Yunita, Masna
Unknown Affiliation

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

TRADISI PEMBERIAN PITI BALANJO PADA PEREMPUAN DALAM MASA PINANGAN DI NAGARI MANGGILANG Salma, Salma; Aliya, Kharisma; Yunita, Masna
PALASTREN Jurnal Studi Gender Vol 11, No 2 (2018): PALASTREN
Publisher : STAIN Kudus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21043/palastren.v11i2.3750

Abstract

Tulisan ini bertujuan untuk mendalami dan mengungkapkan satu tradisi unik masyarakat Nagari Manggilang di Kabupaten Lima Puluh Kota. Laki-laki yang melamar seorang perempuan memberikan piti balanjo setiap minggu kepada perempuan yang dilamarnya selama dalam masa pertunangan. Piti balanjo itu adalah sejumlah uang yang diberikan oleh laki-laki pada tunangannya dan tidak bagian dari mahar. Dalam hukum Islam, lamaran dan masa tunggu sampai pada akad perkawinan tidak menimbulkan kewajiban terhadap seorang laki-laki untuk memberikan uang belanja atau nafkah apapun pada perempuan yang menerima lamarannya. Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam dengan pasangan bertunangan maupun pasangan menikah yang sebelumnya memberikan piti balanjo, keluarga inti, ninik mamak kepala suku dan ulama lokal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan tradisi maagiah pitih balanjo sudah ada sejak lama dan turun-temurun di Nagari Manggilang. Makna pemberian piti balanjo adalah bukti kesungguhan, pengikat dan tanggung jawab laki-laki pada tunangannya. Adapun piti balanjo ini diberikan kepada perempuan melalui wali perempuan dan tidak dibenarkan adat untuk langsung diberikan oleh laki-laki yang melamar. Alasan masyarakat Manggilang mempertahankan tradisi ini adalah untuk memberitahukan kepada masyarakat bahwa seorang perempuan telah dilamar oleh seorang laki-laki agar laki-laki lain tidak mengambil kesempatan untuk melamar perempuan dalam pinangan. Oleh karena itu, piti balanjo ini termasuk pada kelompok hibah, karena piti balanjo ini diberikan atas dasar kerelaan hati dan bertujuan memuliakan perempuan.
Berdamai dengan Para Pencuri (As-Sulhu sebagai Cara Penyelesaian Pencurian di Batang Kumu) Salma, Salma; Najuddin, Ritonga; Yunita, Masna
Pandecta Research Law Journal Vol 15, No 2 (2020): December
Publisher : Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/pandecta.v15i2.24299

Abstract

Pencurian adalah kejahatan universal dan dihukum berat para pelakunya dalam setiap komunitas masyarakat. Hukum Islam menjelaskan bahwa pencurian termasuk kategori hudud dengan hukuman tertinggi potong tangan. Berbeda dengan Indonesia, pencuri dihukum dengan hukuman penjara dan tertinggi dengan hukuman mati seperti yang dijelaskan dalam pasal 362-367 KUHP. Di wilayah Batang Kumu, Riau kasus pencurian tidak diselesaikan oleh kepolisian tetapi diselesaikan secara adat oleh para tetua dengan mendamaikan kedua pihak dan di dalamnya terlibat kepolisian. Jenis penelitian adalah penelitian lapangan dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam dengan para pencuri, korban pencurian, tetua adat, perwakilan masyarakat dan ulama lokal. Data juga dikumpulkan melalui studi dokumen dan akhirnya data dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan teknik reduksi, display dan verifikasi (penarikan kesimpulan). Hasil penelitian menunjukkan bahwa cukup banyak kasus pencurian yang terjadi di wilayah Batang Kumu. Pencurian itu dilakukan oleh warga sekitar Batang Kumu, sehingga Kepala Desa mengeluarkan imbauan yang berisi tentang peringatan dan ancaman adat bagi orang yang mencuri. Kasus-kasus pencurian diselesaikan melalui perdamaian dan tetua agama dan adat menjadi mediator atau juru perdamaian antara orang yang mencuri dan korban pencurian serta disaksikan oleh sebagian warga masyarakat. Model perdamaian itu bisa dibenarkan dalam konsep as-sulhu karena pencurian sebagai bagian dari hudud bisa dimaafkan selama kasus itu belum sampai pada pihak berwenang. Uniknya, di antara hukuman adat yang diberikan adalah hukuman kurungan setidaknya selama satu minggu di tahanan kepolisian atas nama pinjaman polisi kepada para tetua adat. Theft is a universal crime and severely punished by the perpetrators in every community. Islamic law explains that the theft is one of the hudud categories with the severest punishment for cutting hand. Meanwhile, in Indonesia, a thief is sentenced to imprisonment, and the severest punishment is a death penalty, as described in articles 362-367 of the Criminal Code (KUHP). In the Batang Kumu area, Riau Province, the theft cases were not resolved by the law but were resolved customarily by reconciling the two parties and involved police institutions. The field research used in-depth interviews with thieves, victims of the theft, religious elders, and community representatives. Data collected through document studies. The results showed that there were a quite number of theft cases occurred in the Batang Kumu area. The theft was carried out by residents around Batang Kumu, so the village head issued an appeal containing warnings and common threats for theft. The theft cases resolved peacefully. Religious and customary elders have become mediators or peacekeepers between victims and the thief (s). Some people of the community witnessed the reconciliations. The model of reconciliation justified as a sulhu concept.  Theft is part of hudud, and forgiven is possible as long as it has not reached the police office yet. Uniquely, one of the customary punishments which sentence of imprisonment at least one week in police custody in the name of a police loan to the traditional elders.
The Legal Position Of The Wife's Inherited Property In The Marital Joint Property Due To The Bankruptcy Of The Husband Febrianty, Yenny; Tranggono, Emiral Rangga; Fitria, Mayzara Sari; Ariyanto, Ariyanto; Fitri, Hidayati; Yunita, Masna
PALAR (Pakuan Law review) Vol 11, No 1 (2025): Volume 11, Number 1 January-March 2025
Publisher : UNIVERSITAS PAKUAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33751/palar.v11i1.11615

Abstract

Abstrak Perkawinan dalam bentuk rumah tangga, adakalanya tidak memiliki cukup uang untuk membiayai keperluan atau kegiatannya. Sehingga untuk mencukupi kekurangan yang tersebut, suami / isteri dapat melakukan pinjaman kepada pihak lain. Pinjaman tersebut dapat dilakukan oleh suami/istri tersebut dengan bantuan sumber-sumber pendanaan baik dari perorangan maupun dari lembaga-lembaga pembiayaan, sehingga kekurangan dana tersebut dapat diperoleh. Hal ini disebut dengan istilah utang. Untuk mencegah pertentangan atau perselisihan antara para kreditor tersebut tersebut, biasanya debitor atau kreditor lebih memilih menyelesaikan permasalah tersebut melalui lembaga kepailitan. Dengan kepailitan akan diadakan suatu penyitaan umum terhadap seluruh harta kekayaan debitor yang selanjutnya nanti akan dibagi kepada kreditor secara seimbang dan adil di bawah pengawasan pertugas yang berwenang untuk itu. Maka untuk itu dalam penulisan hukum ini fokus analisis adalah tentang kedudukan hukum harta bawaan isteri dalam harta bersama perkawinan akibat dipailitannya suami. Pendekatan penulisan menggunakan metode yuridis normatif yang sumbernya berasal dari data sekunder, dan hasil dari penelitian ini adalah kedudukan harta bawaan Isteri, jika harta bersama tidak mencukupi untuk membayar utang Suami, maka pada dasarnya harta bawaan isteri masih berada di bawah penguasaan si isteri dan masih menjadi hak sepenuhnya oleh isteri. Kata Kunci: Harta Bawaan, Harta Bersama, Perkawinan, Kepailitan. Abstract Marriage, in the form of a household, sometimes does not have enough money to finance its needs or activities. So, to cover the shortage, the husband/wife can borrow from another party. The loan can be made by the husband/wife with the help of funding sources, either from individuals or from financial institutions, so that the lack of funds can be obtained. This is called debt. To prevent conflicts or disputes between creditors, debtors or creditors prefer to resolve these problems through bankruptcy institutions. With bankruptcy, a general seizure will be carried out on all the debtor's assets which will then be distributed to the creditors in a balanced and fair manner under the supervision of authorized officers. Therefore, in writing this law, the focus of the analysis is on the legal position of the wife's assets in the joint marital assets due to the bankruptcy of the husband. The writing method uses a normative legal method whose sources come from secondary data, and the results of this study are the position of the wife's assets, if the joint assets are not sufficient to pay the husband's debt, then basically the wife's assets are still under the control of the wife and are still fully the wife's rights. Keywords: Property, Joint Property, Marriage, Bankruptcy.