North Jakarta, a city originally known for its swamps, fish ponds, and green spaces, is experiencing massive development. Along with it, the loss of green space and the increase in groundwater use have been occurring. By 2025, the existing green space in Jakarta has only reached 5.3% of the 30% target set by Law No. 26/2007. 30.4% of Jakartans still rely on groundwater as a water source without understanding the risks of flooding and land subsidence. This research aims to address the needs of public green spaces and environmental literacy through regenerative architecture, envisioning a harmonious integration of urban development and nature. The study was conducted qualitatively through data collection techniques that combined observation and secondary references from journals, map publications, statistics, and books. This process was followed with a precedent study of regenerative systems, rice fish, and similar projects as a basis for biophilic design. The results of this study suggest that rice-fish farming offers a viable path to regenerate green spaces. This green space regeneration strategy was driven by its strong alignment with Pluit's historical context, economic feasibility, and community needs. This initiative also integrates rice-fish-based literacy and tourism, which features a net-positive wastewater treatment system. The combination forms a holistic architectural solution regarding the environmental, social, and economic aspects. Keywords: biophilic; literacy; regenerative;rice-fish; tourism Abstrak Pluit, daerah dataran rendah yang dulunya dipenuhi rawa, tambak ikan, dan ruang hijau kini mengalami pembangunan masif. Seiring dengan itu, terjadi penutupan ruang hijau dan penggunaan air tanah secara ekstrem. Hingga 2025, ruang hijau yang ada di Jakarta baru mencapai 5,3 % dari target 30% yang dicanangkan UU No. 26 Tahun 2007. Sebanyak 30,4% masyarakat Jakarta juga masih mengandalkan air tanah sebagai sumber air tanpa memliki pengetahuan soal risiko tindakannya, yakni banjir dan penurunan muka tanah. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menyikapi kondisi fisik Pluit dan kesadaran literasi lingkungan dengan arsitektur regeneratif. Dengan begitu, visi pembangunan dan suasana alam yang selaras dapat tergambarkan. Penelitian ini dilakukan secara kualitatif dengan teknik pengumpulan data yang mengombinasikan observasi dan referensi sekunder seperti jurnal, publikasi peta, statistik, dan buku. Proses ini dilanjutkan dengan studi preseden sistem regeneratif, mina padi, dan bangunan sejenis sebagai landasan rancangan yang memanfaatkan pendekatan biofilik. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa ruang hijau yang hilang dapat diwujudkan kembali dengan pertanian mina padi. Pemilihan opsi tersebut sebagai bentuk regenerasi ruang hijau disesuaikan dengan sejarah, kebutuhan kawasan Pluit, dan kelayakan secara ekonomi. Hal ini didukung dengan ruang literasi dan wisata berbasis mina padi yang dioperasikan dengan sistem pengolahan limbah air yang bernilai positif. Kombinasi tersebut membentuk solusi arsitektur yang holistik terkait lingkungan, sosial, dan ekonomi.