Muhammad Ridhwan
Fakultas Ilmu Sosial Terapan, Universiti Sultan Zainal Abidin, Malaysia

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

TRANSISI EKONOMI POLITIK GAM: Kajian Arah Pembangunan Gerakan Aceh Merdeka GAM Muhammad Ridhwan; Fauzi Fauzi; Sity Daud
Fikiran Masyarakat Vol 3, No 2 (2015)
Publisher : Penerbit Kemala Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (209.616 KB)

Abstract

Makalah ini membahas tentang kajian – kajian sosial dan politik masyarakat Aceh sebagai suatu pertimbangan pemikiran untuk memajukan dan kesejahteraan masyarakat serta membangun kembali peradaban, tata kehidupan dan strutkur sosial yang telah terbangun semenjak dahulu. Pasca perjanjian damai antara Pemerintah Republik Indonesia (RI) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005, bertempat di Smolna the Government Bunked Hall (Balai Pertemuan Finlandia), GAM dan Pemerintah Republik Indonesia (RI) dapat bertemu dan duduk bersama di satu meja untuk mengikrarkan janji, membubuhkan tandatangan dalam (Memorandum of Understanding) MoU Helsinki atas kesepakatan perdamaian, penghentian perselisihan yang telah berlangsung selama hampir tiga puluh tahun lebih. Yang memfasilitasi perdamaian adalah Crisist Management Initiative (CMI), lembaga yang dipimpin oleh mantan Presiden Finlandia Marti Ahtisaari yang memediasi pertemuan perundingan tersebut. Tercapainya kesepakatan perdamaian Aceh merupakan perjalanan panjang dari kedua belah pihak dalam proses negosiasi politik yang alot. Lobi-lobi politik dalam proses perundingan, ditempuh Pemerintah RI melalui pendekatan kemanusiaan dengan mempertimbangkan penderitaan rakyat Aceh harus dihentikan, rusaknya tatanan perekonomian harus disudahi, hancurnya sarana dan prasarana umum serta hilangnya puluhan ribu nyawa masyarakat sipil yang tidak berdosa menjadi telaah para perunding untuk mengakhiri konflik konflik rakyat Indonesia di penghujung barat.
PELAYANAN AKADEMIK DAN KEPUASAN MAHASISWA: STUDI KASUS SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI TEUNGKU DIRUNDENG MEULABOH Muhammad Ridhwan; Norizan Abdul Ghani; Mirna Ria Andini
Jurnal Ekonomi Syariah, Akuntansi dan Perbankan (JESKaPe) Vol 2 No 2 (2018): JESKaPe Vol. 2 No. 2 July-December 2018
Publisher : Faculty of Islamic Economics and Business, IAIN Lhokseumawe

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (155.242 KB)

Abstract

STAIN Teungku Direundeng Meulaboh adalah institusi pendidikan dengan pendelegasian wewenang manajemen untuk memenuhi penjaminan mutu kepada siswa di setiap program studi. Pelayanan akademik merupakan kegiatan atau serangkaian kegiatan tak kasat mata yang terjadi karena interaksi antara siswa dan staf yang diberikan oleh pihak pengelola kampus yang bertujuan untuk memecahkan masalah siswa.Adapun pertimbangan metode kualitatif dalam penelitian ini adalah peneliti memperoleh aspek penting terkait pelaksanaan pelayanan akademik dan administrasi STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh.Kepuasan siswa terhadap kualitas pelayanan yang diberikan oleh STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh menemukan bahwa tingkat kepatuhan akademisi terhadap peraturan yang ditetapkan oleh STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh belum optimal.Ada dosen yang memberikan pelayanan yang layak dengan tidak mengikuti kelas sampai tujuh kali.Hampir semua aspek kualitas layanan yang meliputi empati, reliabilitas, dan daya tanggap tidak optimal. Keywords: Kepuasan Mahasiswa, Kualitas Pelayanan, Pelayanan Sarana Akademik, Lembaga Pendidikan
WALI NANGGROE ACEH: PERUBAHAN BUDAYA DAN POLITIK ACEH DALAM NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA (NKRI) Muhammad Ridhwan; Yahaya Ibrahim
JURNAL HURRIAH: Jurnal Evaluasi Pendidikan dan Penelitian Vol. 3 No. 2 (2022): Jurnal Hurriah: Jurnal Evaluasi Pendidikan dan Penelitian
Publisher : Yayasan Hurriah, Banda Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.5806/jh.v3i2.90

Abstract

English. The purpose of this study is to identify the use of the Wali Nanggroe system during the first Aceh civilization from the application of the Wali Nanggroe system after entering Indonesia. The purpose of this research is to look at the impact of the Wali Nanggroe Law on development and governance in Aceh. This study employed a triangulation strategy to data collecting, including interviews, literature reviews, and questionnaires. The interview data was evaluated using NVIVO 12. The research findings show discrepancies between the current Wali Nanggroe system and the Kingdom of Aceh Darussalam's period. Historically, Wali Nanggroe refers to the supreme ruler who succeeded the Sultan. Furthermore, the Indonesian central government deployed Wali nanggroe in the Aceh conflict. Furthermore, Wali nanggroe has evolved from the Helsinki MoU, a peace treaty between Indonesia and GAM. Wali nanggroe is an institution that links customs and preserves prosperity, justice, and peace; it also performs other tasks as specified in the Aceh Qanun for wali nanggroe institutions nos. 8, 9, and 10. Wali nanggroe are currently part of the Indonesian state system. Wali Nanggroe's presence is meant to reinforce Aceh's identity. The heritage of the Aceh kingdom's sultanate civilisation, which includes customary institutions and Islamic law enforcement organizations, does not imply that the burden for applying Islamic law is primarily the responsibility of government authorities. Bahasa. Artikel ini merupakan penelitian yang dilakukan untuk membedakan penerapan sistem Wali Nanggroe pada masa peradaban Aceh pertama dengan sistem Wali Nanggroe setelah masuk ke Negara Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh UU Wali Nanggroe terhadap pembangunan dan pemerintahan di Aceh. Untuk pengumpulan data, penelitian ini menggunakan pendekatan triangulasi seperti wawancara, studi pustaka, dan angket. NVIVO 12 digunakan untuk mengevaluasi data wawancara. Temuan penelitian mengungkapkan perbedaan antara sistem Wali Nanggroe saat ini dan zaman Kerajaan Aceh Darussalam. Secara historis, istilah Wali Nanggroe menunjukkan penguasa tertinggi yang menggantikan Sultan. Selanjutnya, Wali nanggroe telah digunakan dalam perang Aceh dari pemerintah pusat Indonesia. Lebih lanjut, Wali nanggroe sekarang adalah organisasi yang lahir dari MoU Helsinki, perjanjian damai antara Indonesia dan GAM. Wali nanggroe adalah lembaga yang menghubungkan adat dan memelihara kemakmuran, keadilan, dan perdamaian; itu juga memiliki fungsi tambahan sebagaimana diatur dalam Qanun Aceh untuk lembaga wali nanggroe No. 8, 9, dan 10. Wali nanggroe sekarang termasuk ke dalam struktur negara Indonesia. Kehadiran Wali Nanggroe diharapkan dapat membantu memperkuat identitas Aceh. Warisan peradaban kesultanan kerajaan Aceh yang terdiri dari lembaga adat dan lembaga penegak hukum Islam, tidak berarti bahwa tanggung jawab pelaksanaan hukum Islam semata-mata merupakan tugas instansi pemerintah