Claim Missing Document
Check
Articles

Found 9 Documents
Search

IMPLEMENTASI NILAI-NILAI KEADILAN DALAM KELUARGA POLIGAMI Hidayat, Riyan Erwin; Relfi, Kelin Ama; Oktora, Nency Dela; Angkasa, Nawa
Syakhsiyah Jurnal Hukum Keluarga Islam Vol 2 No 1 (2022): Bahasa Indonesia
Publisher : Institut Agama Islam Negeri Metro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32332/syakhshiyyah.v2i1.4996

Abstract

Keadilan dalam pernikahan poligami diharuskan ada dan terlaksana berdasarkan firman Allah swt dalam Q.S An Nissa ayat 3, keadilan yang dituntut dalam poligami ialah memberikan hak yang sama pada semua istrinya,baik dalam hal membagi waktu,nafkah baik lahir maupun batin, tempat tinggal, pakaian, kebutuhan dan perlakuan suami terhadap istrinya tanpa ada kecondongan pada salah satunya. Seperti yang terjadi di desa Sumbergede yang menjadi lokasi penelitian ditemukan bahwa ada 3 keluarga dimana terindentifikasi kurangnya penerapan keadilan didalam keluarga poligami. Allah swt membolehkan poligami sampai 4 orang istri dengan syarat berlaku adil kepada mereka. Adil merupakan prinsip dimana memberikan kepada setiap orang hak dan kesempatan yang sama. Adil diartikan sikap tidak berat sebelah dan tidak memihak salah satu. Dasar hukum poligami terdapat dalam Q.S An Nisa ayat 3 dan 129 kemudian dalam KHI pasal 55 sampai 59. Jenis penelitian yang digunakan yaitu penelitian kualitatif dimana objeknya merupakan peristiwa faktual dilingkungan masyarakat ataupun individu. Sifat penelitian ialah deskriptif kualitatif dimana dengan cara mendeskripsikan suatu kejadian yang terjadi dimasyarakat. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini ada 2 yaitu sumber data primer dan sekunder. Teknik ananlisis data dengan menggunakan metode Deduktif yaitu menggali informasi secara umum kemudian di khususkan menjadi konsep keadilan dalam keluarga poligami.
Konsep Nafkah Menurut Muhammad Syahrur dan Kompilasi Hukum Islam Hidayat, Riyan Erwin; Fathoni, Muhammad Nur
Syakhsiyah Jurnal Hukum Keluarga Islam Vol 2 No 2 (2022): Syakhshiyyah Jurnal Hukum Keluarga
Publisher : Institut Agama Islam Negeri Metro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32332/syakhshiyyah.v2i2.6139

Abstract

 Livelihood is meeting the needs of food, shelter, and the wife's treatment, and it is clear that a husband is obliged to provide maintenance to his wife. Based on the law, maintenance is a husband's obligation to his wife that must be met in the form of household needs in accordance with the husband's ability. However, at present, there are various disputes regarding what conditions are included in subsistence, especially in terms of types of subsistence. Therefore, this research is a study that discusses the concept of living according to Muhammad Syahrur and the Compilation of Islamic Law. About how the relevance of his thoughts. To know the relevance of Muhammad Syahrur and the Compilation of Islamic Law regarding maintenance. The type of research used is library research, so the research is not a "trial and error" activity (a step of activity carried out to try and try again). Based on the explanation of Law Number 1 of 1974 concerning marriage and KHI, it can be concluded that the husband is obliged to provide maintenance for his wife because maintenance is the second obligation of the husband to his wife after the husband gives the dowry to the wife.
Implikasi Hukum pada Transeksual terhadap Pembagian Waris Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia Hapsari, Vivi; Hidayat, Riyan Erwin
Syakhsiyah Jurnal Hukum Keluarga Islam Vol 3 No 2 (2023): Syakhshiyyah Jurnal Hukum Keluarga Islam
Publisher : Institut Agama Islam Negeri Metro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32332/syakhshiyyah.v3i2.7714

Abstract

Transsexual in Indonesia are considered deviants, although the phenomenon of Transsexual in our society is no longer a new fact, deviant behavior is still considered abnormal and even considered a disease. Transsexuals are prohibited by Islam as stated in the Al-Qur'an and hadith, this is contrary to the positive law in Indonesia where Transsexuals enjoy legal legality. The legality and legal status obtained by Transsexuals in Positive Law in Indonesia has a big impact in various aspects. One aspect that is affected by the existence of Transsexuals is Inheritance Law. This research aims to determine the legal implications for Transsexual perpetrators in the distribution of inheritance from the perspective of Islamic Law and Positive Law in Indonesia. This research is normative legal research which refers to literature studies in the field of law using a conceptual problem approach and a case approach. The research findings show that the law of changing sex on purpose is not permissible according to Islamic law. This is in accordance with the word of God in the Qur'an, the Hadith of the Prophet, and the MUI Fatwa. With the legalization of a Court Order, it raises two implications or possibilities that lead to opposite results. On the one hand, the distribution of inheritance must be in accordance with the initial gender at birth and on the other hand, the distribution of inheritance can be adjusted to the new gender in accordance with the legality obtained from the court's decision.
INTEGRATING ISLAMIC HUMANITARIANISM AND MODERN ULAMA PERSPECTIVES: CHILD PROTECTION IN INDONESIA'S POLICY FRAMEWORK Hidayat, Riyan Erwin; Faizin, Mu'adil; Hakim, Abdul; Karimullah , Suud Sarim; Rohmah, Umdah Aulia
Khazanah: Jurnal Studi Islam dan Humaniora Vol. 22 No. 1 (2024)
Publisher : UIN Antasari Banjarmasin

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18592/khazanah.v22i1.12688

Abstract

This study examines the integration of Islamic humanitarian values and modern ulama thoughts in shaping child protection policies in Indonesia. Grounded in Islamic values, including insights from Qur’anic injunctions and prophetic traditions, it highlights the parental responsibilities of safeguarding children's education, health, and overall well-being. Fathers are assigned the duty of providing sustenance, while mothers are entrusted with the primary role of nurturing and caring for their children, as emphasized by scholars such as Wahbah az-Zuhaili and Sayyid Sabiq. The findings illustrate how these principles align with Indonesia's cultural and social contexts, offering a comprehensive framework for addressing child labor and exploitation. The study presents actionable recommendations, including strengthening legal frameworks rooted in Islamic humanitarian values, empowering families through education on children’s rights, and fostering collaboration among policymakers, religious leaders, and civil society. By integrating Islamic values with contemporary challenges, this article contributes novel perspectives to the discourse on child protection, proposing culturally relevant and ethically grounded solutions. These insights aim to guide the development of effective, child-centered policies that uphold both humanitarian and Islamic ideals
Problematika Kawin Hamil Dalam Hukum Keluarga Hidayat, Riyan Erwin
El-Izdiwaj: Indonesian Journal of Civil and Islamic Family Law Vol. 3 No. 1 (2022): Juni 2022
Publisher : Program Studi Hukum Keluarga Islam Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24042/el-izdiwaj.v3i1.12327

Abstract

Abstrak : Problematika kawin hamil membawa dampak pada status nasab anak dan hak warisnya. Ketika anak yang dilahirkan adalah perempuan, maka ayahnya tidak berhak untuk menjadi wali pernikahannya. Begitupun dengan kewarisannya, antara ayah biologis si anak akan menjadi konsekuensi berat yang akan diterima oleh orang tua dan anaknya nanti. Tulisan ini bertujuan untuk menjawab bagaimana konsekuensi hukum seorang yang melakukan kawin hamil menurut para ulama dari perbedaan hingga persamaan pendapat para ulama. Penelitian ini menggunakan bahan pustaka, kemudian dianalisa menggunakan teknik deksriptif kualitatif. Hasilnya Seorang yang berzina dan menikahi yang dizinai serta menghasilkan anak, apabila anak tersebut perempuan, maka ayah yang dulunya menikahi ibunya pasca berbuat zina maka tidak diizinkan untuk menjadi wali dalam pernikahan karena konsekuensi dari pada apa yang dia perbuat di masa lalu, dan anak tersebut akan dinikahkan oleh wali hakim yang ditunjuk oleh pemerintah.Kata Kunci : Problematika Kawin Hamil, Hukum Keluarga, Wali Hakim
WAHBAH AZ-ZUHAILI AND MUHAMMAD SYAHRUR'S METHODS OF THINKING ABOUT MARRIAGE Hidayat, Riyan Erwin; Suharto, S.; Bahrudin, Moh.; Zaki, Muhammad
SMART: Journal of Sharia, Traditon, and Modernity Vol. 2 No. 1 June (2022)
Publisher : Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24042/smart.v2i1.13118

Abstract

By the development of the times, of course the law will also experience various developments, as well as marriage law in Islam which follows the times according to human needs. The development of marriage law in Islam cannot be separated from the existence of Muslim scholars. Among these Muslim scholars are Wahbah az-Zuhaili and Muhammad Syahrur. Az-Zuhaili uses the Usul fiqh method in interpreting the laws regarding marriage, while Syahrur uses the hermeneutic method in interpreting the laws regarding marriage. The two of them certainly have different opinions, because the way of thinking and the method of interpretation used are different. Therefore, through this study, the two thoughts of these figures will be examined. The results showed that the two figures viewed marriage as a very solid contract. The difference of opinion between the two lies in the discussion of the dowry, where according to az-Zuhaili that the dowry is a gift from the husband to the wife, and the wife has the right to get it because of the contract or actual intercourse, while Syahrur said the dowry is an unconditional gift given by the husband to his wife. Likewise, there are differences of opinion in the provision of a living and in terms of divorce and polygamy.
PENDAPAT IMAM MAZHAB TENTANG HAK ISTRI PADA MASA IDDAH TALAK BA’IN DAN RELEVANSINYA DENGAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN DI INDONESIA Hidayat, Riyan Erwin
Istinbath : Jurnal Hukum Vol 15 No 1 (2018): Istinbath Jurnal Hukum
Publisher : Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Metro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32332/istinbath.v15i1.1123

Abstract

ABSTRAK Perceraian merupakan perkara halal yang dibenci Allah SWT. Jika terjadi perceraian maka akan ada masa tunggu/iddah. Imam madzahib sepakat bahwa perempuan yang diceraikan dengan talak raj’i berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal selama masa iddah. Sedangkan untuk talak ba’in, mereka berbeda pendapat, Imam Abu Hanifah berpendapat istri itu tetap berhak atas nafkah dan tempat tinggal, Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa istri hanya berhak atas tempat tinggal saja, sedangkan Imam Ahmad ibn Hanbal berpendapat bahwa istri tidak mendapatkan hak nafkah dan tempat tinggal. Pendapat Imam Ahmad ini, memiliki persamaan dengan peraturan perkawinan di Indonesia, tepatnya pasal 149 b Kompilasi Hukum Islam, yang menyatakan bahwa, suami wajib memberikan nafkah, maskan dan kiswah kepada istri yang ditalak raj’i dan tidak untuk istri yang ditalak ba’in. Penelitian ini adalah penelitian pustaka (library research), dan berdasarkan studi ini perlu dipertimbangkan lagi hak istri pada dua jenis talak tersebut, Sehingga istri tetap bisa mendapatkan nafkah dan tempat tinggal selama masa iddah apapun jenis talak yang dijatuhkan. Keyword : Perceraian, Iddah, Imam Madzhab, KHI
Studi Pemikiran Wahbah Al-Zuhaili Dan Muhammad Syahrur Tentang Pernikahan Serta Relevansinya Dengan Peraturan Perundang-Undangan Perkawinan Di Indonesia Hidayat, Riyan Erwin
Istinbath : Jurnal Hukum Vol 16 No 1 (2019): Istinbath : Jurnal Hukum
Publisher : Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Metro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32332/istinbath.v16i1.1442

Abstract

Wahbah az-Zuhaili dan Muhammad Syahrur memiliki perbedaan dalam memahami al-Qur’an dan sunnah, khususnya dalam bidang perkawinan. Ada empat pokok persoalan yang akan dibahas dalam perkawinan yaitu mahar, nafkah, poligami dan perceraian. Rumusan masalah disertasi ini adalah; Bagaimanakah metode penetapan hukum yang digunakan Wahbah az-Zuhaili dan Muhammad Syahrur dalam masalah perkawinan? Bagaimanakah pemikiran-pemikiran Wahbah az-Zuhaili dan Muhammad Syahrur tentang hukum perkawinan? Bagaimanakah relevansi pemikiran Wahbah az-Zuhaili dan Muhammad Syahrur terhadap peraturan perundang-undangan perkawinan di Indonesia? Sumber data yang penulis gunakan adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh dari buku-buku, dokumen dan lainnya. Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan yaitu teknik dokumentasi yang digunakan untuk mengumpulkan serta meneliti bahan pustaka, yang merupakan data sekunder dari judul dan permasalahan dalam penelitian ini, sedangkan teknik analisis dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis yaitu menganalisis serta membandingkan persamaan dan perbedaan pendapat Wahbah dan Syahrur. Dalam penelitian ini, metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif, yaitu dengan cara menganalisa data yang diperoleh dengan ketentuan hukum. Hasil penelitian ini akan menunjukkan adanya titik temu dan perbedaan di antara kedua tokoh tersebut. Perbedaan muncul sebagai akibat ketidaksamaan metodologi pemikiran sebagai landasan dalam memahami masalah yang dikaji. Wahbah menggunakan metode ushul fiqh dalam memahami ayat-ayat tentang perkawinan sedangkan Syahrur menggunakan metode hermeneutika dalam memahami hukum-hukum tentang perkawinan. Mahar menjadi permaslahan yang pertama dalam perkawinan, dimana pendapat Wahbah yang menyatakan mahar merupakan syarat wajib dalam perkawinan berbeda dengan pendapat Syahrur yang menyatakan bahwa mahar hanyalah pemberian sukarela suami terhadap istrinya. Wahbah berpendapat suami wajib untuk mencari nafkah untuk istrinya. Berbeda dengan pendapat Syahrur yang menjelaskan bahwa istri berhak untuk membantu suami mencari nafkah, hal ini dikarenakan istri memiliki hak yang sama untuk berkerja. Wahbah berpendapat untuk poligami suami harus memenuhi syarat yaitu mampu menafkahi istri-istrinya dan dapat berbuat adil terhadap istri-istrinya, berbeda dengan pendapat Syahrur yang menyatakan bahwa syarat istri kedua, ketiga dan keempat, haruslah janda yang memiliki anak. Wahbah berpendapat bahwa perceraian yang dilakukan di persidangan tidak memiliki faedah sama sekali, karena talak hanya ada di tangan suami. Mengenai perceraian Syahrur berpendapat bahwa suami dan istri memiliki hak yang sama untuk mengajukan perceraian di pengadilan agama, hal ini dikarenakan pernikahan yang dilakukan suami istri tersebut dilakukan atas kehendak keduanya, dari perbedaan dan persamaan kedua tokoh ini diharapkan akan memberikan kontribusi pemikiran, terhadap Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam
Perubahan Kewenangan Juru Sita Dalam Pemanggilan Pihak Berperkara di Pengadilan Agama Sukadana Hidayat, Riyan Erwin; Midia, Fredy Ghandi; Hidayatullah, Ahmad Manarul
Siyasah Vol. 3 No. 2 (2023): Siyasah Jurnal Hukum Tata Negara
Publisher : IAIN Metro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32332/siyasah.v3i2.7900

Abstract

The discussion regarding bailiffs is currently interesting to discuss. Because there is a discourse that changes the bailiff's task system, namely in summoning litigants to court. Where summoning the parties to the case is one of the important duties of the bailiff. And in this case, the Supreme Court's discourse on changing the calling system via the post office means that it is clear that there are consequences to this policy. The aim of this research is to determine the impact that occurs when a litigant is summoned to the Religious Court using the Post Office. This research is field research, using qualitative data analysis. The results of the research carried out by transferring the parties' summons to a third party post office were not in accordance with the court's principles of simplicity, speed and low costs. Because it adds bureaucracy, the bailiff should contact the next litigant directly.