Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

Gugatan Pembatalan Perkawinan Yang Dinyatakan Tidak Diterima Akibat Penetapan Itsbat Nikah Antara Suami Dengan Istri Kedua Ditinjau Dari UU Perkawinan dan Hukum Acara Perdata (Studi Kasus Putusan Nomor 343/Pdt.G/2023/PTA.Sby) Rambe, Fitri Hanum; Djanuardi, Djanuardi; Rachmainy, Linda
Media Hukum Indonesia (MHI) Vol 2, No 3 (2024): September
Publisher : Penerbit Yayasan Daarul Huda Kruengmane

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.5281/zenodo.12627702

Abstract

Polygamous marriage in Indonesia can be carried out by fulfilling the requirements stipulated in the legislation. However, if these requirements are not met, the marriage can be annulled. The Surabaya High Court Decision No. 343/Pdt.G/2023/PTA.Sby is one such decision regarding a lawsuit for the annulment of a marriage filed by the first wife against her husband's polygamous marriage with the second wife, which was conducted without the consent of the lawful first wife. The decision stated that the lawsuit could not be accepted because the marriage proposed for annulment had already been dissolved due to death. This study aims to understand the basis for the lawsuit to annul the second marriage and the legal consequences on the status of the second marriage from the perspective of the Marriage Law and Civil Procedure Law. The author conducted this research using a normative juridical approach with a descriptive-analytical research specification. Data collection techniques were carried out through literature studies that gathered primary, secondary, and tertiary legal materials. The data analysis method was conducted through a normative qualitative method to address the legal issues in this study. Based on the research results, it can be concluded that the basis for the lawsuit to annul the second (polygamous) marriage did not meet the marriage requirements stipulated in Article 3 paragraph (2) of the Marriage Law, which states that a person engaging in polygamy must have the consent of the parties concerned. Furthermore, the legal consequence of the Surabaya High Court Decision No. 343/Pdt.G/2023/PTA.Sby, which stated that the lawsuit could not be accepted because the marriage had been dissolved due to death, is that the second marriage existed (was valid) along with its legal consequences.
Hambatan Implementasi Upaya Perdamaian Dalam Penyelesaian Perkara Perceraian Di Pengadilan Agama Kota Bandung Ramadanni, Manisha; Kusmayanti, Hazar; Rachmainy, Linda
Jurnal Hukum Malahayati Vol 6, No 1 (2025)
Publisher : Universitas Malayati

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Perdamaian merupakan cara yang sangat baik dalam penyelesaian perkara perdata khususnya pada perkara perceraian, akan tetapi dalam kenyataannya di lapangan tidak selalu berhasil dalam menangani perkara di pengadilan, sebagaimana di Pengadilan Agama Kota Bandung yang mana berdasarkan data statistik putusan pengadilan menunjukan angka perceraian semakin tinggi dari tahun ke tahun. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penyelesaian perkara perceraian, implementasi upaya perdamaian dalam penyelesaian perkara perceraian dan faktor penghambat implementasi upaya perdamaian dalam penyelesaian perkara perceraian di Pengadilan Agama Kota Bandung. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan spesifikasi penelitian deskriptif analitis. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa penyelesaian perkara perceraian dimulai dari upaya perdamaian, pembacaan gugatan, jawaban tergugat, replik, duplik, kesimpulan, musyawarah majelis hakim dan terakhir putusan, implementasi upaya perdamaian dalam penyelesaian perkara perceraian merujuk kepada ketentuan Perma Prosedur Mediasi di Pengadilan dan faktor penghambat implementasi upaya perdamaian dalam penyelesaian perkara perceraian dipengaruhi oleh keinginan para pihak untuk bercerai dan keahlian mediator.
Tinjauan tentang Cacat Badan atau Penyakit Sebagai Alasan Perceraian dalam Praktik di Pengadilan Agama Dihubungkan dengan Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam Zahrah Ramadhanti Kusumah, Asrifa; Daru Nugroho, Bambang; Rachmainy, Linda
COMSERVA : Jurnal Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Vol. 3 No. 12 (2024): COMSERVA : Jurnal Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
Publisher : Publikasi Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59141/comserva.v3i12.1275

Abstract

Kadangkala suami istri gagal mewujudkan kedamaian dalam rumah tangga, sehingga jalan terakhir yang mereka tempuh adalah dengan perceraian. Salah satu alasan untuk mengajukan perceraian adalah apabila salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit seperti dalam Putusan Pengadilan Agama Cimahi Nomor 931/Pdt.G/2020/PA.Cmi dan Putusan Pengadilan Agama Bandung Nomor 442/Pdt.G/2022/PA.Bdg, namun, hakim kerap menjatuhkan putusan pada kasus perceraian yang dilatarbelakangi oleh cacat badan atau penyakit dengan alasan perselisihan dan pertengkaran. Adapun penelitian ini bertujuan untuk memahami cacat badan atau penyakit yang dapat dijadikan sebagai alasan perceraian di Pengadilan Agama dan menentukan bagaimana pertimbangan hukum terhadap perselisihan dan pertengkaran terus menerus yang dilatarbelakangi cacat badan atau penyakit sebagai alasan perceraian ditinjau dari Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Penulisan skripsi ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dengan spesifikasi penelitian yakni berupa deskriptif analitis. Metode ini didasarkan pada penelitian kepustakaan untuk mendapatkan data sekunder di bidang hukum yang dilengkapi dengan studi lapangan melalui wawancara dengan narasumber. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hakim menilai adanya kewajiban biologis yang tidak dijalani. Kebutuhan biologis di sini dapat terhalangi apabila salah satu pihak menderita impoten atau kista, maka apabila pemenuhan nafkah batin oleh suami kepada istri ataupun sebaliknya tidak tercapai, dengan alasan tersebut hubungan rumah tangga mereka dapat retak dan menyebabkan adanya perselisihan atau pertengkaran terus menerus. Pertimbangan hakim untuk tidak menggunakan Pasal 19 huruf e PP No. 9 Tahun 1975 atau Pasal 116 huruf e KHI karena karena dinilai tidak sesuai dengan moral dan cacat badan atau penyakit hanya sebagai alasan dari perselisihan atau pertengkaran terus menerus
Case Study of The Supreme Court Ruling Number: 3002 K/Pdt/2015 On The Validity of Provision of Income Agreement Which Was Made Before Divorce Based On Civil Code Kusmayanti, Hazar; Warapsari, Tri Utami; Rachmainy, Linda
Jurnal Cita Hukum Vol. 7 No. 1 (2019)
Publisher : Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/jch.v7i1.9096

Abstract

Abstract:A legally created agreement applies as law to those who make it. The terms of the validity of an agreement are regulated in Article 1320 of the Civil Code (KUHPerdata). If the terms of the validity of the agreement are not fulfilled, then the legal consequences arising from such agreements can be annulled or null and void. The practice in society can be seen in The Supreme Court Ruling Number 3002 K/PDT/2015, there was married couple who are while in the period of marriage bonds, made agreements in front of the Notary and written down in Notarial Deed Number 72, which content is concerning the demand of child’s living cost for a lifetime, asked by the wife to the husband when the divorce happens later. The Supreme Court Ruling Number 3002 K/PDT/2015 states that the demand of living cost agreement is invalid and can be annulled because it does not meet one of the requirements of the validity of the agreement, which is the lawful reason as regulated in Article 1320 of the Civil Code. The purpose of this study is to know the Supreme Court Ruling on the validity of the demands of living cost agreement and legal consequence of the agreement based on the Civil Code.Keywords: the validity of the demands of living cost agreement, the legal consequence of the agreement Abstrak:Suatu perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Syarat-syarat sahnya suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Apabila syarat-syarat sahnya perjanjian tidak terpenuhi, maka akibat hukum yang ditimbulkan adalah perjanjian tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum. Dalam praktek di masyarakat sebagaimana yang ada pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 3002 K/PDT/2015, terdapat pasangan suami istri yang dalam masa ikatan perkawinan membuat perjanjian di hadapan Notaris dan dituangkan di dalam Akta Notaris Nomor 72, isinya menyangkut tuntutan nafkah hidup untuk anak dan dimintakan selama seumur hidup yang diajukan oleh istri kepada suami apabila kelak terjadi perceraian. Putusan Mahkamah Agung Nomor 3002 K/PDT/2015 menyatakan bahwa perjanjian tuntutan nafkah tersebut tidak sah dan dapat dibatalkan karena tidak memenuhi salah satu syarat sahnya perjanjian yaitu syarat sebab yang halal yang diatur di dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui putusan Mahkamah Agung tentang keabsahan perjanjian tuntutan nafkah dan akibat hukum perjanjian tersebut ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).Kata Kunci: Keabsahan Perjanjian Tuntutan Nafkah, Akibat Hukum Perjanjian Аннотация:Законно созданное соглашение применяется как закон к тем, кто его делает. Условия действия договора регулируются статьей 1320 Гражданского кодекса (KUHPerdata). Если условия действия соглашения не выполнены, то юридические последствия таких соглашений могут быть аннулированы или признаны недействительными. Практику в обществе можно увидеть в Постановлении Верховного суда № 3002 K / PDT / 2015: была супружеская пара, которая находилась в период брачных уз, заключила соглашения с нотариусом и записала в нотариальном акте № 72, какое содержание касается потребности в стоимости жизни ребенка на всю жизнь, которую жена спрашивает у мужа, когда развод происходит позже. Постановление Верховного суда № 3002 K / PDT / 2015 гласит, что соглашение о стоимости жизни недействительно и может быть аннулировано, поскольку оно не соответствует одному из требований срока действия соглашения, что является законной причиной, регулируемой статьей 1320 Гражданского кодекса. Цель данного исследования состоит в том, чтобы узнать постановление Верховного суда об обоснованности требований соглашения о стоимости жизни и правовых последствиях соглашения, основанного на Гражданском кодексе.Ключевые Слова: Обоснованность Требований Договора Прожиточного Минимума, Юридические Последствия Договора
Sex change in multiple gender sufferers is associated with Islamic law and the Population Administration Law Utami, Azalia Rahma; Djanuardi, Djanuardi; Rachmainy, Linda
Enrichment: Journal of Multidisciplinary Research and Development Vol. 1 No. 6 (2023): Enrichment: Journal of Multidisciplinary Research and Development
Publisher : International Journal Labs

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55324/enrichment.v1i6.56

Abstract

The phenomenon of transsexuality and sex change is still something that is considered taboo or should not be done by Indonesian society, the reason is because our country upholds religious values, traditions and eastern values adopted by society. Keep in mind that not everyone is born with normal conditions. There are some people who experience gender ambiguity or in medical terms called ambiguous genetalia or sex ambiguity and Islamic jurisprudence studies, this group of people is referred to as khunsa or double gender. The results of this study show that Law Number 23 of 2006 concerning Population Administration opens up opportunities for sex change by submitting a sex change application to the court so that the event can be recorded at the relevant agency. Judging from Islamic law, Islamic law also allows sex change if done for someone suffering from multiple gender conditions (khuntsa) as a form of treatment as stipulated in Fatwa No. 03/MUNASVIII/MUI/2010.
Penggunaan Saksi Anak Kandung dalam Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Ditinjau Dari Pasal 145-146 Hir Dihubungkan Dengan Pasal 76 Undang-Undang Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam Putri Jelita, Abigail Donda; Rachmainy, Linda; Laela Fakhriah, Efa
COMSERVA : Jurnal Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Vol. 3 No. 08 (2023): COMSERVA : Jurnal Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
Publisher : Publikasi Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59141/comserva.v3i08.1117

Abstract

Pasal 145-146 HIR mengatur mengenai larangan absolut bagi keluarga sedarah dan keluarga semenda dari salah satu pihak menurut keturunan yang lurus untuk menjadi saksi. Namun, terdapat pengecualian dalam Pasal 76 UU Peradilan Agama yang menyatakan bahwa apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan syiqaq, maka untuk mendapatkan putusan perceraian harus mendengarkan keterangan dari saksi yang berasal dari keluarga atau orang terdekat dari suami dan istri tersebut. Pada praktik di pengadilan, timbul permasalahan mengenai penerapan pasal mengenai alat bukti saksi dalam Pasal 145 dan 146 HIR yang dihubungkan dengan Pasal 76 UU Peradilan Agama serta pertimbangan yang digunakan oleh hakim dalam membuat keputusan mengenai permasalahan hukum yang berkaitan dengan saksi anak kandung dalam suatu putusan. Penelitian dilakukan dengan metode yuridis normatif dengan spesifikasi deskriptif analitis yang didukung oleh data sekunder dan data primer melalui studi kepustakaan dan wawancara. Analisis masalah dilakukan secara yuridis kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa, penerapan Pasal 145-146 HIR dalam Putusan Nomor 813/Pdt.G/2020/PA.Bbs di Pengadilan Agama Brebes, pengadilan telah menerima keterangan anak kandung sebagai alat bukti dalam memutuskan perkara perceraian dengan alasan syiqaq. Dalam pertimbangan hakim, dapat menambahkan dasar hukum lain seperti Pasal 76 UU Peradilan Agama yang dapat menguatkan Pasal 145 dan 146 HIR. Terdapat juga perbedaan pandangan di kalangan hakim mengenai penggunaan anak kandung sebagai saksi, namun dalam menjatuhkan suatu putusan, hakim harus selalu mempertimbangkan tujuan hukum sehingga kesaksian anak kandung dapat diterima selama dapat dibuktikan secara konkret mengenai adanya kondisi syiqaq dan selama anak kandung tersebut dalam kondisi kejiwaan yang baik dan telah mencapai usia dewasa.