Roshady, Mohammad Ezha Fachriza
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

Gerakan Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi dalam Menolak Agenda Revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tahun 2019 Mohammad Ezha Fachriza Roshady
Jurnal Ilmu Sosial Indonesia (JISI) JISI: Vol. 2, No. 1 (2021)
Publisher : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/jisi.v2i1.22952

Abstract

Abstract. This study analyzed the contributing factors to the failure of the anticorruption civil society coalition movement in rejecting the revision agenda of Law No. 30 of 2002 concerning the Commission for the Eradication of Corruption (KPK Law) in 2019. This study combines Dough McAdam social movement theory (2004) consisting of three approaches, namely the approach of political opportunity structure, the theory of mobilization of resources, the theory of framing process with the framework of explanation of success and inhibiting factors of social movements from David A. Locher (2002). The research method used is qualitative with the primary data source of interview and secondary data processing. This research shows that social movements conducted by the anticorruption civil society coalition are quite difficult until in the end the movement does not succeed in achieving the movement's objectives, because the revision of the KPK Law was successfully passed by the DPR on September 17, 2019. The factors that led to the failure of the anticorruption civil society coalition movement were classified into two, namely external and internal factors of the movement. External factors identified from the findings of this research are also differentiating from previous years that the structure of political opportunity had a major contribution in the failure of social movements conducted by the coalition. It was indicated by various indicators, namely the momentum of agreement between the House of Representatives and the Government; relative unity of all legislatures; The House of Representatives accelerated the process of legislation; and political structures that close the movement's opportunities. Internally, there are resource problems identified; dissocies of community opinion; weaknesses in refuting framing; and less able to convince policymakers. External factors are the dominant cause of the failure of the anticorruption civil society coalition movement to reject the revision of the KPK Law. Keywords: MDGs, Poverty, Hunger, Poverty Reduction. Abstrak. Artikel ini menganalisis faktor penyebab gagalnya gerakan koalisi masyarakat sipil antikorupsi dalam menolak agenda revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) pada tahun 2019. Penelitian ini menggabungkan teori gerakan sosial Dough McAdam (2004) yang terdiri dari tiga pendekatan yaitu pendekatan struktur kesempatan politik, teori mobilisasi sumber daya, teori proses pembingkaian dengan kerangka penjelasan faktor keberhasilan dan penghambat gerakan sosial dari David A. Locher (2002). Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan sumber data primer dari wawancara dan pengolahan data sekunder. Penelitian ini menunjukkan gerakan sosial yang dilakukan oleh koalisi masyarakat sipil antikorupsi cukup sulit hingga pada akhirnya gerakan tersebut tidak berhasil mencapai tujuan gerakan, karena revisi UU KPK berhasil disahkan oleh DPR pada 17 September 2019. Faktor penyebab kegagalan gerakan koalisi masyarakat sipil antikorupsi diklasifikasi menjadi dua, yaitu faktor eksternal dan internal gerakan. Faktor eksternal yang diidentifikasi dari temuan riset ini sekaligus menjadi pembeda dari tahun-tahun sebelumnya bahwa struktur kesempatan politik memiliki kontribusi besar dalam kegagalan gerakan sosial yang dilakukan oleh koalisi hal tersebut diindikasikan melalui berbagai indikator yaitu baru bertemunya momentum kesepakatan antara DPR dengan Pemerintah; solidnya seluruh fraksi partai politik; DPR mempercepat proses legislasi; dan struktur politik yang menutup kesempatan gerakan. Sedangkan dari segi internal, diidentifikasi adanya permasalahan sumber daya; keterbelahan pendapat kelompok masyarakat; kelemahan dalam membantah framing; dan kurang dapat meyakinkan para pemangku kebijakan. Faktor eskternal merupakan yang dominan penyebab gagalnya gerakan koalisi masyarakat sipil antikorupsi menolak revisi UU KPK.Kata Kunci: Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi, Gerakan Sosial, Revisi UU KPK.
Exploring the Role of Religious Leaders and Religious Organizations in Combating Corruption in Indonesia Roshady, Mohammad Ezha Fachriza; Wibowo, Satrio Adjie
Jurnal Sosiologi Reflektif Vol. 18 No. 2 (2024)
Publisher : Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/txjcq141

Abstract

Corruption remains a significant issue in Indonesia, hindering development and governance across various sectors. Despite the strong religious character of Indonesian society, the role of religious leaders in combating corruption has yet to produce substantial results. This study aims to analyze the role and challenges faced by religious leaders in reducing corruption, focusing on their influence in anti-corruption movements at the community level. This research employs a qualitative method with a descriptive approach. Data were collected through literature reviews, interviews, and case studies from religious organizations collaborating with the Corruption Eradication Commission (KPK). Key informants included KPK officials and religious leaders. The findings reveal that while religious leaders possess moral authority and influence within their communities, their involvement in anti-corruption efforts remains limited. The study also identifies several obstacles, such as limited political influence, difficulties in addressing corruption issues, and challenges in effectively communicating anti-corruption messages to the public. Further research is needed to evaluate the long-term effectiveness of religious leaders' involvement and to develop strategies for strengthening their collaboration with state institutions in the fight against corruption. Korupsi tetap menjadi masalah serius di Indonesia yang menghambat perkembangan dan tata kelola di berbagai sektor. Meskipun masyarakat Indonesia dikenal religius, peran pemimpin agama dalam memberantas korupsi belum memberikan dampak yang signifikan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peran dan tantangan yang dihadapi pemimpin agama dalam upaya mengurangi korupsi, dengan fokus pada pengaruh mereka terhadap gerakan anti-korupsi di tingkat masyarakat. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Data dikumpulkan melalui tinjauan literatur, wawancara, dan studi kasus dari organisasi keagamaan yang bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Informan utama mencakup pejabat KPK dan pemimpin organisasi keagamaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun pemimpin agama memiliki otoritas moral dan pengaruh dalam komunitas mereka, keterlibatan mereka dalam upaya pemberantasan korupsi masih terbatas. Penelitian ini juga mengidentifikasi berbagai hambatan, seperti keterbatasan pengaruh politik, kesulitan dalam memahami isu korupsi, dan tantangan dalam menyampaikan pesan anti-korupsi agar dapat diterima dengan baik oleh masyarakat luas. Penelitian lanjutan diperlukan untuk mengevaluasi efektivitas jangka panjang dari keterlibatan pemimpin agama serta mengembangkan strategi untuk meningkatkan kolaborasi mereka dengan lembaga negara dalam pemberantasan korupsi.
Strategi Advokasi Masyarakat Sipil dalam Mendesak Pembatalan Revisi Regulasi Komisi Pemberantasan Korupsi Mohammad Ezha Fachriza Roshady; Sri Budi Eko Wardhani
Journal of Political Issues Vol 3 No 1 (2021): Journal of Political Issues (February - July)
Publisher : Jurusan Ilmu Politik Universitas Bangka Belitung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33019/jpi.v3i1.54

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan strategi gerakan masyarakat sipil yang tergabung dalam koalisi masyarakat sipil antikorupsi. Penelitian ini menggunakan teori advokasi dari Sheldon Gen dan Amy Conley Wright. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan sumber data primer dari wawancara, dan pengolahan data sekunder dari berbagai berbagai literatur yang relevan dengan penelitian ini. Koalisi masyarakat sipil antikorupsi mengontrol kekuasaan negara dengan menuntut pemerintah dan DPR bertanggung jawab kepada hukum dan publik dengan mendukung KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dengan tidak melemahkan kelembagaan KPK, dan meningkatkan kesadaran publik terhadap isu-isu penting publik melalui advokasi, dalam hal ini wacana UU KPK yang direvisi oleh DPR. Pada tahun 2019 momentum revisi UU KPK berhasil dilakukan DPR bersama Pemerintah sehingga advokasi yang dilakukan oleh koalisi gagal. Koalisi masyarakat sipil antikorupsi mengadopsi strategi advokasi dengan memperkuat sebuah koalisi besar, melobi pengambil kebijakan, melakukan kajian akademik, dan pelabelan, pemberitaan media, dan melibatkan serta memobilisasi publik dalam melakukan gerakan. Dari kelima strategi advokasi tersebut, pada akhirnya memiliki sisi kekuatan dan kelemahan untuk melakukan sebuah gerakan sosial dalam mempengaruhi kebijakan revisi UU KPK yang namun pada akhirnya strategi advokasi yang dilakukan oleh koalisi masyarakat sipil antikorupsi tidak berhasil mempengaruhi para pemangku kebijakan dan pada tahun 2019, UU mengenai KPK telah direvisi pada 17 September 2019.