarkan prinsip kearifan masyarakat adat. Metode penulisan yang digunakan adalah metode penelitian hukum empiris dengan menggunakan laporan penelitian penerapan prinsip keadilan restoratif dalam kasus lingkungan hidup bagi petani masyarakat adat dengan menggunakan pendekatan konseptual untuk menganalisis permasalahan yang diangkat. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa integrasi antara tradisi dan regulasi diperlukan untuk menjaga keseimbangan antara pertanian dan perlindungan lingkungan, guna memastikan keberlanjutan bagi generasi mendatang. Kata kunci: jaminan pembukaan lahan; masyarakat adat; prinsip kearifan masyarakat adat ABSTRACT Land for indigenous peoples is the mother who provides life and humans are the children who are entrusted with the responsibility to manage and look after it. In using land, indigenous people process it by burning it and turn it into agricultural land to then plant local varieties. These activities are carried out continuously, so they become a necessity. However, land clearing activities by burning them have negative impacts if they spread widely and there are no preventive or repressive measures. This research aims to reveal guarantees for land clearing by burning based on local wisdom principles. The writing method used is a normative legal research method using research reports on the implementation of restorative justice principles in environmental cases for indigenous community farmers using a conceptual approach to analyze the issues raised. The results of this research conclude that clearing land by burning based on the principles of local wisdom in indigenous communities is a guarantee for indigenous communities to preserve traditions and increase soil fertility levels in the process of planting local varieties of plants and surrounded by fire breaks to prevent the spread of fire to the surrounding area Keywords: indigenous people; land clearing; local wisdom