Claim Missing Document
Check
Articles

Found 8 Documents
Search

Comparison of Pain in the Kocher and Midline Incisions in Patients with Post Cholecystectomy Yulianto, Agus; Raharjo, Agus; Alifianto, Untung; Supraptomo, RTH
Indonesian Journal of Medicine Vol. 5 No. 3 (2020)
Publisher : Masters Program in Public Health, Universitas Sebelas Maret, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (30.722 KB)

Abstract

Background: Incision techniques that are of­ten used in cholecystectomy laparotomy are the Koc­her incision and midline incision. This study was carried out to compare the pain in the Kocher's in­cision and midline incision in patients with post­operative cholecystectomy laparotomy.Subjects and Method: : This study was an ob­ser­vational randomized controlled trial double sampling study conducted at the Department of Sur­gery Dr. Moewardi Hospital Surakarta in Octo­ber 2018 to February 2019. The sample of this study was 30 patients aged 18-65 years old who were diagnosed with symptomatic chole­lithiasis based on clinical, laboratory, and radio­logical tests. The samples were selected by simple ran­dom sampling. The dependent variable of this study was the pain. The independent variables were the Kocher and midline incision techniques. The pain was measured on a 24-hour post­ope­ra­ti­ve VAS scale, range 1-10. Data were analyzed by t-test.Results: There was no significant difference in pain level between the Kocher group (Mean= 2.33; SD=0.72) and the midline group (Mean= 2.20; SD=0.97) with p=0.192.Conclusion: There is no difference in pain level due to the Kocher incision technique and the mid­line incision technique.Keywords: pain, incision, kocher, midline, cholecy­stectomyCorrespondence: R. Th. Supraptomo. Anesthesia dan Intensive The­rapy Department Dr. Moewardi Hospital, Sura­karta. Jl. Kolonel Sutarto 132 Jebres, Surakarta, Central Java 57126. Email: ekasatrio@gmail.com. Mobile: 081229229567Indonesian Journal of Medicine (2020), 05(03): 240-245https://doi.org/10.26911/theijmed.2020.05.03.09  
Management of Laparoscopic Surgery in Intraoperative Subcutaneous Emphysema: A Case Report Supraptomo, RTH
Indonesian Journal of Medicine Vol. 5 No. 3 (2020)
Publisher : Masters Program in Public Health, Universitas Sebelas Maret, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (30.178 KB) | DOI: 10.26911/theijmed.2020.5.3.291

Abstract

Background: Over the past 50 years, laparoscopy has evolved from a limited gynecological surgical procedure that is only used for diagnosis and tubal ligation to become the main surgical tool used for many gynecological indications. Many studies have shown that laparoscopy is safer, more affordable, and has a shorter recovery time than laparotomy. This study aimed to report the management of laparoscopic surgery in intraoperative subcutaneous emphysema.Case Presentation: The subject of the study was a 37-year-old woman with adenomyosis and chocolate cyst of sinistra with a surgery plan for resection of adenomyosis and per laparoscopic cystectomy with the physical status of the ASA II Plan GAET. The surgery was carried out on October 15, 2018, with surgery for 5 hours. At the intraoperative, subcutaneous emphysema was found from the diaphragm to the thorax. In this condition, the peritoneal insufflation was reduced to 10-12 mmHg. The head down was returned to a position that made it easier for the patient's condition to reduce the occurrence of decreased lung compliance. The patient's postoperative condition was good, the hemodynamic was stable, her breath was spontaneous, and the saturation was 99% with oxygen supplementation via Nasal Kanul 3 lpm. The subcutaneous emphysema gradually disappeared 24 hours postoperatively. Conclusion: Subcutaneous emphysema may occur in the laparoscopic procedures. The close monitoring during surgery and the expertise of the anesthesiologist in diagnosing and intervening is crucial in controlling this condition.Keywords: subcutaneous emphysema; laparoscopy; intraoperative interventionCorrespondence: RTH. Supraptomo. Department of Anesthesiology and Intensive Therapy, Dr. Moewardi Hospital, Surakarta, Central JavaIndonesian Journal of Medicine (2020), 05(03): 206-213https://doi.org/10.26911/theijmed.2020.05.03.05 
Manajemen Anestesi pada Seksio Sesarea dengan Serangan Asma Supraptomo, RTH
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 5 No 1 (2022): Maret
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v5i1.72

Abstract

Seksio sesarea adalah sebuah prosedur dimana bayi dilahirkan melalui sebuah insisi pada dinding abdomen dan uterus ibu hamil. Selama persiapan dan pelaksanaan seksio sesarea, pada ibu hamil dengan asma, dapat terjadi serangan asma, yaitu hiperresponsif jalan nafas (respon penyempitan dan edema jalan napas yang berlebihan terhadap pemicu, seperti alergen dan olahraga), dengan gejala mengi, dispnea (sesak napas), dan batuk. Serangan asma ini dapat diakibatkan pelepasan epitel, fibrosis subepitel, peningkatan jumlah dan volume sel mukosa di epitel, hiperplasia otot polos jalan napas, dan hipertrofi, serta peningkatan vaskularisasi dinding jalan napas. Manajemen serangan asma pada seksio sesarea dipengaruhi oleh teknik anestesi yang digunakan. Manajemen serangan asma pada seksio sesarea dengan anestesi regional, dapat menggunakan lidokain 1-2 mg/kgBB IV. Serangan asma pada seksio sesarea dengan anestesi umum dapat dicegah dengan kortikosteroid inhalasi seperti beclomethason 400 μg per hari. Perawatan harus diambil untuk mencegah aspirasi selama intubasi. Jika mungkin, pasien harus ditempatkan dengan kepala tempat tidur ditinggikan untuk mencegah pneumonia terkait aspirasi dan eksaserbasi asma
Manajemen Anestesi Spinal dengan Levobupivakain Isobarik dan Fentanil pada Pasien Preeklampsi Berat yang dilakukan Seksio Sesarea Supraptomo, RTH
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 5 No 3 (2022): November
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v5i3.105

Abstract

Hipertensi pada kehamilan merupakan lima besar penyebab kematian maternal. Preeklampsia berat (PEB) adalah hipertensi yang terjadi pada ibu hamil yang biasanya dijumpai pada kehamilan 20 minggu, ditandai dengan proteinuria dengan atau tanpa edema. Seksio sesarea (SC) merupakan persalinan buatan dengan melakukan insisi pada dinding depan perut. Salah satu indikasi dilakukannya persalinan SC adalah pre-eklampsia berat. Seorang wanita 31 tahun G5P3A1 dengan pre-eklampsia berat, fetal hipoksia, oligohidramnion, hamil postdate, dan obesitas kelas I, status fisik ASA II-E direncanakan untuk melakukan SC dan tubektomi. Operasi dilakukan dengan menggunakan Regional Anesthesia Subarachnoidal Block (RASAB). Obat anestesi yang digunakan yaitu kombinasi levobupivakain dan fentanil. Anestesi regional lebih banyak dipakai pada tindakan SC karena prosesnya cepat, nyaman ketika operatif, dan kualitas analgesianya baik saat post operasi. Anestesi regional juga dikaitkan dengan fluktuasi hemodinamik yang lebih sedikit. Levobupivacaine bekerja dengan memblokade saluran natrium neuronal yang mencegah depolarisasi dan bersifat reversibel pada saraf sensorik maupun motorik Kombinasinya fentanil dapat menghasilkan pemanjangan blok sensorik tanpa ada perbedaan pada onset spinal anestesi. SC dan MOW pada pasien dilakukan dengan menggunakan RASAB dengan obat anestesi kombinasi levobupivakain dan fentanil. Kombinasi tersebut bertujuan untuk memperpanjang durasi blok sensorik tanpa memperpanjang durasi blok motorik sehingga dapat mengurangi nyeri pada pasien tanpa mengganggu fungsi motoriknya.
Regional Anestesi Subarachnoidal Block pada Seksio Sesarea Emergensi dengan Preeklampsia Berat (PEB) Super Imposed HELLP Syndrome Supraptomo, RTH
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 7 No 1 (2024): Maret
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v7i1.156

Abstract

Angka Kematian Ibu di Indonesia terhitung 305:100.000 kelahiran dan 25% penyebabnya adalah hipertensi. Preeklampsia berat (PEB) adalah kondisi munculnya hipertensi dan proteinuria setelah usia kehamilan 20 minggu. PEB dapat diukur keparahannya dengan hipoalbumin dan dapat menyebabkan hemolisis. Sindrom HELLP merupakan komplikasi dari PEB. Sectio Caesarea Transperitoneal Profunda (SCTP) adalah persalinan buatan di mana janin dilahirkan melalui insisi dinding depan perut di segmen bawah rahim. Indikasi dilakukannya SCTP diantaranya adanya PEB disertai dengan tanda gawat ibu (Sindrom HELLP, tanda impending). Wanita 31 tahun G2P1A0 usia kehamilan 32+4 minggu dengan Preeklampsia Berat Superimposed, HELLP Syndrome hipoksia fetal, riwayat SC 11 tahun lalu, belum dalam persalinan, dengan konjungtivitis sinistra, hipoalbumin (2,8), status fisik ASA IIE direncanakan untuk dilakukan SCTP emergensi. Regional Anesthesia Subarachnoidal Block (RASAB) digunakan pada tindakan SCTP dengan kombinasi levobupivacaine dan fentanyl. Persalinan dengan SCTP menggunakan anestesi regional karena prosesnya cepat, nyaman selama operasi, kualitas analgesia lebih baik pada post operasi, dan fluktuasi hemodinamik lebih stabil. Levobupivacaine memblokade natrium channel neuronal yang mencegah depolarisasi dan bersifat reversibel pada saraf sensorik dan motorik. Kombinasi fentanyl menghasilkan efek blok sensorik lebih lama dengan onset spinal anestesi yang sama. Selain itu, ia juga memperpanjang durasi blok sensorik tanpa memperpanjang durasi blok motorik sehingga nyeri pada pasien dapat berkurang tanpa mengganggu fungsi motoriknya.
Pengaruh Regional Anesthesia Subarachnoid Block pada G3P2A0 dengan Preeklampsia Berat Supraptomo, RTH
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 7 No 3 (2024): November
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v7i3.184

Abstract

Preeklampsia adalah komplikasi kehamilan serius yang ditandai dengan hipertensi dan proteinuria, berpotensi menyebabkan komplikasi serius bagi ibu dan bayi. Preeklampsia yang disertai tanda prodromal ini disebut sebagai impending eklampsia atau imminent eclampsia. Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara dengan Angka Kematian Ibu (AKI) yang tinggi, yakni 173:100.000 kelahiran, dengan persentase 25% disebabkan oleh hipertensi pada kehamilan. Sectio Caesarea Transperitoneal Profunda (SCTP) adalah metode persalinan melalui insisi dinding perut dan segmen bawah rahim. Kasus ini melibatkan seorang wanita 37 tahun G3P2A0 dengan usia kehamilan 30 minggu dan preeklampsia berat (PEB), direncanakan menjalani SCTP darurat menggunakan Regional Anesthesia Subarachnoid Block (RASAB) dengan levobupivacaine dan fentanyl. Anestesi regional dipilih karena durasi dan kualitas analgesia yang baik, serta stabilitas hemodinamik selama operasi. Levobupivacaine bekerja dengan memblokade natrium channel neuronal yang mencegah depolarisasi dan bersifat reversibel pada saraf sensorik maupun motorik. Kombinasi levobupivacaine dan fentanyl menghasilkan blok sensorik lebih lama tanpa memperpanjang blok motorik, mengurangi nyeri tanpa mengganggu fungsi motoriknya.
Manajemen Anesthesia Pada Kasus Peripartum Cardiomyopathy (PPCM) Supraptomo, RTH
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 8 No 1 (2025): Maret
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v8i1.203

Abstract

Kardiomiopati peripartum (PPCM) adalah kondisi langka yang terjadi pada wanita menjelang akhir kehamilan atau periode pasca melahirkan, yang ditandai dengan gagal jantung tanpa penyebab lain yang teridentifikasi. Kondisi ini berhubungan dengan angka morbiditas dan mortalitas tinggi, sehingga deteksi dini dan penanganan agresif sangat penting. Insidensi dari PPCM sampai saat ini belum jelas diketahui, kemungkinan karena misdiagnosis. Diperkirakan angka kejadiannya antara 1:3.000 hingga 1: 10.000 kehamilan. Patofisiologi PPCM melibatkan berbagai faktor seperti stres angiogenik, metabolik, hormonal, dan stress oksidatif. Faktor risiko utama mencakup perubahan hormonal yang dimediasi oleh stres oksidatif. Diagnosis PPCM ditegakkan berdasarkan klinis, hasil ekokardiografi, dan temuan laboratorium. PPCM dapat didiagnosis jika memenuhi empat syarat, yaitu timbulnya gagal jantung dalam waktu 5 bulan setelah melahirkan atau pada bulan terakhir kehamilan, gagal jantung yang tidak diketahui etiologinya, tidak ada penyakit jantung nyata sebelum bulan terakhir kehamilan, dan terdapat bukti ekokardiografi left ventricular systolic dysfunction. Tatalaksana PPCM membutuhkan pendekatan multidisiplin, melibatkan ahli jantung, obstetri, anestesiologi, dan neonatologi, dengan penekanan pada manajemen anestesi yang tepat untuk memastikan keselamatan ibu dan bayi selama persalinan. Pengelolaan medis selama kehamilan dan pasca melahirkan harus disesuaikan dengan pedoman ESC untuk pengobatan gagal jantung sistolik dan memastikan terapi yang aman untuk ibu dan bayi. Tatalaksana ini melibatkan penggunaan diuretik, vasodilator, dan inotropik.
Seksio Sesarea Emergensi dengan Regional Anestesi Pasien G1P0A0, Preeklamsi Berat (PEB), Ketuban Pecah Dini (KPD), Ascites Permagna, Hipoalbumin, Suspek Sindroma Nefrotik Supraptomo, RTH
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 8 No 2 (2025): Juli
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v8i2.202

Abstract

Preeklampsia merupakan komplikasi kehamilan yang serius, ditandai dengan hipertensi dan proteinuria, yang dapat menyebabkan komplikasi berat bagi ibu dan janin. Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara dengan Angka Kematian Ibu (AKI) yang tinggi, yakni 173:100.000 kelahiran. Salah satu indikasi dilakukannya persalinan sectio caesaria emergency adalah preklampsi berat (PEB).Seorang wanita usia 24 tahun G1P0A0 dengan usia kehamilan 31+6 minggu datang ke IGD RS Dr. Moewardi kehamilan tunggal hidup intra uteri (THIU), ketuban pecah dini (KPD), letak lintang (kepala di kanan punggung di atas), preeklamsia berat (PEB) suspek sindroma nefrotik, asites permagna, oedeme vulva, hipoalbumin, insufisiensi renal, Intra Uterine Growth Restriction (IUGR), imbalance elektrolit, dan dislipidemia direncanakan untuk seksio sesarea emergensi dengan Regional Anesthesia Subarachnoid Block (RASAB) digunakan sebagai anestesi dengan obat anestesi berupa kombinasi lidodex 1 amp dan fentanyl 25 mcg.Persalinan dengan seksio sesarea banyak menggunakan anestesi regional dikarenakan prosesnya yang cepat, nyaman selama operasi, dan memiliki dampak yang lebih minimal terhadap fluktuasi hemodinamik. Kombinasi lidokain 5% dengan fentanyl dapat digunakan dalam anestesi regional untuk tindakan seksio sesarea.Prosedur anestesi seksio sesarea emergensi pada pasien dilakukan dengan Regional Anesthesia Subarachnoid Block (RASAB) kombinasi lidodex dan fentanyl. Kombinasi lidokain 5% dengan fentanyl merupakan pilihan anestesi regional yang efektif dan aman untuk tindakan seksio sesarea.