Muhtador, Moh
Institut Agama Islam Negeri Kudus

Published : 7 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

PEMAKNAAN AYAT AL-QURAN DALAM MUJAHADAH: Studi Living Qur’andi PP Al-Munawwir Krapyak Komplek Al-Kandiyas Muhtador, Moh.
Jurnal Penelitian Vol 8, No 1 (2014): JURNAL PENELITIAN
Publisher : LP2M IAIN kUDUS

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21043/jupe.v8i1.1343

Abstract

DEFINITION OF THE VERSES OF THE QUR’AN IN MUJAHADAH (THE STUDY OF THE LIVING QUR’AN IN PP Al-MUNAWWIR KRAPYAK Al-KANDIYAS COMPLEX). The Qur’an as a guideline of life for Muslims and became the authoritative source in the realm of social reality has developed its meaning. Relation to the development of meaning in al-Qur’an is the potential of the Qur’an itself that keeps studied and preserved in the realm of the theoretical and praxis. In the theoretical realm of the Qur’an continues to experience the reconstruction of understanding, reconstruction is related to the Qur’an itself, as is the case. About what enclosing the Qur’an when down and what is contained in the Qur’an itself. Both of them does not close the possibility to continue to be developed with different variants of the science to be an approach in digging the content of its science value, such as sociology, anthropology, historiy, and hermeneutic. On the other hand the study of praxis, in relation to the Qur’an is how the verses of the Qur’an are understood and practiced. This study assesses the reality of the society with the Qur’an. In that sense, the strive of mujahadah devotee community when interacting with verses of the Qur’an which become the practices and had a magical and mystical power. Because in practice a conviction verses are read when mujahadah contains a value that cannot be expressed. So the verses of the Qur’an become alive amongst the people, but it’s merely as a discourse and perception, it also confines the substantial meaning of a verse which contained in it when being interpretated or takwil.
Teologi Persuasif Ayat-Ayat Makkiyah; Sebuah Tafsir Relasi Umat Beragama Muhtador, Moh
FIKRAH Vol 4, No 2 (2016): FIKRAH: JURNAL ILMU AQIDAH DAN STUDI KEAGAMAAN
Publisher : Prodi Ilmu Aqidah Jurusan Ushuluddin STAIN Kudus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21043/fikrah.v4i2.1513

Abstract

Dalam beberapa tahun terakhir konflik antara agama di Indonesia kembali muncul  setelah  lama  tidak  terdengar  dan  sunyi  dari  pemberitaan  media.  Kasus terakhir yang mendapat perhatian nasional ialah pembakanran masjid di Tolikara Papua yang terjadi pada 23 juli 2015. Agama sebagai sebuah keyakinan merupakan hal sensifit bagi pemeluknya, membincangkan agama sama halnya berbicara tentang Tuhan. Seorang pemeluk agama tertentu berani mengambil resiko ketika agama yang diyakini  dilecehkan.  Pada  posisi  tersebut  keagamaan  seorang  menjadi  superior dengan resiko yang melekat. Oleh sebab itu, beragama tidak cukup hanya mendahulukan fanatisme, tetapi dalam beragama seorang dituntut juga untuk memahami ajaran yang terkandung dalam kita suci agama. Dengan demikian, memahami dan mengaplikasikan nilai Qurani bagi umat Islam adalah sebauh keniscayaan. Sejarah telah mencatat adanya toleransi beragama yang terkandung dalam  ayat-ayat   makkiyah.   Dengan   bahasa   yang   mudah  dipahami,   ayat-ayat makkiyah telah mengajarkan umat Islam tentang relasi beragama serta menghormati agama lain tanpa harus memaksa dan menimbulkan konflik dalam beragama. Ajaran yang selama ini dipandang oleh sebagian muslim sebagai kelemahan umat  Islam awal, tetapi kandungan ayat-ayat Makkiyah cendrung menarasikan tentang universalitas ajaran Islam.Penulis menyadari bahwa tulisan tentang ayat-ayat makkiyah telah banyak yang meneliti dan mengkaji. Ayat makkiyah telah lama dikaji oleh ulama-ulama terdahulu dan sampai sekarang, namun kecendrungan kajian yang berkembangan tentang ayat makkiyah cendrung bersifat teknisi yang bersifat Ulum al-Quran dan kurang melihat aspek sosio-histori. Dengan demikian, pada posisi tersebut penulis mencoba  untuk  mengisi  kekosongan  wacana  tentang  ayat  Makkiyah  kaitannya dengan relasi umat beragama dengan pendekatan sosial-histori. Sehingga besar harapan tulisan tersebut tidak hanya membaca ayat makkiyah secara teknisi ulum al- Quran tetapi juga memuat analisa sosio-keagamaan.Pendekatan      sosial-histori       dengan      menganalisa      keagamaan      yangberkembangan pada saat turunnya ayat makkiyah memberikan gambaran, bahwa ayat makkiyah mempunyai tiga pesan pokok terkait dengan relasi agama. Pertama, ajaran tentang toleransi beragama, kedua, kemanusiaan, dan ketiga relasi antara umat beragama. Ketiga hal tersebut adalah ajaran umum yang terdapat dalam ayat makkiyah, beragamanya redaksi dan ungkapan tentang ketuhanan dan kemanusiaan yang terdapat pada ayat makkiyah memberikan indikasi, bahwa ayat makkiyah adalah ayat yang mengajarkan tentang kerukunan umat beragama.
MEMAHAMI HADIS MISOGINIS DALAM PERSPEKTIF HERMENEUTIKA PRODUKTIF HANS GADAMER Muhtador, Mohammad
Diya Al-Afkar: Jurnal Studi al-Quran dan al-Hadis Vol 6, No 02 (2018): Desember
Publisher : Diya Al-Afkar: Jurnal Studi al-Quran dan al-Hadis

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24235/sqh.v6i02.3469

Abstract

Tulisan ini mengkaji tentang hadis misoginis dengan menggunakan heremenutika Hans Gadamer. Tersebarnya hadis misoginis dalam literatur Islam telah berdampak negatif pada eksistensi perempuan dalam wilayah privat dan publik, dimana hadis-hadis tersebut dipahami secara tekstual-patrial yang menguntungkan kaum laki-laki. Pada wilayah ini dibutukan pembacaan baru untuk menggali makna kemanusiaan sebagaimana Nabi Muhammad diutus untuk perubahan moral. Teori hermeneutika digunakan supaya menemukan nilai yang tersembunyi dibalik teks dan pemahaman. Penelitian ini merupakan kajian pustaka yang menggali data dari literatur untuk menemukan gambaran dalam pembacaan hadis misoginis. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hermeneutika digunakan untuk meretas kesenjangan dalam memahami hadis misoginis, hadis misoginis merupakan hasil dari interaksi Nabi dengan konteks pada masanya dan hadis misoginis masih terbuka untuk dimaknai dengan ragam pendekatan dan teori yang memungkinkan untuk menemukan nilai moral yang terkandung di dalamnya.
Studi Kritis atas Transmisi dan Otoritas Keagamaan di Media Sosial Muhtador, Moh
FIKRAH Vol 6, No 2 (2018): December 2018
Publisher : Prodi Aqidah dan Filsafat Islam, Jurusan Ushuluddin, Institut Agama Islam Negeri Kudus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21043/fikrah.v6i2.2765

Abstract

The development of social media raises a problem related to social change authorities such as thinking paradigms, social behavior, and religious models. This article aims to criticize the development of religious teachings found on social media. The method used is descriptive-critical by using the authority theory Abou El Fadl to assess and analyze the development of religious models in social media while transmission theory to find the authenticity of religious teachings. The result is known that the development of religious models on social media does not display scientific transmission. Religious developments that exist in social media tend to be textual-dogmatic in style, thus impacting on a stagnant religious attitude. The importance of this article is to provide a critical review of the development of religious knowledge found on social media. The critical study lies in the aspect of substance (material) or aspects of transmission (narrator). The authenticity and the development of religious teachings on social media can be known.
Khilafah Islamiyah Perspektif Ahmadiyah (Sebuah Gerakan Spiritual Keagamaan) Muhtador, Moh
ESOTERIK Vol 2, No 1 (2016)
Publisher : Program Studi Tasawuf dan Psikoterapi, Jurusan Ushuluddin IAIN KUDUS

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21043/esoterik.v2i1.1959

Abstract

Ahmadiyah adalah organisasi keagamaan yang didirikan di India oleh Mirza Ghulam Ahmad. Sebagai sebuah organisasi, Ahmadiyah menjadi wadah dalam mepersatukan umat muslim, sehingga Ahmadiyah berkembang di beberapa negara besar di Eropa dan Asia, termasuk Indonesia. Meski sebagai golongan minoritas di Indonesai, tetapi perkembanganya di negara Eropa sangat pesat. Ajaran toleransi dan kedamaian yang diajarkan oleh khalifah menjadi inspirasi gerakan spritual bagi pengikut Ahmadiyah. Jemat Ahmadi meyakini bahwa, seorang khalifah adalah pembimbing keagamaan yang bersifat rohani dan syariat, oleh sebab itu, dalam memberikan ajaran seorang khalifah selalu menekankan pada aspek kedamaian dan toleransi, seperti jargon  “love for all hatred for none”. Pada wilayah tersebut Ahmadi lebih mengartikan khilafah yang bersifat spritual keagamaan dibanding politik kenegaraan. Hal ini yang membedakan antara Ahmdiyah dengan kelompok Islam lainnya, seperti ISIS, Al-Qaeda dan HTI. Ahmadiyah menekankan konsep khilafahnya pada wilayah spritualitas tanpa dibatasi dengan territorial, kesatuan jiwa dan rasa tidak dapat memisahkan jemaat Ahmadi dengan khalifahnya. Meskipun jemaat Ahmadi berada diberbagai negara, namun kesetiannya terhadap khalifah didasari dengan rasa cinta.
The Religion Moral: Dialogis, Akulturasi, dan Identitas Islam Indonesia Muhtador, Moh
ESOTERIK Vol 3, No 2 (2017): Available in December 2017
Publisher : Program Studi Tasawuf dan Psikoterapi, Jurusan Ushuluddin IAIN KUDUS

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21043/esoterik.v3i2.4166

Abstract

This article examines the moral of religion in the discourse of mutual greetings between culture and religious teachings in Indonesia. A reality from a religious journey, including Islam, is that culture is an important element in its development. Discarding culture in the course of religion also eliminates historical aspects and has an impact on the emptiness of substantial values, such as spiritual emptiness and moral emptiness. So, to weave elements of the development of Indonesian Islam, dialogic reading is needed which emphasizes the moral aspects of each element. Qualitative methods are used to describe inductively using liberary research data sources which emphasize descriptive analysis. Thus, this reading can produce a new construction of the journey of Indonesian Islam, because it not only emphasizes the docmatic aspects, but also considers other aspects, such as historical, sociological, and psychological. The variety of aspects in this paper is an Indonesian Islamic identity which will differ in character and style from Islam in other countries.
Jihad and Interpretation of Religious Texts on Female Terrorists in Indonesia Atabik, Ahmad; Muhtador, Moh
QIJIS Vol 11, No 1 (2023)
Publisher : IAIN Kudus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21043/qijis.v11i1.16342

Abstract

The involvement of women in terrorism circles has led to the emergence of a brand-new terrorist map of the terrorism fight in Indonesia, where women had previously played a private role solely. Their involvement in public spaces in terrorism circles is closely associated with patriarchal culture and transformation in the concept of hijrah and qital as a means of jihad. This paper aims to explore the three domains of women's attempts at terror as a series of struggles; it includes defining women's weaknesses and disadvantages by patriarchal circles, using media to encourage women's emotional enthusiasm in the circle of terror, and interpreting hijrah and qital as justification for jihad movement which becomes a spirit for women to commit terrors. The data in this study came from observations, interviews with two female terrorists, one terrorist advisor, and one ex-convict, as well as the discourse of terror-related web publications. This study reveals that male terrorists exploit patriarchal culture to establish religious authority in their organizations. In addition, virtual media is highly effective in spreading propaganda for women’s involvement in the struggle domain for two reasons. First, it broadcasted by providing fatwas on the women’s consent to fight based on historical background. Second, it propagated by offering new religious interpretations of the terms hijrah and qital as jihad media tailored to the terrorist organizations’ missions and goals.