Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

Penggunaan Sefepim Untuk Demam Neutropenia Pada AML di RSUP Dr. Kariadi Semarang Septiantoro, Bayu Prio; Perwitasari, Dyah Aryani; Pradipta, Indra
Medica Hospitalia : Journal of Clinical Medicine Vol. 7 No. 1 (2020): Med Hosp
Publisher : RSUP Dr. Kariadi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (265.583 KB) | DOI: 10.36408/mhjcm.v7i1.423

Abstract

Latar belakang: Demam neutropenia merupakan salah satu efek samping kemoterapi yang paling serius, karena adanya infeksi dapat berkembang dengan cepat dan dapat mengancam jiwa. Antibiotik yang diindikasikan untuk profilaksis pada pasien demam neutropenia diantaranya adalah sefepim. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui durasi kebutuhan sefepim terhadap perbedaan rejimen kemoterapi AML, serta luaran terapinya di RSUP Dr. Kariadi, Semarang. Metode: Penelitian ini menggunakan rancangan deskriptif dengan pengambilan data secara restrospektif dari bulan Juni 2018 hingga April 2019 di satu ruangan rawat inap RSUP Dr. Kariadi, Semarang. Kriteria inklusi adalah pasien usia 18-64 tahun dengan diagnosa AML yang mengalami demam neutropenia dengan riwayat pernah menjalani kemoterapi, mendapatkan terapi antibiotik sefepim. Kriteria eklusi dalam penelitian ini yaitu pasien yang alergi terhadap sefepim, yang tidak melanjutkan pengobatannya, dengan program cangkok sumsum tulang dan dengan adanya diagnosa sepsis/septik syok sebelum diberikannya sefepim. Hasil: Total sebanyak 15 pasien memenuhi kriteria inklusi. Durasi pemberian sefepim yang paling banyak adalah kelompok dengan pemberian 8-14 hari (46,7%), selanjutnya ?7 hari (33,3%), sedangkan pemberian selama >14 hari tidak ditemukan. Pasien yang meninggal pada penelitian ini sebanyak 3 pasien (20%), dengan 2 pasien diantaranya teridentifikasi mengalami sepsis karena sefepim yang resisten akibat patogen ESBL E. coli, sedangkan satu lainnya tidak diketahui patogen penyebabnya. Kesimpulan: Pasien dengan rejimen intensif rata-rata memerlukan durasi terapi yang lebih lama. Munculnya patogen ESBL khususnya E. coli mempunyai luaran yang jelek dan angka kematian yang lebih tinggi, sehingga kita sarankan untuk menggunakan karbapenem daripada sefepim untuk kondisi ini. Kata kunci: Demam neutropenia, leukemia myeloid akut, sefepim Backgound: Febrile neutropenia is one of the most serious side effects of chemotherapy, because the infection can develop rapidly which can be life-threatening. Cefepime is drug of choice that indicated for prophylaxis in patients with febrile neutropenia. The aim of this study was to determine the duration of the cefepime needs of differences in AML chemotherapy regimens, and the outcomes in Dr. Kariadi General Hospital Center, Semarang. Method: The study used descriptive design with retrospective data collection from June 2018 to April 2019 in an inpatient room at Dr. Kariadi General Hospital Center, Semarang. The inclusion criteria are patients aged 18-64 years old with diagnosis of AML who has febrile neutropenia with a history of having undergone chemotherapy with cefepime prophylaxis. The exclusion criteria in this study were allergy to cefepime, patients who did not continue their treatment, bone marrow transplant programs and diagnosis of sepsis / septic shock before the administration of cefepime. Result: A total of 15 patients met the inclusion criteria. The most duration of cefepime was in the group with 8-14 days (46,7%), then ?7 days (33,3%), whereas> 14 days were not found. The patients who died in this study were 3 patients (20%), with 2 patients identified as having sepsis due to the pathogen ESBL E. coli cefepime resistant, while the other one did not know the causative pathogen. Conclusion: Patients with an intensive regimen require a longer duration therapy. The emergence of ESBL pathogens especially E. coli has poor outcomes and a higher mortality rate, so we recommend using carbapenem rather than cefepime for this condition. Keywords: Febrile neutropenia, acute myeloid leukemia, cefepime
Hipertensi pada Pasien Kanker Kolorektal Metastatik dengan Terapi Bevacizumab di RSUP Dr. Kariadi Septiantoro, Bayu Prio; Perwitasari, Dyah Aryani; Faridah, Imaniar Noor; Pradipta, Indra
Medica Hospitalia : Journal of Clinical Medicine Vol. 7 No. 2 (2020): Med Hosp
Publisher : RSUP Dr. Kariadi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (269.123 KB) | DOI: 10.36408/mhjcm.v7i2.502

Abstract

Latar belakang: Kanker kolorektal saat ini sudah menjadi penyebab utama ketiga kematian akibat kanker di dunia, penyakit ini membutuhkan terapi yang progresif dimana salah satu terapinya adalah bevacizumab. Namun diketahui bevacizumab dapat menimbulkan hipertensi pada sebagian pasien. Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengetahui onset terjadinya hipertensi akibat bevacizumab dengan rejimen kemoterapi apa yang digunakan. Metode: Penelitian ini merupakan sebuah tinjauan deskriptif restrospektif yang dilakukan di RSUP Dr. Kariadi, Semarang. Kriteria inklusi terdiri dari pasien kanker kolorektal metastatik yang berusia ? 18 tahun dengan hipertensi tingkat ?2 berdasarkan NCI CTCAE version 5.0 setelah diberikan terapi bevacizumab 5 mg/kg berat badan di RSUP Dr. Kariadi. Pengambilan data dalam 1 tahun (bulan April 2018 hingga April 2019) melalui peninjauan dari rekam medis, laporan penggunaan obat bevacizumab dan laporan penggunaan obat kardiovaskuler instalasi farmasi. Kriteria ekslusi dalam penelitian ini yaitu hipertensi tingkat ?2 berdasarkan NCI CTCAE version 5.0 yang muncul setelah ?4 kali waktu paruh bevacizumab (t 1/2 = 20 hari) dari kemoterapi yang terakhir. Hasil: Total 95 pasien sesuai kriteria, sebanyak 24 pasien (25,26%) teridentifikasi mengalami hipertensi tingkat ? 2 berdasarkan NCI CTCAE version 5.0. Dengan 20 pasien (83,33%) pasien mendapatkan kemoterapi rejimen FOLFOX4, sedangkan sisanya (16,66%) dengan rejimen de Gramont. Hipertensi ini muncul sebagian besar pada siklus III, diikuti siklus ke II, ke I dan ke VI. Tidak satupun pasien dengan kombinasi FOLFIRI yang terdeteksi mengalami hipertensi ini. Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan onset munculnya hipertensi tingkat ?2 NCI CTCAE version 5.0 paling banyak adalah pada siklus awal terapi yaitu I-III dan dengan rejimen kombinasi FOLFOX4 + bevacizumab. Kata Kunci: Kanker kolorektal, bevacizumab, hipertensi Background: Colorectal cancer nowadays is the third leading cause of cancer deaths in the world, this disease requires progressive therapy where one of the treatments is bevacizumab. But it is known that bevacizumab can cause hypertension in some patients. This study aims to determine the onset of the hypertension with chemotherapy regimen used. Method: This research is a retrospective descriptive review conducted at Dr. Kariadi General Hospital, Semarang. Inclusion criteria consisted of metastatic colorectal cancer patients aged ?18 years old with hypertension level ?2 based on NCI CTCAE version 5.0 after being given bevacizumab therapy dose 5 mg/kg body weight. Retrieval of data in 1 year (April 2018 to April 2019) through a review of medical records, reports on the use of bevacizumab drugs and reports on the use of cardiovascular drugs in Department of Pharmacy. The exclusion criteria in this study were hypertension level on NCI CTCAE version 5.0 which appeared after 4 times the half-life of bevacizumab (t 1/2 = 20 days) from the last chemotherapy. Result: Total 95 patients according to the criteria, 24 patients (25.26%) were identified as having hypertension level ? 2 based on NCI CTCAE version 5.0. With 20 patients (83.33%) patients received FOLFOX4 regimen, while the rest (16.66%) with de Gramont regimen. This hypertension occurs mostly in cycle III, followed by cycle II, to I and to VI. None of the patients with a combination of FOLFIRI. Conclusion: This research shows that the onset of hypertension level ?2 NCI CTCAE version 5.0 mostly in the initial cycle of therapy (I-III) with the FOLFOX4 + bevacizumab combination regimen. Keywords: Colorectal cancer, bevacizumab, hypertension
Erupsi Akneiformis Pada AML Dengan Regimen Kemoterapi “3 + 7” Septiantoro, Bayu Prio; Pradipta, Indra
Medica Hospitalia : Journal of Clinical Medicine Vol. 8 No. 2 (2021): Med Hosp
Publisher : RSUP Dr. Kariadi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (331.92 KB) | DOI: 10.36408/mhjcm.v8i2.609

Abstract

Latar belakang: Kemoterapi bertanggung jawab terhadap sebagian besar manifestasi kulit dalam perawatan pasien kanker. Daunorubicin selama 3 hari ditambah sitarabin selama 7 hari untuk kemoterapi induksi pada pasien dengan AML dikenal sebagai regimen “3 + 7.” Walaupun erupsi akneiformis biasanya muncul pada pasien yang mendapatkan agen penghambat EGFR dan antibodi monoclonal, reaksi kulit ini juga dapat dialami pasien yang mendapatkan regime daunorubicin atau sitarabin. Laporan kasus: Seorang wanita berusia 19 tahun dengan diagnosa AML masuk rumah sakit untuk menjalani kemoterapi dengan regimen 3+7 (daunorubicin 45mg/m2 selama 3 hari dan sitarabin 100mg/m2 selama 7 hari). Setelah hari pertama kemoterapi diberikan, muncul akne berupa bintik merah di wajah dan bertambah berat setelah sesi kemoterapi selesai dimana meluas hingga ke leher, dada dan punggung bahkan ke daerah kulit kepala, dengan adanya rasa gatal, papul dan eritema. Ia terdiagnosa erupsi akneiformis. Tujuan: Untuk melaporkan kasus reaksi kulit berupa erupsi aneiformis pada pasien dengan diagnose AML yang menjalani kemoterapi dengan regime 3+7. Pembahasan: Lesi erupsi akneiformis biasanya muncul sebagai papula dan pustula inflamasi monomorfik yang biasanya melibatkan wajah, leher, dada, punggung atas dan dapat diperluas hingga selain daerah seboroik. Beberapa karakteristik dapat membantu untuk mendukung hubungan potensial antara obat dengan munculnya akne. Diantaranya yang teridentifikasi pada pasien ini yaitu timbulnya akne secara tiba-tiba tanpa adanya riwayat akne vulgaris sebelumnya, lesi monomorfik dengan inflamasi, serta sedikit komedo dan kista. Terdapat empat tingkatan yang dapat digunakan dalam mengklasifikasikan keparahan efek samping kulit ini dimana tingkat III (berat) dapat diberikan antibiotik secara oral seperti klindamisin 300mg/12 jam. Kesimpulan: Reaksi kulit berupa erupsi akneiformis dapat muncul pada pasien yang mendapatkan obat selain EGFR inhibitor dan antibodi monoclonal yaitu daunorubisin dan atau sitarabin. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui agen spesifik yang menjadi penyebab, serta mekanisme terjadinya reaksi tersebut.
Perlindungan Hukum Bagi Penyelenggara Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi Berdasarkan Hukum Positif Di Indonesia Pradipta, Indra; Sood, Muhammad; Muhaimin, H. Muhaimin
JATISWARA Vol. 39 No. 1 (2024): Jatiswara
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29303/jtsw.v39i1.706

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan manganalisa prosedur perjanjian LPBBTI, perlindungan hukum bagi penyelenggara dan penyelesaian sengketa antara penerima dana dengan penyelenggara LPBBTI. Jenis penelitian yang digunakan yaitu normatif dengan menggunakan metode pendekatan konseptual, perundang-undangan dan kasus. Jenis dan sumber hukum dilakukan dengan menggunakan bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Analisis data menggunakan deskriptif analisis. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa prosedur perjanjian Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi secara umum dilakukan melalui 8 tahapan dimulai dari penentuan pihak terkait, persetujuan persyaratan, peninjauan hukum, penyusunan kontrak, verifikasi kepatuhan hukum, tanda tangan dan pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta yang terkahir pembatalan atau perubahan. Perlindungan hukum penyelenggara LPBBTI yaitu perlindungan hukum preventif yang didasarkan pada berbagai peraturan dan regulasi yang ada. Penyelesaian sengketa antara nasabah pinjaman online/penerima dana dengan penyelenggaran LPBBTI dapat diselesaikan dengan cara litigasi maupun non litigasi.