Nurwijayanti, Septi
Unknown Affiliation

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

KEDUDUKAN KPK DALAM TATA NEGARA INDONESIA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2019 Putri, Prila Desita; Nurwijayanti, Septi
Media of Law and Sharia Vol 1, No 3 (2020): June
Publisher : Faculty of Law Universitas Muhamadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (516.729 KB) | DOI: 10.18196/mls.v1i3.9504

Abstract

Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga pemberantas korupsi yang kuat bukan berada di luar sistem ketatanegaraan, tetapi justru ditempatkan secara yuridis di dalam sistem ketatanegaraan karena pilar penegak hukum Indonesia berada dibawah kekuasaan kehakiman menyangkut proses dan tahapan dalam peradilan dan bagian dari prinsip check and balences antara kekuasaan eksekutif dan yudikatif. Ada perubahan kedudukan dan peranan KPK dalam struktur ketatanegaraan Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi Pasal 3, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang melaksanakan tugas pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sesuai dengan Undang-Undang ini. Menurut fungsinya, kedudukan KPK disetarakan dengan Kepolisian dan Kejaksaan dimana Kepolisian dan Kejaksaan termasuk dalam rumpun eksekutif. KPK juga masih bersifat independen dan bebas dari kekuasaan manapun. Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan "kekuasaan manapun" adalah kekuatan yang dapat mempengaruhi tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi atau anggota komisi secara individual dari pihak eksekutif, yudikatif, legislatif, pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi, atau keadaan dan situasi ataupun dengan alasan apapun.
KEDUDUKAN KPK DALAM TATA NEGARA INDONESIA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2019 Putri, Prila Desita; Nurwijayanti, Septi
Media of Law and Sharia Vol 1, No 3: June 2020
Publisher : Faculty of Law Universitas Muhamadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (516.729 KB) | DOI: 10.18196/mls.v1i3.9504

Abstract

Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga pemberantas korupsi yang kuat bukan berada di luar sistem ketatanegaraan, tetapi justru ditempatkan secara yuridis di dalam sistem ketatanegaraan karena pilar penegak hukum Indonesia berada dibawah kekuasaan kehakiman menyangkut proses dan tahapan dalam peradilan dan bagian dari prinsip check and balences antara kekuasaan eksekutif dan yudikatif. Ada perubahan kedudukan dan peranan KPK dalam struktur ketatanegaraan Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi Pasal 3, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang melaksanakan tugas pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sesuai dengan Undang-Undang ini. Menurut fungsinya, kedudukan KPK disetarakan dengan Kepolisian dan Kejaksaan dimana Kepolisian dan Kejaksaan termasuk dalam rumpun eksekutif. KPK juga masih bersifat independen dan bebas dari kekuasaan manapun. Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan "kekuasaan manapun" adalah kekuatan yang dapat mempengaruhi tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi atau anggota komisi secara individual dari pihak eksekutif, yudikatif, legislatif, pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi, atau keadaan dan situasi ataupun dengan alasan apapun.
A Look at Women's Representation in Indonesia After the 2019 Election Mardiah, Adinda Rabiki; Nurwijayanti, Septi
Jurnal Penegakan Hukum dan Keadilan Vol. 6 No. 2 (2025): September
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/jphk.v6i2.25635

Abstract

Women's representation in parliament certainly has an important role. As users of regulations, women also have the same political rights as men. Women's representation has a critical role in increasing community welfare because women, such as problems regarding reproductive health and violence, better understand various issues. However, women's representation in Indonesia, unfortunately, has not reached 30% of the total parliamentarians. Affirmative action in Indonesian politics has been carried out since the 2009 election. Unfortunately, until the 2019 election, women's representation in parliament only reached 21%. The aims of this research is to investigate the post-reform elections and women's representation in parliament after the 2019 elections developed. This research uses normative juridical research that will analyze regulations regarding elections, accompanied by secondary data. The initial result of this study is that the lack of women's representation in Indonesia is caused by various factors, such as political parties' understanding of women's representation as an administrative requirement only and patriarchal culture that is too deeply rooted in Indonesian society that contributes to hindering women's representation in parliament.