Novel Perosesoehan di Koedoes karya Tan Boen Kim merupakan catatan novelisasi sejarah perusuhan anti-Cina di Kudus tahun 1918 yang diakibatkan konflik etnis antara pribumi dan Tionghoa yang terjadi karena faktor paradigma struktural, yaitu adanya masalah ekonomi diakibatkan dari perebutan sumber daya – teritorial perekonomian dan perebutan tenaga kerja. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis novel Peroesoehan di Koedoes dengan menggunakan teori naratologi Gerard Genette mengenai fokalisasi. Fokalisasi berasal dari kata fokus yang berarti kancah perhatian, perspektif cerita, atau sudut pandang yang nantinya untuk melihat sudut pandang secara sosiologis mengenai keberadaan fakta, bagaimana dan dari sudut mana tokoh-tokoh dan kejadian dilihat. Selanjutnya, peneliti akan melihat bagaimana representasi etnis yang muncul dari bentuk fokalisasi yang digunakan oleh pengarang. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan menganalisis teks kemudian mengaitkannya dengan teori fokalisasi Gerard Genette. Sumber data merupakan narasi dan dialog antar tokoh dalam novel Peroesoehan di Koedoes karya Tan Boen Kim. Hasil penelitian menunjukkan bahwa novel Peroesoehan di Koedoes menggunakan dua teknik fokalisasi, yaitu fokalisasi nol (zero focalization) dan fokalisasi internal (internal focalization). Fokalisasi nol yaitu narator mahatahu ditempati oleh pengarang. Ia menempatkan dirinya dalam setiap rangkaian peristiwa yang ada, bahkan Tan Boen Kim dapat mengetahui berbagai fakta tentang beberapa tokoh, bentuk fisik, gerakan, cara berpikir hingga perasaan mereka. Selanjutnya adalah fokalisasi internal di mana beberapa tokoh memfokalisasi tokoh lainnya, untuk menjelaskan sifat tokoh lainnya. Representasi etnis yang terjadi dalam novel Peroesoehan di Koedoes adalah representasi etnis pribumi dan etnis Tionghoa. Etnis pribumi digambarkan sebagai orang yang pelit dan hanya tahu di untung saja dan tidak memperhatikan nasib para kuli. Ini berbanding terbalik dengan etnis Tionghoa yang digambarkan oleh Tan Boen Kim dalam novelnya, bahwa mereka memiliki kemurahan hati, mau memberikan utang/vorschoot, jujur dalam berdagang, dan mau memperhatikan nasib para kulinya.