SAPUTRI, SUPENI
Unknown Affiliation

Published : 4 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

KLENTENG KWAN SING BIO SEBAGAI SUMBER IDE PENCIPTAAN KARYA BATIK SAPUTRI, SUPENI; RATYANINGRUM, FERA
Jurnal Seni Rupa Vol 7, No 1 (2019)
Publisher : Jurnal Seni Rupa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pengalaman visual tentang keindahan arsitektur, ornamen, dan warna-warna yang ada di Klenteng Kwan Sing Bio membuat penulis tergugah untuk menjadikannya sebagai sumber ide penciptaan karya batik. Tujuan penciptaan ini adalah menciptakan karya batik yang merepresentasikan keunikan dan ciri khas yang dimiliki oleh Klenteng Kwan Sing Bio melalui proses eksplorasi. Tahapan penciptaan karya ini dimulai dari munculnya ide karya, melakukan pengumpulan data, perancangan desain karya, penentuan teknik dan pemilihan bahan, kemudian perwujudan karya. Motif yang diterapkan berupa gubahan gerbang Klenteng, unsur ornamen yang terdapat pada bangunan Klenteng, dan beberapa gubahan bangunan lain yang ada di lingkungan Klenteng Kwan Sing Bio. Media yang digunakan berupa kain katun dan tenun gedog. Jenis pewarna yang digunakan adalah remasol dan naptol. Pembuatan karya menggunakan teknik batik tulis, pewarnaan secara colet dan celup, serta teknik retakan lilin pada beberapa bagian. Tahap perwujudan karya meliputi pemindahan desain ke kain, pencantingan, pewarnaan, penguncian warna, dan pelepasan lilin. Setelah itu kain dijahit berdasarkan rancangan yang telah dibuat. Karya yang dihasilkan berupa dua kain panjang, tiga busana perempuan berupa dua outer dan sebuah gaun panjang, serta satu busana kemeja laki-laki.Kata Kunci: Batik, Klenteng, Kwan Sing Bio
Proses Mewarnai Gambar Oleh Siswa Tunagrahita:: Tinjauan Psikoanalisis Saputri, Supeni; Handayaningrum, Warih; Rahayu, Eko Wahyuni
CILPA Vol 9 No 2 (2024): July
Publisher : Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30738/cilpa.v9i2.16574

Abstract

Abstrak Penelitian ini menjelaskan pentingnya pendidikan seni dalam pengembangan kreativitas siswa tunagrahita. Pendidikan seni memberikan ruang ekspresi dan pertumbuhan emosional yang vital bagi siswa berkebutuhan khusus. Psikoanalisis, terutama konsep ketidaksadaran dan dinamika psikologis menjadi landasan dalam memahami sumber daya kreativitas manusia, terutama dalam konteks seni. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus pada siswa SLBN Gedangan Sidoarjo yang terlibat dalam kelas mewarnai. Hasilnya menunjukkan bahwa setiap siswa tunagrahita mengekspresikan kreativitasnya dengan karakteristik yang unik. Ada yang memilih warna secara acak, ada yang menunjukkan preferensi warna yang cerah sesuai dengan kepribadiannya yang ceria. Bahkan ada yang lebih suka menggambar saja tanpa mau mewarnai. Temuan ini menekankan bahwa pendidikan seni bukan hanya tentang hasil akhir dari karya seni, tetpai juga tentang proses kreatif yang memengaruhi perkembangana siswa secara menyeluruh. Ini menegaskan bahwa melalui seni dan pemahaman psikoanalisis, pendidikan seni dapat menjadi sarana penting untuk meningkatkan ekspresi diri, interaksi sosial, dan pengembangan keterampilan siswa tunagrahtia dalam konteks psikomotorik mereka. Abstract This research explains the importance of arts education in developing the creativity of students with intellectual disabilities. Arts education provides a vital space for emotional expression and growth for students with special needs. Psychoanalysis, especially the concepts of the unconscious and psychological dynamics, is the basis for understanding the resources of human creativity, especially in the context of art. This research uses a qualitative method with a case study approach on SLBN Gedangan Sidoarjo students who are involved in coloring classes. The results show that each mentally retarded student expresses his creativity with unique characteristics. Some choose colors at random, while others show a preference for bright colors to suit their cheerful personality. There are even those who prefer to just draw without coloring. These findings emphasize that arts education is not only about the end result of the work of art, but also about the creative process that influences students' overall development. This confirms that through art and psychoanalytic understanding, arts education can be an important means to improve self-expression, social interaction, and skill development of students with intellectual disabilities in their psychomotor context.
Proses Mewarnai Gambar Oleh Siswa Tunagrahita:: Tinjauan Psikoanalisis Saputri, Supeni; Handayaningrum, Warih; Rahayu, Eko Wahyuni
CILPA Vol 9 No 2 (2024): July
Publisher : Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30738/cilpa.v9i2.16574

Abstract

Abstrak Penelitian ini menjelaskan pentingnya pendidikan seni dalam pengembangan kreativitas siswa tunagrahita. Pendidikan seni memberikan ruang ekspresi dan pertumbuhan emosional yang vital bagi siswa berkebutuhan khusus. Psikoanalisis, terutama konsep ketidaksadaran dan dinamika psikologis menjadi landasan dalam memahami sumber daya kreativitas manusia, terutama dalam konteks seni. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus pada siswa SLBN Gedangan Sidoarjo yang terlibat dalam kelas mewarnai. Hasilnya menunjukkan bahwa setiap siswa tunagrahita mengekspresikan kreativitasnya dengan karakteristik yang unik. Ada yang memilih warna secara acak, ada yang menunjukkan preferensi warna yang cerah sesuai dengan kepribadiannya yang ceria. Bahkan ada yang lebih suka menggambar saja tanpa mau mewarnai. Temuan ini menekankan bahwa pendidikan seni bukan hanya tentang hasil akhir dari karya seni, tetpai juga tentang proses kreatif yang memengaruhi perkembangana siswa secara menyeluruh. Ini menegaskan bahwa melalui seni dan pemahaman psikoanalisis, pendidikan seni dapat menjadi sarana penting untuk meningkatkan ekspresi diri, interaksi sosial, dan pengembangan keterampilan siswa tunagrahtia dalam konteks psikomotorik mereka. Abstract This research explains the importance of arts education in developing the creativity of students with intellectual disabilities. Arts education provides a vital space for emotional expression and growth for students with special needs. Psychoanalysis, especially the concepts of the unconscious and psychological dynamics, is the basis for understanding the resources of human creativity, especially in the context of art. This research uses a qualitative method with a case study approach on SLBN Gedangan Sidoarjo students who are involved in coloring classes. The results show that each mentally retarded student expresses his creativity with unique characteristics. Some choose colors at random, while others show a preference for bright colors to suit their cheerful personality. There are even those who prefer to just draw without coloring. These findings emphasize that arts education is not only about the end result of the work of art, but also about the creative process that influences students' overall development. This confirms that through art and psychoanalytic understanding, arts education can be an important means to improve self-expression, social interaction, and skill development of students with intellectual disabilities in their psychomotor context.
The Importance of Education about Batik: Addressing Misconceptions about the Term Term "Ecoprint Batik" in Schools Saputri, Supeni
Corak Vol 14, No 1 (2025): Corak : Jurnal Seni Kriya
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/corak.v14i1.14575

Abstract

Batik cultural heritage has an important role in education to instill cultural values and national identity in the younger generation. The aim of this research is to analyze misconceptions in the use of the term “batik ecoprint” and how  to respond to them. This research uses descriptive qualitative methods. Data collection techniques include literature studies and interviews with batik experts, teachers, students and ecoprint craftmen. The data analysis technique uses Miles and Huberman analysis techniques which include data reduction, data presentation, and drawing conclusions. The results of this research show the difference between batik and ecoprint techniques which lies in the making process. In short, batik is made by going through a process of waxing, dyeing, and removing wax. Meanwhile, ecoprint is made by direct contact printing of leaves on fabric. So the resulting motif is in the form of a print. The long-term impact of less precise use of the term  batik can obscure understanding of the concept of batik and the authenticity of batik itself. Schools should be a place to spread the correct terms so that there are no misconceptions among the nation’s future generations.ABSTRAKWarisan budaya batik memiliki peran penting dalam pendidikan guna menanamkan nilai-nilai budaya dan identitas nasional pada generasi muda. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis miskonsepsi penggunaan istilah “batik ecoprint” serta bagaimana dalam menyikapinya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Teknik pengumpulan data yaitu dengan studi pustaka dan wawancara terhadap ahli batik, guru, siswa, dan perajin ecoprint. Teknik analisis data menggunakan teknik analisis Miles dan Huberman yang meliputi reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan perbedaan teknik batik dan ecoprint yang terletak pada teknik pembuatannya. Secara singkat, batik dibuat dengan melalui proses pelilinan, pewarnaan, dan pelepasan lilin, sedangkan ecoprint dibuat dengan cara cetak kontak langsung dedaunan pada kain, sehingga motif yang dihasilkan berupa cetakan. Dampak jangka panjang dari kurang tepatnya penggunaan istilah batik dapat mengaburkan pemahaman tentang konsep batik dan keaslian batik itu sendiri. Seharusnya sekolah menjadi tempat untuk menyebarkan bagaimana istilah yang benar agar tidak terjadi miskonsepsi pada generasi penerus bangsa.