Kekerasan terhadap anak merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia dan menimbulkan dampak fisik, psikis, serta sosial-ekonomi yang mendalam bagi korban. Dalam sistem peradilan pidana, pemulihan hak anak sebagai korban salah satunya diwujudkan melalui mekanisme restitusi. Restitusi merupakan ganti kerugian yang wajib dibayarkan oleh pelaku atau pihak ketiga kepada korban atas kerugian yang ditimbulkan. Namun demikian, pelaksanaan hak restitusi dalam perkara kekerasan terhadap anak masih menghadapi sejumlah kendala, baik secara normatif maupun implementatif. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kewenangan pengajuan restitusi dalam perkara kekerasan terhadap anak berdasarkan kerangka hukum nasional dan internasional, serta mengidentifikasi hambatan-hambatan yang terjadi dalam praktik. Metode yang digunakan adalah penelitian deskriptif kualitatif melalui studi kepustakaan dan studi lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak korban kekerasan belum memiliki kewenangan hukum untuk mengajukan restitusi secara langsung sehingga harus diwakili oleh orang tua, wali, LPSK, atau jaksa. Kendala yang dihadapi antara lain adalah kurangnya pemahaman hukum masyarakat, prosedur yang kompleks, minimnya peran aparat penegak hukum, keterbatasan kapasitas LPSK, serta sulitnya pembuktian kerugian. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan langkah-langkah seperti penguatan sosialisasi hukum, penyederhanaan prosedur, peningkatan kapasitas lembaga terkait, serta reformasi regulasi yang mendukung pemulihan holistik bagi anak. Penelitian ini merekomendasikan pentingnya kolaborasi antara negara, lembaga perlindungan, dan masyarakat sipil dalam memastikan hak restitusi anak korban kekerasan dapat terpenuhi secara efektif dan berkeadilan.