Claim Missing Document
Check
Articles

Found 10 Documents
Search

KEBIJAKAN IMPOR BERAS DI INDONESIA: SUATU PENDEKATAN EKONOMIKA DAN HUKUM Alan, Muhammad Fikri
Jurnal Yuridis Vol 6, No 1 (2019): Jurnal Yuridis
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (230.289 KB) | DOI: 10.35586/jyur.v6i1.792

Abstract

Penelitian ini berangkat dari kenyataan adanya gap antara norma hukum di bidang pangan, dengan kebijakan impor beras di Indonesia. Norma hukum yang mengamanatkan agar kebijakan ekspor pangan dilakukan ketika kebutuhan dalam negeri telah terpenuhi, dan impor dilakukan ketika kebutuhan dalam negeri mengalami kekurangan, kenyataannya justru dilakukan secara bersamaan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, Indonesia masih melakukan impor beras bersama-sama dengan kebijakan ekspor. Sepanjang Januari-Oktober 2017, impor beras Indonesia mencapai 256,56 ribu ton dengan nilai US$ 119,78 juta dan pada saat yang bersamaan pula, ekspor beras Indonesia sepanjang Januari-November 2017 mencapai 3,5 ribu ton dengan nilai US$ 3,25 juta. Penelitian ini sedikit banyak akan membahas mengenai permasalahan tersebut. Pembahasan utamanya akan melihat dari faktor-faktor apa yang sesungguhnya masih mengakibatkan dilakukannya impor beras di Indonesia dan berakibat pada ketidaksesuaian antara kebijakannya dengan norma hukum.
Mendesain Putusan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Tentang Opened Legal Policy: Suatu Upaya Mewujudkan Integritas Peradilan Alan, Muhammad Fikri; Saputri, Fenolia Intan
Judex Laguens Vol 1 No 1 (2023)
Publisher : Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25216/ikahi.1.1.4.2023.57-80

Abstract

The Administrative Court Judge's decision according to paragraph 97 section (7) Law Number 5 of 1986 consists of 4 types of decisions, namely: (a) Rejected Decision, (b) Accepted Decision, (c) Not Accepted Decision, (d) Aborted Decision. A State Administrative Decree (KTUN) can be defended, if the KTUN does not actually conflict with the Legislation and AUPB. This raises a new question, can a KTUN be defended on the grounds that the KTUN is an Opened Legal Policy from a State Administrative Agency or Official? In this paper the author tries to formulate an ideal design regarding PTUN decisions under the pretext of opened legal policy. The aim is that in the future there will be no debates regarding all decisions issued by the PTUN which are none other than as a momentum to realize an integrity of the judiciary in the life of the nation and state. The author in his writings uses the normative juridical method with statutory approaches, conceptual approaches, and case approaches.
Restorative Justice and Agrarian Reform Conflict Resolution Alan, Muhammad Fikri
BHUMI: Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 10 No. 1 (2024): Bhumi: Jurnal Agraria dan Pertanahan
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31292/bhumi.v10i1.773

Abstract

Abstract: Various structural agrarian conflicts remain unresolved after the government's implementation of agrarian reform. Differences in interpretation of agrarian reform trigger the conflict. The government's interpretation is different from the community's interpretation, which considers agrarian reform to be a systematic effort to provide the community with access to land. This article employs an empirical legal research method, combining a sociological perspective and a case study approach. This article contains several important findings, one of which is that asset legalization is not an agrarian reform. Asset legalization fails to address the issue of land ownership inequality. The government's implementation of land redistribution fails to address the issue of land ownership inequality. The government's version of land redistribution not only fails to resolve the issue of land ownership inequality, but also seizes land from marginalized communities. The same goes for social forestry. Social forestry leaves behind unresolved agrarian and environmental conflicts. Differences in interpreting agrarian reform actually cause all these problems. Therefore, we can use restorative justice as an alternative to solving the problem. As a problem-solving model involving victims and suspects, this resolution model seeks peace between the two parties. The hope is that there will be no more bloody agrarian conflicts, especially related to agrarian reform in Indonesia. Keywords: Agrarian Reform, Agrarian Conflict, Restorative Justice
Mendesain Putusan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Tentang Opened Legal Policy: Suatu Upaya Mewujudkan Integritas Peradilan Alan, Muhammad Fikri; Saputri, Fenolia Intan
Judex Laguens Vol 1 No 1 (2023)
Publisher : Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25216/ikahi.1.1.4.2023.57-80

Abstract

The Administrative Court Judge's decision according to paragraph 97 section (7) Law Number 5 of 1986 consists of 4 types of decisions, namely: (a) Rejected Decision, (b) Accepted Decision, (c) Not Accepted Decision, (d) Aborted Decision. A State Administrative Decree (KTUN) can be defended, if the KTUN does not actually conflict with the Legislation and AUPB. This raises a new question, can a KTUN be defended on the grounds that the KTUN is an Opened Legal Policy from a State Administrative Agency or Official? In this paper the author tries to formulate an ideal design regarding PTUN decisions under the pretext of opened legal policy. The aim is that in the future there will be no debates regarding all decisions issued by the PTUN which are none other than as a momentum to realize an integrity of the judiciary in the life of the nation and state. The author in his writings uses the normative juridical method with statutory approaches, conceptual approaches, and case approaches.
Mendesain Putusan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Tentang Opened Legal Policy: Suatu Upaya Mewujudkan Integritas Peradilan Alan, Muhammad Fikri; Saputri, Fenolia Intan
Judex Laguens Vol 1 No 1 (2023)
Publisher : Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25216/ikahi.1.1.4.2023.57-80

Abstract

Putusan Hakim PTUN menurut Pasal 97 ayat (7) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 terdiri dari 4 jenis putusan yakni berupa: (a)Putusan Ditolak, (b)Putusan Dikabulkan, (c)Putusan Tidak Diterima, (d)Putusan Gugur. Suatu Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) dapat dipertahankan, jika KTUN tersebut secara nyata tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan dan AUPB. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan baru, dapatkah suatu KTUN dipertahankan dengan alasan KTUN tersebut merupakan suatu Opened Legal Policy (kebijakan hukum terbuka) dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara? Dalam Tulisan ini penulis berusaha merumuskan bagaimana desain yang ideal mengenai putusan PTUN dengan dalih opened legal policy. Tujuannya agar dikemudian hari tidak timbul perdebatan-perdebatan mengenai segala putusan yang dikeluarkan oleh PTUN yang tidak lain yakni sebagai momentum untuk mewujudkan suatu integritas badan peradilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Penulis dalam tulisanya menggunakan metode yuridis normatif dengan metode pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsep, serta pendekatan kasus.
Mendesain Putusan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Tentang Opened Legal Policy: Suatu Upaya Mewujudkan Integritas Peradilan Alan, Muhammad Fikri; Saputri, Fenolia Intan
Judex Laguens Vol 1 No 1 (2023)
Publisher : Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25216/ikahi.1.1.4.2023.57-80

Abstract

Putusan Hakim PTUN menurut Pasal 97 ayat (7) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 terdiri dari 4 jenis putusan yakni berupa: (a)Putusan Ditolak, (b)Putusan Dikabulkan, (c)Putusan Tidak Diterima, (d)Putusan Gugur. Suatu Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) dapat dipertahankan, jika KTUN tersebut secara nyata tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan dan AUPB. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan baru, dapatkah suatu KTUN dipertahankan dengan alasan KTUN tersebut merupakan suatu Opened Legal Policy (kebijakan hukum terbuka) dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara? Dalam Tulisan ini penulis berusaha merumuskan bagaimana desain yang ideal mengenai putusan PTUN dengan dalih opened legal policy. Tujuannya agar dikemudian hari tidak timbul perdebatan-perdebatan mengenai segala putusan yang dikeluarkan oleh PTUN yang tidak lain yakni sebagai momentum untuk mewujudkan suatu integritas badan peradilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Penulis dalam tulisanya menggunakan metode yuridis normatif dengan metode pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsep, serta pendekatan kasus.
The 3-in-1 Policy Model for Strengthening Urban Food Security: An Integrated Approach Alan, Muhammad Fikri; Maulami, M. Ijaz Alfan; Arumbinang, Mohammad Hazyar
Fenomena Vol 24 No 1 (2025): FENOMENA: Journal of the Social Sciences
Publisher : LP2M UIN KH.Achmad Siddiq Jember

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35719/fenomena.v24i1.200

Abstract

Kediri City has experienced a significant increase in agricultural land conversion. This issue remains a severe problem in agrarian development locally and nationally. Continuous eviction and conversion of agricultural land will reduce the country's food production capacity and hinder the achievement of food security. Previous research identifies farmer poverty as the main driver of agricultural land conversion. This study proposes an integrative 3 in 1 policy to prevent further conversion, encompassing farmer empowerment, land extensification reorganization, and regulatory reform. All three elements will be integrated into one sustainable agricultural policy. This research employs empirical legal methods with a sociological approach, collecting qualitative data from farmers in Kediri City and comparing it with existing theories, laws, and regulations. The findings indicate that farmers have not yet received optimal empowerment. Farmers tend to convert land because farming no longer ensures prosperity. High fertilizer prices, expensive labour costs, and uncertain harvest prices are various inhibiting factors. Thus, the 3 in 1 Policy could be an alternative to solve this problem. Kota Kediri mengalami peningkatan alih fungsi lahan pertanian yang begitu masif. Alih fungsi lahan pertanian masih menjadi persoalan yang sangat serius dalam pengembangan pertanian, baik lokal maupun nasional. Apabila setiap jumlah tanah pertanian yang ada itu terus menerus digusur dan dialihfungsikan, maka kemampuan negara untuk memproduksi pangan tentu juga akan terus menurun. Ketahanan pangan juga akan semakin sulit untuk tercapai. Dari penelitian terdahulu yang dilakukan, kemiskinan petani menjadi penyebab utama terjadinya alih fungsi lahan pertanian. Penelitian ini akan merekomendasikan gagasan tentang bagaimana alih fungsi lahan pertanian itu tidak terus menerus terjadi. Gagasan ini berwujud kebijakan integratif 3 in 1 policy. Gagasan ini meliputi aspek pemberdayaan petani, pengaturan ulang tentang ekstensifikasi, serta perubahan regulasi alih fungsi. Ketiganya akan berwujud dalam satu kebijakan pertanian yang berkelanjutan. Penelitian ini adalah penelitian yuridis empiris, dengan metode pendekatan sosiologis. Hasil penelitian menunjukkan, petani masih merasa belum mendapatkan pemberdayaan yang optimal. Petani cenderung mengalihfungsikan tanah, karena bertani tidak lagi mendatangkan kesejahteraan. Berbagai faktor penghambat yang terjadi adalah mahalnya harga pupuk, biaya pekerja yang makin mahal, serta harga hasil panen yang tidak menentu. Maka, gagasan 3 in 1 Policy bisa menjadi salah satu alternatif untuk menyelesaikan persoalan ini.
Unraveling the Darkness of Raja Ampat: A Neglected Criminal Justice System Hernanto, Tjoetjoe Sandjaja; Alan, Muhammad Fikri; Arumbinang, Mohammad Hazyar
Jurnal Dinamika Hukum Vol 25 No 3 (2025)
Publisher : Faculty of Law Universitas Jenderal Soedirman

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20884/1.jdh.2025.25.3.16682

Abstract

This study examines the complex challenges confronting Raja Ampat, a globally significant region renowned its extraordinary marine biodiversity and rich cultural heritage, through the lens of an integrated criminal justice system. Raja Ampat is increasingly imperiled by illegal activities, including unregulated nickel mining and environmental exploitation, which threaten both ecological integrity and social well-being. Utilizing a normative legal methodology with statue and conceptual analysis, this research critically evaluates the current application of justice mechanisms involving law enforcement, judicial institutions, correctional services, and community participation. The study reveals critical systemic weaknesses, including fragmented legal authorities, poor coordination with local communities, and inadequate policy integration, that perpetuate illegal practices and social conflicts. Importantly, this study emphasizes the need to harmonize environmental regulations with criminal law frameworks to establish stronger deterrents against ecological crimes. Beyond its regional focus, this study contributes to the international discourse on ecological governance and criminal justice by providing a replicable model of integrated legal frameworks that balance ecological conservation with community empowerment. The findings provide actionable insights for global policymakers, law enforcement agencies, and civil society organizations seeking to enhance justice systems as effective instruments for sustainable development and social equity. Ultimately, this study advocates for a collaborative and comprehensive approach to justice system that aligns enforcement mechanisms with global sustainability goals, thereby supporting the preservation of biodiversity hotspots worldwide.
PRECAUTIONARY PRINCIPLE DALAM PENGELOLAAN LIMBAH B3 PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 18/PUU-XII/2014 Alan, Muhammad Fikri; Zulharman, Zulharman; Butar, Franky Butar
Bina Hukum Lingkungan Vol. 6 No. 1 (2021): Bina Hukum Lingkungan, Volume 6, Nomor 1, Oktober 2021
Publisher : Asosiasi Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Terdapat gap dalam pemaknaan Precautionary Principle antara sebelum dan sesudah Putusan MK Nomor 18/PUU-XII/2014. Sebelum putusan tersebut, Precautionary Principle diartikan sebagai prinsip yang mewajibkan adanya pembuktian ilmiah atas kegiatan usaha terhadap lingkungan. Sedangkan pasca Putusan MK a quo, pembuktian ilmiah ini menjadi hal yang tidak mutlak diperlukan, karena putusan tersebut menganggap bahwa setiap pelaku usaha yang sedang melakukan perpanjangan izin pengelolaan limbah, dianggap telah memiliki izin meskipun izinnya belum keluar. Padahal, izin pengelolaan limbah adalah elemen penting guna menjaga kelestarian lingkungan sehingga diperlukan konsep perizinan yang rumit, ilmiah, serta berdasarkan pertimbangan yang matang. Selain itu, pasca putusan ini, bagi setiap pelaku usaha yang sedang melakukan proses perpanjangan Izin Pengelolaan Limbah, tidak dapat dipidana apabila dalam kenyataan ditemukan pelanggaran izin. Penelitian ini berusaha untuk merumuskan bentuk pemaknaan baru mengenai Precautionary Principle Pasca Putusan MK a quo. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif, dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep.
PRECAUTIONARY PRINCIPLE DALAM PENGELOLAAN LIMBAH B3 PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 18/PUU-XII/2014 Alan, Muhammad Fikri; Zulharman, Zulharman; Butar, Franky Butar
Bina Hukum Lingkungan Vol. 6 No. 1 (2021): Bina Hukum Lingkungan, Volume 6, Nomor 1, Oktober 2021
Publisher : Asosiasi Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Terdapat gap dalam pemaknaan Precautionary Principle antara sebelum dan sesudah Putusan MK Nomor 18/PUU-XII/2014. Sebelum putusan tersebut, Precautionary Principle diartikan sebagai prinsip yang mewajibkan adanya pembuktian ilmiah atas kegiatan usaha terhadap lingkungan. Sedangkan pasca Putusan MK a quo, pembuktian ilmiah ini menjadi hal yang tidak mutlak diperlukan, karena putusan tersebut menganggap bahwa setiap pelaku usaha yang sedang melakukan perpanjangan izin pengelolaan limbah, dianggap telah memiliki izin meskipun izinnya belum keluar. Padahal, izin pengelolaan limbah adalah elemen penting guna menjaga kelestarian lingkungan sehingga diperlukan konsep perizinan yang rumit, ilmiah, serta berdasarkan pertimbangan yang matang. Selain itu, pasca putusan ini, bagi setiap pelaku usaha yang sedang melakukan proses perpanjangan Izin Pengelolaan Limbah, tidak dapat dipidana apabila dalam kenyataan ditemukan pelanggaran izin. Penelitian ini berusaha untuk merumuskan bentuk pemaknaan baru mengenai Precautionary Principle Pasca Putusan MK a quo. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif, dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep.