Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search
Journal : Jukema (Jurnal Kesehatan Masyarakat Aceh)

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi pada Atlet Tarung Derajat Aceh Nazalia, Nazalia; Aramico, Basri; Amin, Fauzi Ali
Jukema (Jurnal Kesehatan Masyarakat Aceh) Vol 2, No 2 (2016): Jurnal Kesehatan Masyarakat Aceh (JUKEMA)
Publisher : Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Muhammadiyah Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Latar Belakang: Status gizi yang buruk dapat mempengaruhi derajat kesehatan dan kebugaran atlet. Status gizi atlet diukur dengan menggunakan indikator Indeks Massa Tubuh (IMT). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor apa yang berhubungan dengan status gizi pada atlet Tarung Derajat Aceh. Metode: Penelitian ini bersifat observasional analitik dan menggunakan desain cross-sectional. Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara dan penyebaran angket. Sampel adalah seluruh populasi - seluruh atlet tarung derajat Aceh telah memasuki masa Training Center (TC) sejumlah 51 orang. Uji statistik yang digunakan yaitu uji chi-square dan dianalisa secara univariat dan bivariat. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa atlet tarung derajat yang status gizi kurus 13.7%, status gizi normal 74.5%, dan status gizi gemuk 11.8%. Berdasarkan analisa univariat terdapat atlet dengan pola makan salah 47.1%, melakukan aktivitas fisik yang berat 33.3%, aktivitas ringan 23.5%, pengetahuan gizi kurang 43.1%, intensitas latihan kurang 29.4% dan intensitas latihan berat 25.5%. Berdasarkan hasil bivariat menunjukkan bahwa ada hubungan pola makan (p-value 0.040), aktivitas fisik (p-value 0.031), pengetahuan gizi (p-value 0.016) dan intensitas latihan (p-value 0.043) dengan status gizi atlet. Saran: Diharapkan kepada para pengurus dan pelatih tarung derajat Aceh agar lebih memperhatikan pola makan atlet sesuai dengan kebutuhannya, jumlah kalori yang dikonsumsi dan jadwal yang teratur dapat membantu proses pemenuhan gizi menjadi lebih baik, serta mengadakan penyuluhan gizi yang melibatkan atlet dan para pelatih guna meningkatkan pengetahuan tentang gizi
Hubungan Pemberian Asi Eksklusif, Pengetahuan, Pendapatan dan Pola Asuh dengan Tumbuh Kembang Anak Balita di Desa Ilie, Banda Aceh Aramico, Basri; Amin, Fauzi Ali; Novita, Riska
Jukema (Jurnal Kesehatan Masyarakat Aceh) Vol 2, No 1 (2016): Jurnal Kesehatan Masyarakat Aceh (JUKEMA)
Publisher : Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Muhammadiyah Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37598/jukema.v2i1.553

Abstract

Latar Belakang: Sebagai calon generasi penerus bangsa, kualitas tumbuh kembang balita di Indonesia perlu  mendapat perhatian serius. Berdasarkan data puskesmas Ulee Kareng (2013) diketahui 15.8% balita gizi kurang, 29.3% balita stunted, 7.2% balita kurus, 0.5% balita kurus sekali dan 8.8% gemuk. Hal ini perlu mendapat  perhatian agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal sesuai dengan potensinya dan mampu bersaing di era global Metode: Penelitian ini bersifat analitik dengan desain cross sectional study. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anak balita di Desa Ilie Kecamatan Ulee Kareng Kota Banda Aceh berjumlah 226 orang. Sampel penelitian secara proporsional random sampling sebanyak 70 orang. Data analisis univariat dan analisis bivariat menggunakan uji Chi-square (α = 0.05). Data primer melalui observasi langsung dengan pengamatan Kartu Menuju Sehat (KMS) untuk mengetahui pertumbuhan  dan perkembangan. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan persentase anak balita dengan tumbuh kembang yang tidak sesuai pada  balita yang tidak ada diberikan ASI eksklusif sebanyak 45.2%, pengetahuan orang tua kurang sebanyak 60.6%, pendapatan keluarga rendah 71.4% dan pola asuh salah 58.1%. Dari hasil uji statistik dapat disimpulkan ada hubungan antara  pemberian ASI eksklusif (P value 0.006), pengetahuan  (P value 0.002), pendapatan keluarga (P value 0.001) dan pola asuh (P value 0.012) dengan tumbuh kembang anak balita. Saran: Puskesmas Ulee Kareng agar memberikan penyuluhan tentang pentingnya memberikan ASI eksklusif dan melakukan stimulasi perkembangan motorik kasar anak balita. 
Editorial: Regulasi, Aplikasi Pemberian Air Susu Ibu Ekskluksif, dan Status Gizi Balita di Aceh Basri Aramico
Jukema (Jurnal Kesehatan Masyarakat Aceh) Vol 2, No 2 (2016): Jurnal Kesehatan Masyarakat Aceh (JUKEMA)
Publisher : Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Muhammadiyah Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37598/jukema.v2i2.513

Abstract

Jumlah balita di Indonesia pada tahun 2013 sangat besar, sekitar 10% dari seluruh penduduk Indonesia merupakan penduduk dengan usia di bawah 5 tahun. Dengan jumlah yang besar, maka nasib bangsa Indonesia di masa datang juga terletak pada generasi yang sekarang ini. Sebagai calon generasi penerus bangsa, kualitas tumbuh kembang balita di Indonesia perlu mendapat perhatian serius. Dalam perkembangan anak, terdapat masa kritis di mana diperlukan rangsangan atau stimulasi yang berguna agar potensi anak dapat berkembang dengan maksimal. Sehingga hal ini perlu mendapat perhatian dan stimulasi yang memadai serta terjangkau oleh pelayanan kesehatan berkualitas termasuk deteksi dan intervensi dini penyimpangan tumbuh kembang, agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal sesuai dengan potensinya dan mampu bersaing di era global [1].Perkembangan dan pertumbuhan balita ditentukan oleh status gizi pada awal kehidupan, bahkan sejak didalam kandungan yang dikenal sebagai 1.000 hari pertama kehidupan (HPK) yaitu masa 270 hari di dalam kandungan dan masa 730 hari setelah kelahiran (2 tahun). Upaya untuk meningkatkan status gizi balita, satu di antaranya adalah dengan memberikan Air Susu Ibu (ASI) secara eksklusif, yaitu pemberian ASI saja tanpa makanan tambahan lain kepada bayi sejak usia 0-6 bulan [2].Berbagai upaya efektif untuk mendorong pemberian pemberian ASI Eksklusif terus dilakukan, termasuk dukungan Peraturan Daerah dalam berbagai regulasi (Qanun). Di level nasional, peraturan kesehatan baru telah melarang dengan tegas berbagai upaya promosi pengganti ASI di fasilitas kesehatan dan peraturan pemerintah tentang hak ibu untuk menyusui secara eksklusif selama enam bulan pertama dan terus menyusui selama dua tahun atau lebih. Upaya tersebut perlu didukung oleh seluruh pemerintah kabupaten/kota.Pada tatanan nasional pemerintah sudah mengatur ketentuan melalui Undang- Undang (UU) dan Peraturan Pemerintah (PP) untuk mendukung pemberian ASI Eksklusif di Indonesia, tetapi pada tingkat pemerintahan daerah/kabupaten  peraturan dan perundang-undangan perlu penjabaran lebih detail sesuai dengan situasi dan kondisi kabupaten/kota. Hasil telaah setidaknya ada 17 peraturan perundang-undangan yang terkait dengan ASI Eksklusif baik secara langsung maupun tidak langsung. Beberapa peraturan tersebut3 di antaranya adalah UU No. 7/1996 tentang Pangan; UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen; UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah; UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah; UU No. 36/2009 tentang Kesehatan; UU No. 36/2014 tentang Tenaga Kesehatan; PP No. 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah; PP No.  33/2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif; Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 329/Menkes/Per/XII/1976 tentang Produksi dan Peredaran Makanan; Peraturan Bersama Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia, dan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 48/Men.PP/XII/2008; No. PER.27/MEN/XII/2008; dan No. 1177/Menkes/PB/XII/2008 tentang Peningkatan Pemberian Air Susu Ibu Selama Waktu Kerja di Tempat Kerja; Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 741/MENKES/PER/VII/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota; dan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 450/MENKES/SK/IV/2004 tentang Pemberian ASI Secara Eksklusif pada Bayi di Indonesia.Selain itu menurut UU No. 36/2009 tentang Kesehatan, pada pasal 128 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap bayi berhak mendapatkan ASI Eksklusif sejak  dilahirkan selama 6 (enam) bulan. Bayi setelah 30 menit dari kelahirannya sampai 6 (enam) bulan bayi hanya diberikan air susu ibu saja tanpa makanan atau minuman lain. Setelah usia 6 bulan, anak tetap menerima pemberian ASI dengan makanan tambahan sampai anak berusia 2 tahun4. PP No. 33/2012 tentang pemberian ASI Eksklusif merupakan produk hukum dengan kekuatan hukum yang jelas, tegas dan tertulis. Dalam ketentuan peralihan disebutkan bahwa pada saat PP ini mulai berlaku, pengurus tempat kerja dan/atau penyelenggara tempat sarana umum, wajib menyesuaikan dengan ketentuan PP ini paling lama 1 (satu) tahun.Hal ini sesuai dengan prinsip dalam agama yang tidak ingin memberatkan.  Kekuatan besar juga terdapat pada amanat PP no 33 tahun 2012 sesuai dengan perintah dalam Al-Qur’an (Q.S. [2]: 233), (Q.S. Lukman [31]: 14), (Q.S. Al-Ahqaaf [46]: 15). Meskipun tidak secara eksplisit disebutkan tentang ASI Eksklusif dalam Al-Qur’an, namun perintah kepada ibu untuk menyusukan bayinya sampai 2 tahun merupakan landasan moril, kekuatan spiritual dan nyata untuk dapat meningkatkan peran dakwah dalam Islam dalam membantu peningkatan pemberian ASI eksklusif5. Provinsi Aceh juga telah mengatur praktik pemberian ASI dalam Peraturan Daerah (Qanun), yaitu Qanun Aceh No. 04 Tahun 20106 tentang Kesehatan (Lembaran Daerah Aceh Tahun 2011 No.01).Namun pada kenyataannya praktik pemberian ASI Eksklusif sering mengalami kegagalan karena berbagai alasan. Pertama, karena terlalu cepat memberikan makanan tambahan dan kedua karena tingginya keinginan ibu untuk memberikan susu formula. Selain itu, rendahnya pengetahuan ibu tentang ASI Eksklusif dan rendahnya dukungan untuk Inisiasi Menyusu Dini (IMD) juga berkontribusi terhadap rendahnya cakupan pemberian ASI Eksklusif. Parktek pemberian ASI Eksklusif tersebut dianggap gagal karena masih di bawah target kementerian kesehatan yaitu 80%7. Di provinsi Aceh cakupan ASI Eksklusif masih sangat rendah. Pada tahun 2015, cakupan ASI Eksklusif di Aceh baru mencapai 48.1% [8].Rendahnya praktek pemberian ASI Eksklusif tersebut ditenggarai mempengaruhi peningkatan status gizi bayi dan balita. Berdasarkan Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, berat badan menurut umur (BB/U) secara nasional, prevalensi berat-kurang pada tahun 2013 adalah 19.6%, terdiri dari 5.7% gizi buruk dan 13.9% gizi kurang. Dari 34 provinsi di Indonesia terdapat 18 provinsi dengan angka prevalensi gizi buruk dan kurang di atas angka nasional yaitu berkisar antara 21.2% sampai 33.1% dan salah satunya adalah provinsi Aceh yang menduduki urutan ke 7 di antara 18 Provinsi di Indonesia dengan prevalensi gizi  kurang sebesar 25 [8].Data profil kesehatan provinsi Aceh tahun 2013 dari 214.760 balita yang ditimbang berat badannya sebanyak 65.3% balita dengan gizi baik. Sedangkan Banda Aceh menunjukkan dari 14.436 balita, balita dengan gizi baik atau berat badan naik (5.8%), balita dengan gizi kurang atau bawah garis merah (BGM) atau yang mengalami gizi buruk (0.02%) [7].Pada tahun 2016 Gubernur Aceh, Zaini Abdullah telah menetapkan Peraturan Gubernur (Pergub) Aceh No. 49 tentang Pemberian Air Susu Ibu Ekslusif pada tanggal 11 Agustus 2016. Dalam Pergub yang diundangkan tanggal 12 Agustus 2016 itu mewajibkan pemerintah Aceh dan kabupaten-kota di Aceh untuk memberikan cuti hamil dan cuti melahirkan untuk PNS dan PPPK atau tenaga honorer/kontrak, baik perempuan juga suami. Selanjutnya dalam pergub tersebut mengatur bahwa bagi pegawai perempuan yang hamil mendapat 20 hari cuti hamil sebelum waktu melahirkan, dan 6 bulan untuk cuti melahirkan guna pemberian ASI Ekslusif. Cuti juga diperoleh suami untuk mendampingi istri yaitu selama 7 hari sebelum melahirkan, dan 7 hari sesudah melahirkan [9].Penguatan regulasi untuk mendukung praktik pemberian ASI Eksklusif terus ditetapkan baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, dengan harapan cakupan pemberian ASI Ekslusif terus meningkat. Hal tersebut tentunya dalam upaya meningkatkan status gizi bayi dan balita agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal, serta menjadi investasi dan generasi bangsa yang cerdas dan produkstif.
PERBEDAAN STATUS GIZI PADA BAYI YANG DIBERI ASI EKSKLUSIF DAN MP-ASI DINI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KOTA JANTHO KABUPATEN ACEH BESAR TAHUN 2017 Phossy Vionica Ramadhana; Asnawi Abdullah; Basri Aramico
Jukema (Jurnal Kesehatan Masyarakat Aceh) Vol 5, No 1 (2019): Jurnal Kesehatan Masyarakat Aceh (JUKEMA)
Publisher : Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Muhammadiyah Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37598/jukema.v5i1.702

Abstract

Latar Belakang: Gizi masyarakat mempengaruhi kecerdasan dan kesejahteraan, akan tetapi banyak bayi yang mengalami rawan gizi karena pemberian MPASI (makanan pendamping ASI) yang terlalu dini. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perbedaan status gizi pada bayi yang diberi ASI eksklusif dan MP-ASI dini di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Jantho Kabupaten Aceh Besar tahun 2017. Metode: Penelitian ini dilakukan dngan metode deskriptif analitik dengan desain case control. Populasi dalam penelitian ini adalah adalah semua bayi usia 7-12 bulan berstatus gizi baik dan kurang di wilayah kerja Puskesmas Jantho. Pengambilan sampel menggunakan rumus studi kasus kontrol sehingga diperoleh sebanyak 58 bayi dengan status gizi baik dan 58 bayi dengan status gizi kurang. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa status gizi bayi kurang yang diberikan MP-ASI sebesar 75.9% lebih besar dibandingkan dengan status gizi bayi baik sebesar 41.4%. Sedangkan pada status gizi bayi kurang yang diberikan ASI eksklusif hanya sebesar 24.1% namun pada bayi dengan status gizi bayi baik diperoleh 58.6%. Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa, ada perbedaan status gizi bayi yang diberi ASI eksklusif dan MP-ASI dini, ada hubungan antara status gizi dengan pemberian ASI eksklusif ibu, pemberian MP-ASI dini, tingkat pendidikan, pendapatan orang tua, paritas, jarak kelahiran, pelayanan kesehatan, sanitasi lingkungan, personal hygiene, perawatan payudara, produksi ASI, lingkungan sosial dan Inisiasi Menyusu Dini. Ketika dilakukan analisis lebih lanjut berdasarkan analisis multivariat paritas merupakan faktor yang paling dominan terhadap status gizi bayi. Kesimpulan: Peneliti dapat memberikan kesimpulan bahwa bayi yang mengalami gizi kurang lebih banyak pada bayi yang tidak diberikan ASI eksklusif. Dimana faktor yang paling dominan disebabkan oleh paritas.