Claim Missing Document
Check
Articles

Found 9 Documents
Search

MENERJEMAHKAN EKSPRESI DEPRESI REMAJA MENJADI VOLUME KERUANGAN MENGGUNAKAN TEORI SEQUENCE OF EVENTS Giffari, Ryan; Teh, Sidhi Wiguna
Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa) Vol. 6 No. 1 (2024): APRIL
Publisher : Jurusan Arsitektur dan Perencanaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/stupa.v6i1.27486

Abstract

The adolescent phase is a phase of self-discovery and identity development to enter a certain social sphere. The phenomenon that occurs in this adolescent phase is that many adolescents experience depression due to self-discovery and inappropriate decision making. The lack of a place in the form of a free environment as a place to mingle with friends and get emotional support and a place of escape from a toxic environment, it requires novelty to the function of space that adjusts the mental condition of adolescents both psychologically and socially, therefore this research raises the issue of spatial sequence for depressed adolescents. The function of the space is developed with spatial elements translating the mental expression of adolescents and used as an interactive element as a form of understanding adolescents. The research method uses a descriptive method that describes literature studies collected qualitatively and quantitatively either through journals, books, articles, experiences, research results, or questionnaires. Sequence of Events as a design method translates the narrative taken through a movie montage which is converted into a spatial volume with Luigi Moretti's theory. The result of the design is the volume of space that affects the spatial experience of the narrative space formed by the montage. Narrative space uses architectural elements to translate the size and scale used to fulfill a unique and interactive spatial experience that encourages teenagers to understand their mental state well. Keywords: adolescent depression, montage, narrative space, psychosocial Abstrak Fase remaja merupakan fase mencari jati diri dan mengembangkan identitas untuk masuk ke lingkup sosial tertentu. Fenomena yang terjadi pada fase remaja ini adalah banyak remaja yang mengalami depresi karena pencarian jati diri dan pengambilan keputusan yang kurang tepat. Kurangnya wadah berupa lingkungan yang bebas sebagai tempat bercengkerama bersama teman dan mendapatkan emotional support serta tempat pelarian dari lingkungan yang toxic, maka dibutuhkan kebaruan terhadap fungsi ruang yang menyesuaikan kondisi mental remaja baik secara psikis maupun sosial, karena itu penelitian ini mengangkat isu spatial sequence untuk remaja yang depresi. Fungsi ruang dikembangkan dengan elemen keruangan menerjemahkan ekpresi mental remaja dan dijadikan elemen interaktif sebagai salah satu bentuk pemahaman remaja. Metode penelitian menggunakan metode deskriptif yang menjabarkan studi literatur yang dikumpulkan secara kualitatif maupun kuantitatif baik melalui jurnal, buku, artikel, pengalaman, hasil riset, atau kuisioner. Sequence of Events sebagai metode perancangan menerjemahkan narasi yang diambil melalui montase sebuah film yang diubah menjadi volume keruangan dengan teori Luigi Moretti. Hasil perancangan adalah volume ruang yang mempengaruhi pengalaman keruangan dari narrative space yang terbentuk oleh montase tersebut. Narrative space menggunakan elemen arsitektural untuk menerejemahkan ukuran dan skala yang digunakan untuk memenuhi pengalaman keruangan yang unik dan interaktif sehingga mendorong keingin remaja memahami kondisi mentalnya dengan baik.
MENCIPTAKAN ARSITEKTUR FUNGSIONALIS PADA PENYANDANG TUNANETRA Yaptan, Alvin Osvaldo; Teh, Sidhi Wiguna
Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa) Vol. 6 No. 1 (2024): APRIL
Publisher : Jurusan Arsitektur dan Perencanaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/stupa.v6i1.27487

Abstract

The daily challenges faced by people with disabilities, particularly people with visual impairments, are significant in urban areas. research shows that vision is the most important aspect for all human beings, affecting their quality of life and access to education, employment, and health services among others. Although there are many visually impaired people in indonesia, the infrastructure in urban areas is still inadequate to meet the navigation needs of people with disabilities. Blindness and visual impairment are still a low priority in the healthcare system. Overcoming such problems requires an in-depth understanding of the needs of visually impaired people. one solution to addressing urban infrastructure issues for visually impaired people is through architectural design that considers physical accessibility, social support, and appropriate technology to help them move and navigate more independently. in addition, educating the public about visual disabilities, both positive and negative, is key to building a more inclusive society. This is so that even if appropriate infrastructure is created but the community lacks knowledge, it will not last long. By creating architectural designs that support the mobility of visually impaired people and educating the public, we can pave the way for a society that is more welcoming to diversity and the rights of visually impaired people. Keywords: community; disabilities; infrastructure; priority; visual impairments Abstrak Tantangan sehari-hari yang dihadapi oleh penyandang disabilitas, khususnya penyandang disabilitas indera penglihatan, merupakan hal yang signifikan di wilayah perkotaan. Penelitian menunjukkan bahwa  penglihatan adalah aspek terpenting bagi seluruh manusia, yang mempengaruhi kualitas hidup dan akses mereka terhadap pendidikan, pekerjaan, dan layanan Kesehatan dan yang lain - lainnya. Meskipun terdapat banyak penyandang tunanetra di wilayah Indonesia, infrastruktur – infrastruktur didalam perkotaan masih belum memadai untuk memenuhi kebutuhan navigasi para penyandang disabilitas. Masalah kebutaan dan gangguan penglihatan masih menjadi prioritas yang cukup rendah dalam sistem layanan Kesehatan. Dalam mengatasi permasalahan seperti ini memerlukan pemahaman mendalam terhadap kebutuhan – kebutuhan bagi para penyandang tunanetra. Salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan infrastruktur di perkotaan untuk para penyandang tunanetra yaitu dari desain arsitektur yang mempertimbangkan aksesibilitas fisik, dukungan sosial, dan teknologi tepat guna dapat membantu mereka bergerak dan bernavigasi dengan lebih mandiri. Selain itu, mengedukasi masyarakat tentang penyandang disabilitas penglihatan, baik positif maupun negatif, adalah kunci untuk membangun masyarakat yang lebih inklusif. Cara ini berguna supaya meskipun sudah terciptanya infrastruktur yang sesuai tetapi masyarakatnya minim pengetahuan juga tidak akan bisa bertahan lama. Selain itu hal ini bertujuan untuk menciptakan desain arsitektur yang mendukung mobilitas penyandang tunanetra dan mendidik masyarakat, kita dapat membuka jalan bagi masyarakat yang lebih ramah terhadap keberagaman dan hak-hak penyandang tunanetra.
STRATEGI DESAIN DALAM BANGUNAN KOMERSIAL TERINTEGRASI STASIUN KEBAYORAN Meliana, Vania; Teh, Sidhi Wiguna
Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa) Vol. 6 No. 2 (2024): OKTOBER
Publisher : Jurusan Arsitektur dan Perencanaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/stupa.v6i2.30349

Abstract

Kebayoran Lama Utara Subdistrict has various kinds of facilities, for example Kebayoran Lama Market and Kebayoran Station. In the past, this area was a trading center for the surrounding community and continues to grow. Nowadays, the phenomena of physical degradation (changes in building conditions) and land function degradation (changes in trading activities) are starting to occur in this area. As a result, the surrounding commercial buildings experienced a decline and the Kebayoran area began to lose its identity as a trading center area. When a place has no identity, then the place has no sense of place or ties to people. This can be said to be placelessness (Relph, 1976). Based on data and studies, the Kebayoran Lama area is called a placeless place, where the place does not have a sense of place which includes the identity of the place itself. Therefore, architecture exists as an intervention in regional phenomena and issues, one form of which is a design strategy to strengthen the identity of the Kebayoran Lama area. Qualitative research methods supported by primary and secondary data collection were used to obtain this strategy. The research results show that the design strategy that can be implemented is through optimizing the function and redevelopment methods of the Kebayoran Station integrated commercial building. Redevelopment was carried out by dismantling the entire building to optimize the function program. The proposed program functions as a solution to the issue of placeless places and supports regional facilities including supermarkets, department stores, food courts and tenants. Keywords: Kebayoran Lama; placeless; redevelopment; Stasiun Kebayoran Abstrak Kelurahan Kebayoran Lama Utara memiliki berbagai macam fasilitas, contohnya seperti Pasar Kebayoran Lama dan Stasiun Kebayoran. Pada masa lalu, kawasan ini menjadi wilayah pusat perdagangan bagi masyarakat sekitar dan terus berkembang. Pada masa kini, fenomena degradasi fisik (perubahan kondisi bangunan) dan degradasi fungsi lahan (perubahan aktivitas perdagangan) mulai terjadi di kawasan ini. Dampaknya, bangunan komersial di sekitarnya mengalami penurunan dan kawasan Kebayoran mulai kehilangan identitasnya sebagai wilayah pusat perdagangan. Ketika tempat tidak memiliki identitas, maka tempat tidak memiliki sense of place atau ikatan dengan manusia. Hal tersebut dapat dikatakan sebagai placelessness (Relph, 1976). Berdasarkan data dan studi, kawasan Kebayoran Lama disebut dengan placeless place di mana tempat tidak memiliki sense of place yang mencakup identitas dari place itu sendiri. Oleh karena itu, arsitektur hadir sebagai intervensi terhadap fenomena dan isu kawasan, salah satu bentuknya yaitu strategi desain untuk memperkuat identitas kawasan Kebayoran Lama. Metode penelitian kualitatif didukung pengumpulan data primer maupun sekunder digunakan untuk mendapatkan strategi tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi desain yang dapat dilakukan yaitu melalui optimalisasi fungsi dan metode redevelopment bangunan komersial terintegrasi Stasiun Kebayoran. Pembangunan kembali dilakukan dengan membongkar keseluruhan bangunan untuk mengoptimalkan program fungsi. Usulan program fungsi menjadi solusi isu placeless place dan pendukung fasilitas kawasan meliputi supermarket, department store, foodcourt, dan tenant.
PEMAKNAAN KEMBALI MEMORI KOLEKTIF DI SUNDA KELAPA MELALUI OBJEK WISATA SEJARAH DAN EDUKASI DENGAN METODE KONTRAS HARMONIS Tenezu, Felicia; Teh, Sidhi Wiguna
Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa) Vol. 6 No. 2 (2024): OKTOBER
Publisher : Jurusan Arsitektur dan Perencanaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/stupa.v6i2.30912

Abstract

Sunda Kelapa area is the forerunner of the economic driver in Jakarta that has been operating since the 5th century AD and has gone through several eras. More than just being the oldest port in Jakarta, the Sunda Kelapa area is designated as a historical tourist destination to open the knowledge of future generations about the nation's journey. Along with the times, the Sunda Kelapa area has experienced degradation of historical value and collective memory so that it is categorized as a placeless place. This is because the Sunda Kelapa area does not have a 'place' that attracts tourists to explore tourist objects around the area as an issue. The problem caused is the fading of local identity and collective memory, both historically and culturally so that the sense of place attachment to the area is decreasing. The goal is to recall the historical value and collective memory of Sunda Kelapa in an adaptive way without dismissing these values. With the method of harmonious contrast approach, the focus of architectural design emphasizes on creating tension and visual interest as a blend of past and present. The steps used include: 1) data collection, 2) survey, 3) analysis and conclusion. The result of the design is to create a historical and educational tourism environment that is adaptive, interactive, and digitized in an effort to revive historical values and collective memory in the midst of globalization so that the Sunda Kelapa area has a sense of place and identity. Keywords:  degradation; identity; memory; tourism Abstrak Kawasan Sunda Kelapa merupakan cikal bakal penggerak perekonomian di Jakarta yang telah beroperasi sejak abad ke-5 Masehi dan telah melalui beberapa zaman. Lebih dari sekadar sebagai pelabuhan tertua di Jakarta, kawasan Sunda Kelapa ditetapkan sebagai destinasi wisata sejarah untuk membuka pengetahuan generasi mendatang mengenai perjalanan bangsa. Seiring dengan perkembangan zaman, kawasan Sunda Kelapa mengalami degradasi nilai historis dan memori kolektif sehingga dikategorikan sebagai placeless place. Hal ini disebabkan kawasan Sunda Kelapa tidak memiliki ‘place’ yang menarik perhatian wisatawan untuk menjelajahi objek-objek wisata di sekitar kawasan sebagai sebuah isu. Masalah yang ditimbulkan adalah pudarnya identitas lokal dan memori kolektif, baik secara sejarah dan budaya sehingga rasa place attachment pada kawasan semakin menurun. Tujuannya untuk mengingatkan kembali nilai historis dan memori kolektif Sunda Kelapa dengan cara adaptif tanpa menepikan nilai-nilai tersebut. Dengan metode pendekatan kontras harmonis, fokus desain arsitektur menekankan pada terciptanya ketegangan dan visual interest sebagai perpaduan masa lalu dan masa kini. Langkah-langkah yang digunakan antara lain: 1) pengumpulan data, 2) survey, 3) analisis dan kesimpulan. Hasil perancangan untuk menciptakan lingkungan wisata sejarah dan edukasi yang adaptif, interaktif, dan terdigitalisasi dalam upaya meningatkan kembali nilai historis dan memori kolektif di tengah lajunya globalisasi sehingga kawasan Sunda Kelapa memiliki sense of place dan identitas.
MENGHIDUPKAN WISMA DELIMA DENGAN MEMADUKAN KONSEP CO-WORKING DAN CAPSULE HOTEL DI JALAN JAKSA Zhafirah, Althaf; Teh, Sidhi Wiguna
Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa) Vol. 7 No. 1 (2025): APRIL
Publisher : Jurusan Arsitektur dan Perencanaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/stupa.v7i1.33933

Abstract

Jalan Jaksa is one of the iconic areas in Jakarta, known as an international tourist destination for backpackers. Since the 1960s, this area has been a popular choice for budget-conscious travelers, thanks to its strategic location and affordable accommodation prices. One of the iconic accommodations in the area is Wisma Delima, which has been operating for several decades, offering simple yet comfortable lodging for tourists. However, with shifting tourist interests and the emergence of new competition, the popularity of Wisma Delima and similar accommodations has begun to decline. This research aims to explore the factors behind the decline in Wisma Delima's popularity and the historical development of Jalan Jaksa as a backpacker tourism hub. Additionally, this study focuses on transforming Wisma Delima into more than just a capsule hotel by integrating a co-working space that supports flexible work trends, as well as creating a restaurant and bar to cater to the nighttime tourism scene. Through a re-design approach, it is hoped that Wisma Delima can attract more visitors, including both tourists and office workers, and contribute to the local economic growth of the Jalan Jaksa area. Keywords: capsule hotel; co-working space; redesign; wisma delima Abstrak Jalan Jaksa merupakan salah satu kawasan ikonik di Jakarta yang dikenal sebagai tujuan wisata internasional bagi para backpacker. Sejak tahun 1960-an, kawasan ini telah menjadi pilihan utama bagi wisatawan dengan anggaran terbatas, berkat lokasi yang strategis dan harga penginapan yang terjangkau. Salah satu penginapan ikonik di kawasan ini adalah Wisma Delima, yang beroperasi selama beberapa dekade dan menawarkan akomodasi sederhana yang nyaman bagi wisatawan. Namun, dengan adanya pergeseran minat wisatawan dan munculnya kompetisi baru, popularitas Wisma Delima serta penginapan serupa mulai menurun. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi faktor penyebab penurunan popularitas Wisma Delima dan sejarah perkembangan Jalan Jaksa sebagai pusat wisata backpacker. Selain itu, penelitian ini juga berfokus pada pengembangan Wisma Delima menjadi lebih dari sekadar kapsul hotel dengan mengintegrasikan co-working space yang mendukung tren kerja fleksibel, serta menciptakan restoran dan bar untuk mendukung wisata malam. Dengan pendekatan re-desain, diharapkan Wisma Delima dapat menarik lebih banyak pengunjung, termasuk wisatawan dan pekerja kantoran, serta berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi lokal di kawasan Jalan Jaksa.
PERANCANGAN KEMBALI PADA MAL PLAZA SEMANGGI DENGAN PENDEKATAN RE-ARCHITECTURE GUNA PEREMAJAAN FUNGSI Limima, Rafael; Teh, Sidhi Wiguna
Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa) Vol. 7 No. 1 (2025): APRIL
Publisher : Jurusan Arsitektur dan Perencanaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/stupa.v7i1.33934

Abstract

A mall is a place where people can fulfill their needs, from clothing, food, to a daily needs. Moreover, Jakarta is the city with the largest number of malls in Indonesia. As time goes by, the habit of going to the mall has become a culture so it is not surprising that we see new malls always come up. Plaza Semanggi is a shopping center that began operating in 2004. When we compared to surrounding malls, Plaza Semanggi is a mall that targeting the lower middle class and sells many local products. As time went by, Plaza Semanggi increasing until finally it continued to decline and reached its lowest point in the 2019-2024 range. Many factors caused Plaza Semanggi to die. Meanwhile, the surrounding malls have survived and survived to this day, starting from their lack of competition with other malls around them to developer management problems rather than Plaza Semanggi itself. This research aims to restore and revive the shopping center which is right next to the Semanggi interchange by rejuvenating functions that had previously been abandoned into new functions that previously did not exist in the Semanggi Plaza. The Semanggi Plaza area is a very strategic area and is located in the center of Jakarta, filled with offices, business areas and residential areas so it has the potential to become a magnet for the surrounding area. Keywords: decline; rejuvenation; strategic Abstrak Mal merupakan sebuah tempat di mana orang-orang dapat memenuhi kebutuhan mereka, mulai dari sandang, pangan, hingga kebutuhan papan. Terlebih Jakarta menempati kota dengan jumlah mal terbanyak di Indonesia. Seiring berkembangnya zaman, kebiasaan pergi ke mal ini sudah membudaya sehingga tidak heran jika kita melihat selalu ada mal baru yang bermunculan. Plaza Semanggi adalah pusat perbelanjaan yang mulai beroperasi di tahun 2004 silam. Jika dibandingkan dengan mal di sekitarnya, Plaza Semanggi adalah mal dengan kelas sasaran menengah ke bawah dan banyak menjual produk-produk lokal. Seiring waktu berjalan Plaza Semanggi mengalami kenaikan sampai akhirnya terus menurun dan sampai di titik terendahnya di rentang tahun 2019-2024. Banyak faktor yang menyebabkan Plaza Semanggi menjadi mati. Sedangkan mal di sekitarnya bisa tetap hidup dan bertahan sampai saat ini, mulai dari kalah bersaingnya dengan mal lain di sekitarnya hingga permasalahan manajemen pengembang daripada Plaza Semanggi itu sendiri. Penelitian ini bertujuan untuk mengembalikan dan menghidupkan kembali pusat perbelanjaan yang berada tepat di samping simpang susun Semanggi dengan cara melakukan peremajaan fungsi yang sebelumnya sudah ditinggalkan menjadi fungsi baru yang sebelumnya belum ada di Plaza Semanggi tersebut. Area Plaza Semanggi ini adalah area yang sangat strategis dan berada di pusat kota Jakarta, dipenuhi perkantoran, area bisnis, dan pemukiman sehingga sangat berpotensi untuk menjadi magnet bagi area di sekelilingnya.
MERAJUT JARINGAN EKOSISTEM PERIKANAN MUARA ANGKE: STRATEGI PENATAAN INFRASTRUKTUR PERIKANAN DAN BUDIDAYA IKAN BERKELANJUTAN MELALUI PENDEKATAN ARSITEKTUR REGENERATIF Igianto, Edrick; Teh, Sidhi Wiguna
Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa) Vol. 7 No. 2 (2025): OKTOBER
Publisher : Jurusan Arsitektur dan Perencanaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/stupa.v7i2.35600

Abstract

Muara Angke, as one of the main fisheries industrial centers in Jakarta, is currently facing ecosystem fragmentation that disrupts the balance between marine and terrestrial environments. The lack of integration in land-based fisheries infrastructure has not only intensified environmental pollution but also hindered the efficiency of seafood distribution. On the other hand, the degradation of marine ecosystems due to habitat loss and excessive fishing has led to a significant decline in fish populations. This study aims to apply the principles of regenerative architecture as a design approach to restore the ecological balance of coastal fisheries ecosystems, and to develop a spatial system that integrates fisheries activities, waste management, and spatial quality in a sustainable manner to promote ecological and social regeneration. A qualitative research method was used, including literature review, case studies of comparable coastal areas, field surveys in Muara Angke, and interviews with industry actors and local communities. The results indicate that reconfiguring existing infrastructure and implementing sustainable aquaculture systems can effectively restore the balance between marine and terrestrial ecosystems. The findings highlight the importance of creating spatial nodes that reconnect previously fragmented fisheries activities into a unified and cohesive system. The novelty of this research lies in the application of regenerative architecture within the context of the fisheries industry, uniting artificial and natural ecosystems into an integrated spatial framework that simultaneously supports environmental and social sustainability. Keywords:  ecosystem; fishery; integration; muara angke; regenerative architecture Abstrak Muara Angke sebagai salah satu pusat industri perikanan utama di Jakarta kini menghadapi permasalahan fragmentasi ekosistem yang menyebabkan ketidakseimbangan antara wilayah laut dan darat. Ketidakterpaduan infrastruktur perikanan di darat tidak hanya memperburuk pencemaran lingkungan, tetapi juga menghambat efisiensi distribusi hasil laut. Di sisi lain, kerusakan ekosistem laut akibat degradasi habitat dan aktivitas penangkapan ikan yang berlebihan telah menurunkan populasi ikan secara signifikan. Penelitian ini bertujuan untuk menerapkan prinsip arsitektur regeneratif sebagai pendekatan perancangan yang mampu memulihkan keseimbangan ekosistem perikanan secara menyeluruh, serta merancang sistem ruang yang mengintegrasikan aktivitas perikanan, pengelolaan limbah, dan kualitas ruang secara berkelanjutan guna mendorong regenerasi kawasan pesisir dari aspek ekologis maupun sosial. Metode yang digunakan bersifat kualitatif, dengan pendekatan studi literatur, studi kasus pada kawasan pesisir serupa, survei lapangan di Muara Angke, serta wawancara dengan pelaku industri dan masyarakat lokal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penataan ulang infrastruktur eksisting serta penerapan sistem budidaya ikan berkelanjutan dapat mengembalikan keseimbangan antara ekosistem laut dan darat. Temuan utama menyoroti pentingnya penciptaan titik simpul ruang yang mampu merajut kembali aktivitas perikanan yang sebelumnya terfragmentasi ke dalam satu sistem terpadu. Kebaruan dari penelitian ini terletak pada penerapan arsitektur regeneratif dalam konteks industri perikanan, yang menyatukan ekosistem buatan dan alami ke dalam satu kesatuan ruang yang mendukung keberlanjutan lingkungan dan sosial secara bersamaan.
PUSAT MEDITASI REGENERATIF BERBASIS ALAM DI SENTUL: INTEGRASI PEMULIHAN MENTAL DAN KETERHUBUNGAN EKOLOGIS Trimarsela, Amanda; Teh, Sidhi Wiguna
Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa) Vol. 7 No. 2 (2025): OKTOBER
Publisher : Jurusan Arsitektur dan Perencanaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/stupa.v7i2.35601

Abstract

The rapid development of urban environments has led to various negative impacts on human well-being, particularly in the form of sensory overstimulation that contributes to a decline in quality of life. Individuals experiencing mental health issues such as stress, anxiety, and depression are increasingly vulnerable to dense, noisy urban settings that lack green spaces. This background highlights the need for an architectural approach that responds holistically to these challenges. This study aims to design a nature-based meditation center in the Sentul area using a regenerative architectural approach that is ecologically integrated. The main objective is to create a space for mental healing that also functions as a living, adaptive, and sustainable ecological system. The research adopts a qualitative-descriptive method, including literature review, site observation, and site analysis. The theoretical foundation encompasses regenerative architecture principles, bioclimatic design strategies, and psychological approaches related to nature-based therapy and meditation practices. The design focuses on incorporating natural elements such as sunlight, cross ventilation, organic materials, local vegetation, and contemplative circulation flows. The design outcome presents a meditation center that facilitates a calming multisensory experience through the integration of natural elements. The resulting space not only supports personal mental recovery but also functions as part of a regenerative ecological system, strengthening the relationship between humans and nature in a sustainable manner. Keywords: ecological; meditation; mental health; nature; regenerative Abstrak Perkembangan lingkungan urban yang pesat telah menimbulkan berbagai dampak negatif terhadap kesejahteraan manusia, khususnya dalam bentuk overstimulasi sensorik yang berujung pada penurunan kualitas hidup. Individu yang mengalami gangguan kesehatan mental seperti stres, kecemasan, dan depresi semakin rentan terhadap kondisi lingkungan perkotaan yang padat, bising, dan minim ruang hijau. Latar belakang ini mendorong perlunya pendekatan arsitektur yang mampu merespons tantangan tersebut secara holistik. Penelitian ini bertujuan merancang sebuah pusat meditasi berbasis alam di kawasan Sentul dengan pendekatan arsitektur regeneratif yang terintegrasi secara ekologis. Tujuan utama dari perancangan ini adalah menciptakan ruang pemulihan mental yang sekaligus menjadi bagian dari sistem ekologis yang hidup, adaptif, dan berkelanjutan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif-deskriptif, yang mencakup studi literatur, observasi lapangan, dan analisis tapak. Landasan teoritis yang digunakan meliputi prinsip arsitektur regeneratif, desain bioklimatik, serta pendekatan psikologis dalam terapi berbasis alam dan praktik meditasi. Strategi desain difokuskan pada pemanfaatan elemen alami seperti pencahayaan matahari, ventilasi silang, material organik, vegetasi lokal, dan perancangan sirkulasi yang mendukung kontemplasi. Hasil perancangan menghasilkan sebuah pusat meditasi yang memfasilitasi pengalaman multisensorik yang menenangkan melalui integrasi elemen-elemen alami. Ruang yang dihasilkan tidak hanya mendukung pemulihan mental secara personal, tetapi juga berfungsi sebagai sistem ekologis yang regeneratif, memperkuat keterhubungan antara manusia dan alam secara berkelanjutan.
INTEGRASI RUANG LITERASI LINGKUNGAN DAN WISATA PERTANIAN MINA PADI SEBAGAI STRATEGI REGENERASI RUANG HIJAU DI PLUIT Salim, Wilbert; Teh, Sidhi Wiguna
Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa) Vol. 7 No. 2 (2025): OKTOBER
Publisher : Jurusan Arsitektur dan Perencanaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/stupa.v7i2.35602

Abstract

North Jakarta, a city originally known for its swamps, fish ponds, and green spaces, is experiencing massive development. Along with it, the loss of green space and the increase in groundwater use have been occurring. By 2025, the existing green space in Jakarta has only reached 5.3% of the 30% target set by Law No. 26/2007. 30.4% of Jakartans still rely on groundwater as a water source without understanding the risks of flooding and land subsidence. This research aims to address the needs of public green spaces and environmental literacy through regenerative architecture, envisioning a harmonious integration of urban development and nature. The study was conducted qualitatively through data collection techniques that combined observation and secondary references from journals, map publications, statistics, and books. This process was followed with a precedent study of regenerative systems, rice fish, and similar projects as a basis for biophilic design. The results of this study suggest that rice-fish farming offers a viable path to regenerate green spaces. This green space regeneration strategy was driven by its strong alignment with Pluit's historical context, economic feasibility, and community needs. This initiative also integrates rice-fish-based literacy and tourism, which features a net-positive wastewater treatment system. The combination forms a holistic architectural solution regarding the environmental, social, and economic aspects. Keywords: biophilic; literacy; regenerative;rice-fish; tourism Abstrak Pluit, daerah dataran rendah yang dulunya dipenuhi rawa, tambak ikan, dan ruang hijau kini mengalami pembangunan masif. Seiring dengan itu, terjadi penutupan ruang hijau dan penggunaan air tanah secara ekstrem. Hingga 2025, ruang hijau yang ada di Jakarta baru mencapai 5,3 % dari target 30% yang dicanangkan UU No. 26 Tahun 2007. Sebanyak 30,4% masyarakat Jakarta juga masih mengandalkan air tanah sebagai sumber air tanpa memliki pengetahuan soal risiko tindakannya, yakni banjir dan penurunan muka tanah. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menyikapi kondisi fisik Pluit dan kesadaran literasi lingkungan dengan arsitektur regeneratif. Dengan begitu, visi pembangunan dan suasana alam yang selaras dapat tergambarkan. Penelitian ini dilakukan secara kualitatif dengan teknik pengumpulan data yang mengombinasikan observasi dan referensi sekunder seperti jurnal, publikasi peta, statistik, dan buku. Proses ini dilanjutkan dengan studi preseden sistem regeneratif, mina padi, dan bangunan sejenis sebagai landasan rancangan yang memanfaatkan pendekatan biofilik. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa ruang hijau yang hilang dapat diwujudkan kembali dengan pertanian mina padi. Pemilihan opsi tersebut sebagai bentuk regenerasi ruang hijau disesuaikan dengan sejarah, kebutuhan kawasan Pluit, dan kelayakan secara ekonomi. Hal ini didukung dengan ruang literasi dan wisata berbasis mina padi yang dioperasikan dengan sistem pengolahan limbah air yang bernilai positif. Kombinasi tersebut membentuk solusi arsitektur yang holistik terkait lingkungan, sosial, dan ekonomi.