Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

Tinjauan tentang Cacat Badan atau Penyakit Sebagai Alasan Perceraian dalam Praktik di Pengadilan Agama Dihubungkan dengan Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam Zahrah Ramadhanti Kusumah, Asrifa; Daru Nugroho, Bambang; Rachmainy, Linda
COMSERVA : Jurnal Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Vol. 3 No. 12 (2024): COMSERVA : Jurnal Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
Publisher : Publikasi Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59141/comserva.v3i12.1275

Abstract

Kadangkala suami istri gagal mewujudkan kedamaian dalam rumah tangga, sehingga jalan terakhir yang mereka tempuh adalah dengan perceraian. Salah satu alasan untuk mengajukan perceraian adalah apabila salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit seperti dalam Putusan Pengadilan Agama Cimahi Nomor 931/Pdt.G/2020/PA.Cmi dan Putusan Pengadilan Agama Bandung Nomor 442/Pdt.G/2022/PA.Bdg, namun, hakim kerap menjatuhkan putusan pada kasus perceraian yang dilatarbelakangi oleh cacat badan atau penyakit dengan alasan perselisihan dan pertengkaran. Adapun penelitian ini bertujuan untuk memahami cacat badan atau penyakit yang dapat dijadikan sebagai alasan perceraian di Pengadilan Agama dan menentukan bagaimana pertimbangan hukum terhadap perselisihan dan pertengkaran terus menerus yang dilatarbelakangi cacat badan atau penyakit sebagai alasan perceraian ditinjau dari Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Penulisan skripsi ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dengan spesifikasi penelitian yakni berupa deskriptif analitis. Metode ini didasarkan pada penelitian kepustakaan untuk mendapatkan data sekunder di bidang hukum yang dilengkapi dengan studi lapangan melalui wawancara dengan narasumber. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hakim menilai adanya kewajiban biologis yang tidak dijalani. Kebutuhan biologis di sini dapat terhalangi apabila salah satu pihak menderita impoten atau kista, maka apabila pemenuhan nafkah batin oleh suami kepada istri ataupun sebaliknya tidak tercapai, dengan alasan tersebut hubungan rumah tangga mereka dapat retak dan menyebabkan adanya perselisihan atau pertengkaran terus menerus. Pertimbangan hakim untuk tidak menggunakan Pasal 19 huruf e PP No. 9 Tahun 1975 atau Pasal 116 huruf e KHI karena karena dinilai tidak sesuai dengan moral dan cacat badan atau penyakit hanya sebagai alasan dari perselisihan atau pertengkaran terus menerus
Dinamika Hukum Perkawinan Adat Pada Sistem Kekerabatan Parental/Bilateral Terhadap Masyarakat Sunda Karwiyah, Karwiyah; Daru Nugroho, Bambang; Kusmayanti, Hazar
Recital Review Vol. 6 No. 1 (2024): Volume 6 Nomor 1 Januari 2024
Publisher : Magister Kenotariatan, Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/rr.v6i1.30724

Abstract

This paper provides an overview of the legal dynamics and legal sanctions of customary marriage in the parental/bilateral kinship system against the Sundanese community. The approach method applied is in the form of normative juridical or literature law research. The research specifications used are descriptive analytical. Stages of research with literature research that uses primary legal materials, secondary legal materials, and tertiary legal materials. The data collection method is then carried out through literature studies and observations (observations). The method of data analysis is carried out in a qualitative juridical manner. The results showed that customary marriage law in the parental/bilateral kinship system for Sundanese people, including the Sundanese Community in Karawang Regency, applies kinship relations from husband and wife, and so on until their descendants' children later. The marriage is accompanied by a series of traditional marriage ceremony processions from before to after the marriage contract, although some still follow the whole and some adjust. The practice in the Karawang Regency community that a series of marriage customs if there are things that are considered lacking and not in accordance with the customs that should be sanctioned only comes from the surrounding response.  
Legal Memorandum Tentang Hak Mewaris Anak Tiri Laki-Laki Pada Masyarakat Batak Toba Ditinjau Berdasarkan Hukum Adat Batak Toba Dan Hukum Positif Indonesia Paulus Hutasoit, Yohanes; Daru Nugroho, Bambang; Utarie Nasution, Fatmi
Journal of Comprehensive Science Vol. 1 No. 5 (2022): Journal of Comprehensive Science (JCS)
Publisher : Green Publisher Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59188/jcs.v1i5.165

Abstract

Hukum Adat mengatur mengenai perkawinan, kelahiran, kematian, dan pemberian waris. Masyarakat Adat Batak Toba menganut sistem patrilineal, dimana dalam sistem ini kedudukan anak laki-laki lebih tinggi dari anak perempuan. Namun, dalam kasus yang terjadi pada penulisan ini yaitu dalam suatu keluarga suku Adat Batak Toba yang beragama non muslim (Keluarga Bapak Parsaoran Hutasoit), terdapat anak tiri laki-laki (Bapak Rudolf Lumban Tobing), yang mengklaim memiliki hak waris dari pernikahan ayah tirinya (Bapak Parsaoran Hutasoit), dengan ibu kandungnya (Ibu Delima Nainggolan). Maka penulisan ini ditujukan untuk mengetahui hak waris anak tiri laki-laki pada Masyarakat Batak Toba yang beragama non muslim, berdasarkan Hukum Adat Batak Toba dan Hukum Positif Indonesia (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan). Metode penulisan yang digunakan dalam memorandum hukum (legal memorandum) ini adalah penulisan hukum normatif. Dikarenakan penulisan hukum normatif adalah penulisan hukum yang dilakukan dengan cara meneliti data sekunder. Pada penulisan ini untuk mendapatkan data sekunder atau bahan-bahan hukum Penulis menggunakan Buku, Jurnal, Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen Keempat, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dan hasil wawancara dengan salah satu pihak yang bersengketa beserta dua Tokoh Adat Batak Toba. Berdasarkan penulisan yang diperoleh bahwa menurut Hukum Adat Batak Toba kedudukan anak tiri laki-laki dalam hal mewaris tidak sama dengan kedudukan anak kandung laki-laki. Akan tetapi, kedudukan anak tiri laki-laki hampir sama dengan anak angkat laki-laki. Dikarenakan anak yang diangkat dari perkawinan sebelumnya masuk ke dalam perkawinan ibu atau ayahnya yang baru, merupakan anak yang sah dan di akui dalam lingkungan Masyarakat Adat, dengan cara dilakukan beberapa prosesi Adat. Jika tidak diangkat dilingkungan Masyarakat Adat secara Adat, maka kedudukan anak tiri atau Bapak Rudolf Lumban Tobing tidak memiliki hak mewaris dalam kasus ini. Kedudukan hak waris anak tiri, menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu memiliki hak waris dari harta peninggalan orang tua kandungnya, Pasal 832 dan 852. Kedudukan hak waris anak tiri menurut Undang-Undang Perkawinan No 16 Tahun 2019 yaitu tidak dapat mewaris dari harta peninggalan orang tua tirinya, Pasal 55. Akan tetapi memiliki hak waris dari harta peninggalan orang tua kandungnya, Pasal 29 dan 36 Ayat 2