Fenomena Catcalling di Indonesia telah menjadi sesuatu yang lazim bagi masyarakat secara umum dan diyakini masuk akal. Lalu masyarakat juga berlagak lumrah seolah-olah mereka tidak memahami dampak terhadap korban catcalling. Sedang definisi catcalling adalah pelecehan ekspresi yang bisa dipahami sebagai tindakan yang menggunakan kata-kata yang eksplisit secara seksual, porno atau genit hingga menggoda dan merayu orang lain yang mengarah pada perasaan tidak nyaman, tidak aman. Catcalling juga termasuk dalam pelecehan non fisik karena terjadi tanpa persetujuan/sukarela. Dalam jurnal ini, penulis memilih menerapkan metode yuridis normatif dengan pendekatan konseptual dan pendekatan peraturan perundang-undangan. Pendekatan konseptual yakni dengan mengkaji teori-teori yang berkaitan dengan penanganan kasus catcalling di Indonesia. Sedang pendekatan peraturan perundang-undangan menganalisis segala aturan yang berkaitan dengan penanganan kasus catcalling di Indonesia. Berdasarkan hasil pembahasan, penulis dapat menyimpulkan bahwa kekosongan standar hukum terkait catcalling memaksa aparat penegak hukum menggabungkan beberapa ketentuan dalam KUHP dan UU No. 44 Tahun 2008. Sejumlah pasal yang dijadikan dasar hukum penanganan kasus catcalling adalah Pasal 281 ayat (2) dan Pasal 315 KUHP serta Pasal 8, Pasal 9, Pasal 34 dan Pasal 35 UU No 44 Tahun 2008 mengenai pornograf. Memang catcalling relevan dengan empat pasal tersebut, namun penerapan Pasal 8, Pasal 9, Pasal 34, dan Pasal 35 sebenarnya juga tidak bisa menjamin kejelasan hukum terhadap tindakan catcalling lantaran pemfokusan keempat pasal tersebut hanyalah melarang menjadikan orang lain sebagai model atau objek tindakan pornografi. Jenis tindakan yang dilarang belum ditentukan dengan tegas dan jelas.