Artikel ini membahas ambivalensi atau ketidakpastian hukum nikah sirri di Indonesia. Ketidakpastian ini diakibatkan oleh kontradiksi yang muncul karena adanya perbedaan pandangan antara hukum adat, agama, dan hukum nasional. Kondisi ini ternyata berbanding lurus dengan kondisi psikologis para pelaku nikah sirri. Sehingga dalam konteks ini terdapat ruang atau ada kebutuhan untuk menyelaraskan hukum adat, agama, dan hukum nasional dalam hal perkawinan. Metode pengumpulan data diambil dari data primer berupa wawancara dengan masyarakat pelaku nikah sirri dan tokoh agama di Kabupaten Lumajang Jawa Timur. Data tersebut kemudian dianalisa dengan menggunakan pendekatan normatif-psikologis baik dalam konteks hukum Islam dan hukum positif. Hasil pembahasan ini menunjukkan bahwa pertama; terdapat aturan yang bersifat ambivalen dimana dalam penerapannya masyarakat menjadi bingung sehingga berpotensi terjadinya banyak pelanggaran. Kedua terdapat banyak faktor yang mempengaruhi ambivalensi nikah sirri yakni faktor keterbatasan masyarakat dalam mengakses informasi dan kesadaran akan hak dan kewajiban dalam pernikahan. Ketiga adalah implikasi ambivalensi sangat berpengaruh kepada aspek psikis pelaku nikah sirri sehingga berpotensi menghambat efektivitas aturan hukum nikah sirri, yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran administratif. (This article examines the legal ambiguity surrounding unregistered marriages in Indonesia. This condition stems from the contradictions between customary law, religious law, and national law, resulting in uncertainty and inconsistencies in its legal treatment. The psychological well-being of individuals involved in unregistered marriages is directly correlated with the existing legal ambiguity. Consequently, there is a pressing need to reconcile customary, religious, and national laws pertaining to marriage to address this issue. This study utilizes a qualitative research methodology, collecting primary data through in-depth interviews with individuals who have engaged in unregistered marriages and prominent religious figures in Lumajang Regency, East Java. The data is subsequently analyzed using a normative-psychological framework, integrating both Islamic jurisprudence and positive law perspectives. The results of this analysis reveal three key findings. Firstly, the existence of ambivalent regulations leads to confusion among the community, thereby increasing the likelihood of non-compliance. Secondly, the ambivalence surrounding unregistered marriages is influenced by various factors, including limited access to information and a lack of awareness about marital rights and obligations. Thirdly, the psychological implications of this ambivalence are substantial, affecting the mental well-being of individuals involved and potentially undermining the efficacy of legal frameworks governing unregistered marriages, which may lead to administrative infractions).