Nugorho Nur Susanto
Unknown Affiliation

Published : 6 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

PELESTARIAN TINGGALAN ARKEOLOGI DI TANJUNGREDEB: KONTESTASI ANTARA PRAKTIK DAN REGULASI [THE PRESERVATION OF ARCHAEOLOGICAL HERITAGE IN TANJUNGREDEB: A CONTESTATION BETWEEN PRACTICE AND REGULATION] Wasita; Hartatik; Nugorho Nur Susanto; Ida Bagus Putu Prajna Yogi; Restu Budi Sulistiyo; Fitri Wulandari; Diyah W. Restiyati
Naditira Widya Vol 14 No 1 (2020): NADITIRA WIDYA VOLUME 14 NOMOR 1 APRIL 2020
Publisher : Balai Arkeologi Kalimantan Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24832/nw.v14i1.414

Abstract

Partisipasi dalam kegiatan pelestarian tinggalan arkeologi bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk masyarakat. Namun yang lebih penting dari semua itu adalah partisipasi yang tepat dan tidak akan menimbulkan masalah baru. Penelitian di Tanjungredeb ini ditujukan untuk mengetahui bagaimana kegiatan pelestarian, pandangan setiap pemangku kepentingan tinggalan arkeologi, dan dampaknya. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitik dengan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara, dan studi dokumen. Analisisnya dilakukan dengancara menyusun dan mengklasifikasikan data untuk menemukan pola atau tema, agar dapat dipahami maknanya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada upaya pelestarian tinggalan arkeologi di lokasi penelitian yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat. Namun demikian, sebagian praktik pelestarian itu tidak sesuai dengan regulasi yang telah ditetapkan, yaitu Undang-Undang Republik Indonesia nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pihak yang berkepentingan dengan tinggalan arkeologi harus segera turun tangan untuk menginformasikan cara pelestarian yang benar. Selain itu, dianggap perlu mengubah cara pandang pelestarian yang belum tepat agar dapat mencegah timbulnya masalah baru di masa depan. Participating in an archaeological heritage preservation can be done by anyone, including the community. However, the most important aspect is appropriate participation that will not cause new problems. The study in Tanjungredeb aimed to find out how the preservation operates, to understand the perspective of each archeological stakeholder, and the impact. This research used a descriptive-analytic method with a qualitative approach. Data collection was done by observations, interviews, and document studies. The analysis was conducted by compiling and classifying data to find patterns or themes; thus, their meaning can be understood. Results of the study indicate that there were efforts to preserve archeological remains in the study areas by governments and the communities. However, some preservation practises do not comply with the Constitution of the Republic of Indonesia number 11 of 2010 concerning Cultural Heritage. Therefore, it can be concluded that the parties concerned with archeological remains must immediately mediate to inform the correct method of preservation. Also, it is necessary to change imprecise perspectives of preservation to prevent new problematic matters in the future.
PELESTARIAN TINGGALAN ARKEOLOGI DI TANJUNGREDEB: KONTESTASI ANTARA PRAKTIK DAN REGULASI Wasita; Hartatik; Nugorho Nur Susanto; Ida Bagus Putu Prajna Yogi; Restu Budi Sulistiyo; Fitri Wulandari; Diyah W. Restiyati
Naditira Widya Vol. 14 No. 1 (2020): Naditira Widya Volume 14 Nomor 1 April Tahun 2020
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Partisipasi dalam kegiatan pelestarian tinggalan arkeologi bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk masyarakat. Namun yang lebih penting dari semua itu adalah partisipasi yang tepat dan tidak akan menimbulkan masalah baru. Penelitian di Tanjungredeb ini ditujukan untuk mengetahui bagaimana kegiatan pelestarian, pandangan setiap pemangku kepentingan tinggalan arkeologi, dan dampaknya. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitik dengan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara, dan studi dokumen. Analisisnya dilakukan dengan cara menyusun dan mengklasifikasikan data untuk menemukan pola atau tema, agar dapat dipahami maknanya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada upaya pelestarian tinggalan arkeologi di lokasi penelitian yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat. Namun demikian, sebagian praktik pelestarian itu tidak sesuai dengan regulasi yang telah ditetapkan, yaitu Undang-Undang Republik Indonesia nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pihak yang berkepentingan dengan tinggalan arkeologi harus segera turun tangan untuk menginformasikan cara pelestarian yang benar. Selain itu, dianggap perlu mengubah cara pandang pelestarian yang belum tepat agar dapat mencegah timbulnya masalah baru di masa depan.Participating in an archaeological heritage preservation can be done by anyone, including the community. However, the most important aspect is appropriate participation that will not cause new problems. The study in Tanjungredeb aimed to find out how the preservation operates, to understand the perspective of each archeological stakeholder, and the impact. This research used a descriptive-analytic method with a qualitative approach. Data collection was done by observations, interviews, and document studies. The analysis was conducted by compiling and classifying data to find patterns or themes; thus, their meaning can be understood. Results of the study indicate that there were efforts to preserve archeological remains in the study areas by governments and the communities. However, some preservation practises do not comply with the Law of the Republic of Indonesia number 11 of 2010 concerning Cultural Heritage. Therefore, it can be concluded that the parties concerned with archeological remains must immediately mediate to inform the correct method of preservation. Also, it is necessary to change imprecise perspectives of preservation to prevent new problematic matters in the future.
PENTINGNYA MONUMEN DWIKORA DAN KESEJARAHANNYA Nugorho Nur Susanto
Naditira Widya Vol. 13 No. 2 (2019): Naditira Widya Volume 13 Nomor 2 Oktober Tahun 2019
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pada saat ini jiwa patriotisme dan sifat kepahlawanan cenderung memudar, sedangkan figur dan sosok teladan mulai langka. Dengan demikian perlu kehadiran sosok pengganti yang dapat memberi nuansa peristiwa perjuangan dan kepahlawanan. Sosok berupa aspek bendawi itu dapat berupa tugu peringatan atau monumen. Monumen ini walaupun dibuat lebih kemudian diharapkan dapat mewakili semangat dan keteladanan. Melalui metode induktif dengan mengkompilasikan sumber sejarah dan bukti-bukti arkeologi yang lain, diungkapkan peristiwa dan makna masa lalu tersebut. Penelitian ini dilakukan untuk menggali nilai penting aspek ideologis dari tinggalan arkeologi berupa monumen Dwikora. Penelitian ini dapat membantu kita untuk mengungkapkan, menjelaskan, dan mendesain ulang peristiwa masa lalu. Di daerah perbatasan selain masalah ekonomi, ada persoalan yang tak kalah mendesak, yaitu nasionalisme. Monumen Dwikora di Nunukan, Kalimantan Utara, hampir musnah karena terdesak oleh perbedaan kepentingan, demikian pula kisah sejarahnya. Deskripsi kasus di Nunukan ini dihadirkan dalam upaya penanganan dan menakar nilai penting suatu cagar budaya.Today the soul of patriotism and the nature of heroism tends to fade, while figures and role models are becoming scarce. Thus, it is necessary to have a substitute figure that can give the nuances of the struggle and heroism. The figure in the form of material aspects can be a monument or monument. The monument although made later is expected to represent enthusiasm and example. Through the inductive method by compiling historical sources and other archeological evidence, the events and meanings of the past are revealed. This research was conducted to explore the importance of the ideological aspects of the archeological remains of the Dwikora monument. This research can help us to express, explain, and redesign past events. In border areas besides economic problems, there is a problem that is no less urgent, namely nationalism. The Dwikora monument in Nunukan, North Kalimantan, was almost destroyed because it was pressured by differences in interests, as did its historical story. A description of the case in Nunukan needs to be presented in an effort to handle and measure the importance of a cultural property.
TOPONIMI BENTENG PENGARON DAN PERISTIWA AWAL PERANG BANJAR Nugorho Nur Susanto
Naditira Widya Vol. 12 No. 2 (2018): Naditira Widya Volume 12 Nomor 2 Oktober Tahun 2018
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Toponimi ‘benteng’ merupakan nama desa di wilayah Kecamatan Pengaron, in Kalimantan Selatan. Toponimitersebut diyakini berhubunan dengan keberadaan benteng Belanda ‘Pengaron’ yang diakui sebagai lokasi awal meletusnyaperang Banjar atau perang Barito. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan kembali kawasan Benteng Pengaron yang asli. Penelitian ini menggunakan metode induktif-deskriptif dan teknik pengumpulan data melalui survei, ekskavasi, dan wawancara. Hasil ekskavasi berupa dua struktur bata yang merupakan bagian dari fondasi rumah. Selain bukti-bukti arkeologis berupastruktur bangunan yang menguatkan hubungan toponimi dan Benteng Pengaron, masih perlu dilakukan kajian arsip tua atau sumber tertulis yang mendukung keeratan hubungan tersebut.The toponym ‘benteng’ is a name of a village in Kecamatan Pengaron, in Kalimantan Selatan. The toponym is suggested to be associated with the existence of the Dutch fortress ‘Pengaron’ which is recognized as the location of the initial outbreak of the Banjar or Barito War. This study aims to rediscover the original Pengaron fort area. This study uses inductive-descriptive methods and data collection techniques by surveys, excavations and interviews. The excavation yielded two brick structures that are parts of a house foundation. Besides the archaeological evidence of building structures that strengthen the relationship between the toponym and Pengaron fort, it is necessary to undertake a study on old archives or written resources that supports the strong relationship between both data.
REKONSTRUKSI BENTUK DAN FUNGSI STRUKTUR SUMUR PUTARAN PADA TAMBANG BATU BARA ORANJE NASSAU PENGARON Ulce Oktrivia; Nugorho Nur Susanto
Naditira Widya Vol. 10 No. 2 (2016): Naditira Widya Volume 10 Nomor 2 Oktober Tahun 2016
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Sumur Putaran adalah sebutan masyarakat untuk struktur bata yang terletak di Kecamatan Pengaron, Kabupaten Banjar. Struktur ini diduga merupakan sebuah bangunan yang tersisa dari tambang batu bara Oranje Nassau Pengaron. Penelitian yang telah dilakukan di lokasi ini belum dapat menjawab secara pasti bentuk asli dan fungsi dari struktur ini padamasa lalu. Berdasarkan hal tersebut, tulisan ini bertujuan untuk mengetahui bentuk dan fungsi struktur Sumur Putaran. Tambang batu bara pada umumnya memiliki beberapa bangunan utama, yaitu sebuah kantor, rumah sakit, dapur, dan rumah pekerja. Selain itu, untuk tambang bawah tanah, pada umumnya juga dilengkapi dengan kipas berukuran besar yang berfungsi mengatur sirkulasi oksigen untuk pernapasan bagi pekerja dan mengurangi efek berbahaya akibat ledakan. Pemahaman sejarah batu bara Oranje Nassau, sangat penting dan strategis. Hal ini tidak saja terkait dengan teknologi yangditerapkan, namun menyangkut juga pada hegemoni dan keberlangsungan Kesultanan Banjar. Tulisan ini menggunakan metode deskriptif-komparatif. Data di lapangan akan dibandingkan dengan hasil penelusuran pustaka berupa arsip, foto, dan gambar. Penerapan metode ini menghasilkan asumsi bahwa terdapat beberapa fungsi bangunan yang ada di struktur Sumur Putaran. Fungsi yang pertama adalah sebagai rumah kipas untuk ventilasi, fungsi yang kedua sebagai rumah mesin, dan yang ketiga sebagai derek atau crane untuk mengangkat batu bara atau manusia dari dalam tambang yang terletak di bawah tanah. ‘'Sumur Putaran' is local people predicate for brick structure located in District Pengaron, Banjar Regency. The structure was allegedly as coal mining remnant, Oranje Nassau Pengaron. Research has been done in this location still can not answer the original form and function of the structure. Therefore, this paper aims to determine the shape and function of the "Sumur Putaran" structure. Generally, coal mining has several main building such as an office, hospital, kitchen, collier barracks. Underground mining is also equipped with a large-sized fan that serves to regulate the circulation of oxygen for coalman breathing and to reduce the harmful effects of blast. Understanding the history of coal miningOranje Nassau is a very important and strategic. This is not only related to the applied technology, but also the hegemonyand sustainability of the Banjarese Sultanate. This paper used a descriptive-comparative method. The data in the fieldwere compared with the literature search results in the form of archives, photographs and drawings. The application of thismethod resulted in the assumption that there are some functions of existing buildings in "Sumur Putaran". The functions are as home ventilation fan, home machine, and a crane to lift coal or human from basement.
LAPANGAN TERBANG BELANDA DI MELAK-SENDAWAR SEBAGAI PERTAHANAN UDARA KALIMANTAN TIMUR Nugorho Nur Susanto
Naditira Widya Vol. 9 No. 2 (2015): Naditira Widya Volume 9 Nomor 2 Oktober Tahun 2015
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Salah satu lapangan terbang yang menarik untuk diteliti di wilayah Kalimantan Timur adalah lapangan terbang yang dibangun oleh Belanda di Melak-Sendawar. Artikel dengan tujuan untuk mendeskripsi peninggalan arkeologi di lapangan terbang tersebut akan menggunakan metode induktif interpretatif. Hasil kajian menunjukkan bahwa lapangan terbang dibangun sebagai antisipasi menghadapi invasi Jepang. Hal tersebut terlihat pada keberadaan landasan pacu ganda yang dikelilingi oleh sarana dan prasarana pendukung seperti kantor pusat komando, pillbox, gudang peluru, bunker, penjara, penampungan air, gardu listrik, jaringan jalan, bahkan rumah sakit. Fasilitas tersebut menggambarkan adanya strategi untuk mempertahankan Kalimatan Timur yang kaya akan sumber mineral. Disimpulkan bahwa keberadaan bandara Melalan dengan prasarana pendukungnya menunjukkan strategi pertahanan yang terencana dan matang (dapat menjadi model pertahanan nasional yang kokoh). Bandara yang juga sebagai Pangkalan Samarinda II ini juga pernah berperan dalam persiapan operasi “Ganyang Malaysia” semasa konfrontasi pada tahun 1964. There is an interesting airport bulit by Dutch to be considerable studied in Melak-Sendawar, East Kalimantan Province. The paper with aim to describe archaeological data at the airport uses inductive interpetatif method. The result shows that the airport has been built to anticipate the Japanese invasion. That are supported by the existence of double runway surrounded by facilities such as command center office, pillboxes, arsenals, bunkers, prisons, water storages, electrical substations, roads, and hospitals. Those infrastructures represented a strategy to harbor East Kalimantan which has ample of mineral resources. It is concluded that the existence of Melalan airport and surrounding fasilities are evincing of planned air defense (could be a model of sturdily national defence). This airport which was also called as Samarinda II airfield had a role in preparation of “Ganyang Malaysia” operation during confrontation in 1964.