Kristiantoro, Sony
Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga

Published : 12 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 12 Documents
Search

Spiritualitas Doa Kontemplatif: Lebih Banyak Diseminarkan Daripada Dipraktikkan (Belajar Dari Praktik Spiritualitas Doa Kontemplatif Model Taize di Gereja Kristen Indonesia Soka Salatiga) Kristiantoro, Sony
Veritas Lux Mea (Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen) Vol 2, No 2 (2020)
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Kanaan Nusantara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (285.434 KB) | DOI: 10.59177/veritas.v2i2.87

Abstract

There are various definitions of prayer, including prayer as a breath of life for believers, and prayer as a means of communicating with God. However, not many of us understand about contemplative prayer. Contemplative prayer is a form of spiritual discipline, and many Christians lack of discipline. As a result of this lack of discipline in spirituality, they become lacking in spiritual insight, often even losing moral strength. Contemplative prayer is more often be discussed in seminars than practiced. Seminars are certainly necessary, but it is more important to practice the discipline of prayer in the lives of believers. For this reason, this article will try to explore the practice of contemplative prayer in the Indonesian Christian Church (GKI) in the city of Salatiga, as well as the forms of prayer spirituality that they practice and possess.AbstrakAda berbagai definisi tentang doa, di antaranya adalah doa sebagai nafas hidup bagi orang percaya, dan doa sebagai sarana berkomunikasi dengan Tuhan. Namun, tidak banyak dari kita yang memahami tentang doa kontemplatif. Doa kontemplatif merupakan salah satu bentuk disiplin spiritual, dan banyak orang Kristen yang kurang dalam disiplin. Akibat kekurangan disiplin dalam spiritualitas ini, mereka menjadi kekurangan wawasan spiritual, bahkan sering kehilangan kekuatan moral. Doa kontemplatif lebih sering diseminarkan daripada dipraktekkan. Seminar tentu perlu, tetapi lebih penting mempraktekkan disiplin doa dalam hidup orang percaya. Untuk itu, tulisan ini akan mencoba mengupas praktik doa kontemplatif di Gereja Kristen Indonesia (GKI) di kota Salatiga, serta bentuk spiritualitas doa yang mereka jalankan dan miliki.
Fungsi Agama Bagi Komunitas Pendidik Non Pendidikan Agama Kristiantoro, Sony
Veritas Lux Mea (Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen) Vol 2, No 1 (2020)
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Kanaan Nusantara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (268.462 KB) | DOI: 10.59177/veritas.v2i1.73

Abstract

It is possible not to read too much about the function of religion, including for clergy and educators. This paper elaborates the function of religion based on John Saliba's book. Saliba classifies religious functions into five classifications: Explanation, Emotional, Social, Validation, and Adaptive. Research on educators (teachers and lecturers) who are not teaching in the field of Religious Education, seeks to photograph and map the extent to which they experience religion, especially Christianity, in their lives as individuals and as members of the community. Finally, through the interview data processing it was found that religion for them (the educators) turned out to be the most dominant Validation function, although other functions also appeared. Surprisingly, adaptive functions do not appear in their answers. Does that mean the adaptive function is not important? Furthermore, how does the church respond to these diverse religious functions? These questions will be answered in this paper. Ada kemungkinan tidak terlalu banyak membaca tentang fungsi agama, termasuk bagi kaum rohaniwan maupun pendidik. Tulisan ini mengelaborasi fungsi agama berdasarkan buku John Saliba. Saliba membuat pengklasifikasian fungsi agama menjadi lima klasifikasi: Eksplanasi, Emosional, Sosial, Validasi, dan Adaptif. Penelitian terhadap para pendidik (guru dan dosen) yang bukan mengajar bidang Pendidikan Agama, berusaha untuk memotret dan memetakan sejauh mana mereka menghayati agama, khususnya Kristen, di dalam kehidupan mereka sebagai pribadi dan sebagai anggota masyarakat. Akhirnya, melalui pengolahan data hasil wawancara didapati kenyataan bahwa agama bagi mereka (para pendidik) ternyata fungsi Validasi nampak paling dominan, meskipun juga nampak fungsi-fungsi lain. Yang mengejutkan, fungsi adaptif tidak muncul dalam jawaban mereka. Apakah itu berarti fungsi adaptif tidak penting? Selanjutnya, bagaimana gereja menyikapi fungsi-fungsi agama yang beraneka rupa ini? Pertanyaan-pertanyaan ini akan dijawab dalam tulisan ini.
Komodifikasi Agama dalam Holy Land Tour: Sebuah Tinjauan Sosiologi Agama Sony Kristiantoro
DUNAMIS: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani Vol 6, No 1 (2021): Oktober 2021
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Intheos Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30648/dun.v6i1.407

Abstract

Abstract. For almost three decades, the Holy Land Tour (HLT) has become a prima donna for steady economical status Christians. The pastor becomes a central figure as a person who can be entrusted with the task of promoting, being a spiritual guide, so that he gets convenience and benefits both from the HLT Travel Bureau, and from his church members. This paper aimed to examine the role of church pastors in the city of Salatiga who participated in HLT activities, through interviews toward four pastors from various denominations, and also through data obtained from books or journal articles. The results of this study confirmed that HLT can bring goodness and renewal of faith for participants, but it must still be criticized considering the dangers of consumerism and personal pietism that ignore social piety.Abstrak. Sudah hampir tiga dekade, Holy Land Tour (HLT) menjadi primadona bagi kalangan Kristiani dengan status ekonomi yang mapan. Pendeta menjadi sosok yang cukup sentral sebagai orang yang bisa diserahi tugas mempromosikan, menjadi pembimbing rohani, sehingga mendapat kemudahan dan keuntungan baik dari Biro Travel HLT, maupun dari anggota gerejanya. Tulisan ini hendak meneliti peran pendeta gereja yang ada di kota Salatiga yang pernah mengikuti kegiatan HLT, melalui wawancara yang dilakukan kepada empat orang pendeta yang berasal dari berbagai denominasi, dan juga melalui data yang didapatkan dari buku ataupun artikel jurnal. Hasil penelitian ini menegaskan bahwa HLT bisa membawa kebaikan dan pembaharuan iman bagi peserta, namun tetap harus dikritisi mengingat bahaya konsumerisme dan pietisme (kesalehan) personal yang bisa mengabaikan kesalehan sosial.
Spiritualitas Ekologis Abad Pertengahan dan Implikasinya bagi Pemeliharaan Lingkungan Masa Kini Sony Kristiantoro
SOLA GRATIA: Jurnal Teologi Biblika dan Praktika Vol 3, No 1 (2022): SOLA GRATIA: Jurnal Teologi Biblika dan Praktika
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Aletheia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47596/sg.v3i1.184

Abstract

Abstract:  The current ecological crisis is caused by various factors that influence each other, including political, economic, cultural, and religious factors. Religious factors include spirituality that underlies people's behavior in everyday life. This paper is obtained through qualitative research using literature studies and is intended to provide some historical descriptions of ecological spirituality that began to emerge in the Middle Ages. The study results show that the medievals appreciated the earth and God's creation so well. The spirituality lived by the people in the Middle Ages can be an inspiration for us today. So people today do not treat the environment and creation as objects and exploit them to the full, but maintain, green the earth, make them friends, and want to actively participate in making this earth a better place for all.Abstrak: Krisis ekologi pada masa sekarang ini disebabkan oleh berbagai macam faktor yang saling memengaruhi, di antaranya adalah faktor politik, faktor ekonomi, faktor budaya, dan juga faktor agama. Faktor agama di antaranya berupa spiritualitas yang mendasari orang-orang berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Tulisan ini didapatkan melalui penelitian kualitatif dengan memakai studi literatur, dan dimaksudkan untuk memberikan beberapa gambaran historis mengenai spiritualitas ekologis yang sudah mulai muncul pada abad-abad pertengahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa para tokoh pada abad pertengahan ternyata sangat menghargai bumi dan ciptaan Tuhan sedemikian baiknya. Spiritualitas yang dihidupi oleh para ahli pada abad pertengahan itu, dapat menjadi inspirasi bagi tindakan yang dilakukan oleh manusia pada zaman ini, sehingga tidak memperlakukan lingkungan hidup dan ciptaan sebagai objek dan mengeksploitasinya habis-habisan, melainkan memelihara, menghijaukan bumi, menjadikannya sahabat, dan mau berpartisipasi secara aktif dalam menjadikan bumi ini sebagai tempat yang lebih baik bagi semuanya.
Memaksimalkan Peran Gereja Menghadapi Masalah Etis dan Ketidakadilan dalam Bisnis Sony Kristiantoro
EPIGRAPHE (Jurnal Teologi dan Pelayanan Kristiani) Vol 6, No 2: November 2022
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Torsina Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33991/epigraphe.v6i2.355

Abstract

Business people have faced problems since decades ago, and even today, it is an injustice. Business people also face a corrupt bureaucracy that will lead to ethical problems that lead to compromise rather than negotiation. This article finds that the ethical problems faced by business people in the GKI congregation in R city are issues of injustice and dishonesty related to tax issues. Business people get solutions and sources of referrals from outside the church, namely from conscience, association with business partners, and the teachings of the golden rule, which cannot be said to be the absolute property of Christianity because these teachings are also found in the Confucian religion. Only the concept of “the fear of the LORD” was a participant's only reference. The GKI Church, especially the GKI in R city, needs to maximize its role in order to be able to equip the businessmen of its church members to run their businesses properly and responsibly.AbstrakMasalah yang dihadapi oleh pebisnis sejak puluhan tahun lalu, bahkan juga masih dirasakan saat ini adalah ketidakadilan. Pebisnis juga menghadapi birokrasi yang koruptif yang akan memunculkan masalah etis yang berujung pada sikap kompromi daripada negosiasi. Artikel ini menemukan bahwa persoalan etis yang dihadapi pebisnis di jemaat GKI di kota R, adalah persoalan ketidakadilan dan ketidakjujuran berkaitan dengan masalah pajak. Para pebisnis mendapat solusi dan sumber rujukan dari luar gereja, yakni dari hati nurani, pergaulan dengan rekan bisnis, dan ajaran kaidah emas yang tidak bisa dikatakan milik mutlak Kekristenan, karena ajaran ini juga terdapat dalam agama Kong Hu Cu. Hanya konsep ”takut akan Tuhan” yang menjadi satu-satunya rujukan yang dimiliki oleh seorang partisipan. Gereja GKI, khususnya GKI di kota R perlu memaksimalkan perannya supaya mampu membekali pebisnis anggota gerejanya untuk menjalankan bisnisnya dengan baik dan bertanggung-jawab.
"TIDAK PANTAS MENERIMA UANG DARI JENAZAH": Kajian Teori Konsensus dan Resiprositas pada Peristiwa Kematian Sony Kristiantoro
ETNOREFLIKA: Jurnal Sosial dan Budaya Vol. 11 No. 3 (2022): Volume 11, Nomor 3, Oktober 2022
Publisher : Laboratorium Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33772/etnoreflika.v11i3.1551

Abstract

The rites associated with the death ceremony are determined by the thinking behind it, which appears in the actions lived by a particular community. Actions taken can be different in the same event. This research explores the appreciation of the meaning of the death event in Tayeman hamlet, Kopeng Village, Semarang Regency, specifically regarding the act of not providing a funeral box and not wanting to receive funeral money which is a form of sympathy, support and solidarity from the mourners to the grieving family. Even the bereaved family actually entertained the mourners like a party. This interesting phenomenon is studied from the perspective of consensus and reciprocity theory. The method used is descriptive method with a qualitative approach through observation, direct involvement, interviews, and literature study. The results obtained are that the actions of the Tayeman hamlet community emerge through a shared appreciation that takes a long time, is formalized, and is agreed upon, and they still recognize that every human being must give and receive one another in the life they live. Because of that they still respect different customs when they are outside the area, and do not force their local wisdom to be carried out by other communities.
Pelayanan Pencegahan dan Penyembuhan Penyakit di Gereja Sebelum dan Selama Pandemi Covid-19 Sony Kristiantoro
Jurnal Teologi Berita Hidup Vol 5, No 2 (2023): Maret 2023
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Berita Hidup

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.38189/jtbh.v5i2.302

Abstract

So far, one form of service that is usually carried out by the Pentecostal-Charismatic Church (GP-K) is the Healing Ministry, although it still feels a bit foreign to the Mainstream Church (GM). Between the two, there are still quite sharp differences in understanding and practice, which often lead to serious problems. This was seen before and during the Covid-19 pandemic that hit Indonesia. The author will describe a comparison of understanding and practice that occurs in terms of healing services in between the two churches. In addition to conflicts that surfaced, through the Covid-19 Pandemic, churches were also taught to carry out a more complete and integrative type of service in the context of preventing and curing infectious diseases such as Covid-19. So far, in churches, this type of service in the health sector in the form of prevention and healing has not yet become a complete form of service and has not been well integrated. The church can make a good and planned Preventive Service, create or develop a responsible healing theology, form a Team and empower the talents of all members of the congregation to be involved, and how the church becomes a healing community. These things are believed to be an effective means for witnessing and strengthening each other among the congregation during the Covid-19 Pandemic and beyond.ABSTRAKSelama ini satu bentuk pelayanan yang biasa dilakukan oleh Gereja Pentakostal-Kharismatik (GP-K) adalah Pelayanan Penyembuhan (Healing Ministry), walaupun masih agak terasa asing bagi Gereja Mainstream (GM). Di antara keduanya, masih terjadi perbedaan pemahaman dan praktik yang cukup tajam, yang tidak jarang menimbulkan persoalan serius. Hal ini nampak sebelum dan saat Pandemi Covid-19 melanda Indonesia. Penulis memaparkan perbandingan pemahaman dan praktik yang terjadi dalam hal pelayanan penyembuhan di di antara kedua gereja. Selain pertentangan yang muncul ke permukaan, melalui Pandemi Covid-19, gereja juga diajar untuk melakukan jenis pelayanan yang lebih utuh dan integratif dalam rangka pencegahan dan penyembuhan penyakit menular seperti Covid-19 ini. Selama ini di gereja-gereja, jenis pelayanan dalam bidang kesehatan berupa pencegahan dan penyembuhan ini belum menjadi sebuah bentuk pelayanan yang utuh dan belum terintegrasi secara baik. Gereja bisa membuat Pelayanan Pencegahan yang baik dan terencana, membuat atau menyusun teologi penyembuhan yang bertanggungjawab, membentuk Tim dan memberdayakan talenta semua warga jemaat untuk terlibat, dan bagaimana gereja menjadi komunitas penyembuh. Hal-hal tersebut diyakini bisa menjadi sarana efektif bagi kesaksian dan saling menguatkan di antara jemaat pada masa Pandemi Covid-19 dan sesudahnya.
Pelayanan Pencegahan dan Penyembuhan Penyakit di Gereja Sebelum dan Selama Pandemi Covid-19 Sony Kristiantoro
Jurnal Teologi Berita Hidup Vol 5, No 2 (2023): Maret 2023
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Berita Hidup

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.38189/jtbh.v5i2.302

Abstract

So far, one form of service that is usually carried out by the Pentecostal-Charismatic Church (GP-K) is the Healing Ministry, although it still feels a bit foreign to the Mainstream Church (GM). Between the two, there are still quite sharp differences in understanding and practice, which often lead to serious problems. This was seen before and during the Covid-19 pandemic that hit Indonesia. The author will describe a comparison of understanding and practice that occurs in terms of healing services in between the two churches. In addition to conflicts that surfaced, through the Covid-19 Pandemic, churches were also taught to carry out a more complete and integrative type of service in the context of preventing and curing infectious diseases such as Covid-19. So far, in churches, this type of service in the health sector in the form of prevention and healing has not yet become a complete form of service and has not been well integrated. The church can make a good and planned Preventive Service, create or develop a responsible healing theology, form a Team and empower the talents of all members of the congregation to be involved, and how the church becomes a healing community. These things are believed to be an effective means for witnessing and strengthening each other among the congregation during the Covid-19 Pandemic and beyond.ABSTRAKSelama ini satu bentuk pelayanan yang biasa dilakukan oleh Gereja Pentakostal-Kharismatik (GP-K) adalah Pelayanan Penyembuhan (Healing Ministry), walaupun masih agak terasa asing bagi Gereja Mainstream (GM). Di antara keduanya, masih terjadi perbedaan pemahaman dan praktik yang cukup tajam, yang tidak jarang menimbulkan persoalan serius. Hal ini nampak sebelum dan saat Pandemi Covid-19 melanda Indonesia. Penulis memaparkan perbandingan pemahaman dan praktik yang terjadi dalam hal pelayanan penyembuhan di di antara kedua gereja. Selain pertentangan yang muncul ke permukaan, melalui Pandemi Covid-19, gereja juga diajar untuk melakukan jenis pelayanan yang lebih utuh dan integratif dalam rangka pencegahan dan penyembuhan penyakit menular seperti Covid-19 ini. Selama ini di gereja-gereja, jenis pelayanan dalam bidang kesehatan berupa pencegahan dan penyembuhan ini belum menjadi sebuah bentuk pelayanan yang utuh dan belum terintegrasi secara baik. Gereja bisa membuat Pelayanan Pencegahan yang baik dan terencana, membuat atau menyusun teologi penyembuhan yang bertanggungjawab, membentuk Tim dan memberdayakan talenta semua warga jemaat untuk terlibat, dan bagaimana gereja menjadi komunitas penyembuh. Hal-hal tersebut diyakini bisa menjadi sarana efektif bagi kesaksian dan saling menguatkan di antara jemaat pada masa Pandemi Covid-19 dan sesudahnya.
Gereja, Gratifikasi dan Keadilan Sosial: Pemahaman dan Praktik Gratifikasi di Kalangan Pebisnis Anggota Jemaat Gereja Kristen Indonesia (GKI) di Kota Salatiga Sony Kristiantoro
PAX HUMANA Vol 8, No 1 (2021)
Publisher : Yayasan Bina Darma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Persoalan yang berkaitan dengan pengurusan ijin bisnis, dan perlakuan yang dialami para pebisnis anggota gereja dari penyelenggara negara yang dirasakan tidak adil, masih kerap terjadi walaupun mereka sudah mengikuti jalur yang sesuai dengan prosedur. Untuk menghadapi persoalan tersebut, dan demi kepentingan saat ini maupun di masa mendatang, pebisnis mencoba untuk menjalin relasi yang baik dengan penyelenggara negara, melalui tindakan memberikan tanda terima kasih, hadiah, atau kado kepada penyelenggara negara. Tindakan semacam ini menurut Undang Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi, dikategorikan sebagai gratifikasi, salah satu jenis korupsi. Gereja sama sekali tidak berperan untuk mencegah terjadinya gratifikasi. Dalam wawancara terhadap pebisnis anggota gereja GKI, penulis menemukan dalam penelitian bahwa gratifikasi masih dipraktikkan karena adanya pemahaman yang berbeda dari para pebisnis, dan adanya kesulitan dalam hal perijinan, yang menjadi sumber munculnya gratifikasi, selain suap, pungli, maupun pemerasan. Masalah sekitar perijinan menjadi bentuk ketidakadilan sosial terhadap pebisnis. Penulis mengusulkan ”Tri Aksi Keadilan Sosial Melawan Gratifikasi dan Korupsi”, yaitu reformasi personal, reformasi struktural, dan transformasi kultural untuk menghadapi persoalan gratifikasi ini.
Pendidikan Seksualitas kepada Warga Gereja Lanjut Usia: Suatu Tinjauan Psikososial Kristiantoro, Sony
JURNAL TERUNA BHAKTI Vol 5, No 2: Pebruari 2023
Publisher : SEKOLAH TINGGI AGAMA KRISTEN TERUNA BHAKTI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47131/jtb.v5i2.131

Abstract

The issue of sexuality is rarely discussed in the church, except during pre-marital counseling. It is even rarer when discussing sexuality issues related to elderly citizens. The elderly citizens, whoever and whatever the circumstances they face, are social beings and sexual beings. So far, the general assumption states that their problems are related to physical and psychological health and social relations. This is due to declining health, death of spouse and peers, worry, and limited access to meet many people. However, they experience other problems, namely those related to sexual issues. Through interviews, mentoring, observation, and literature studies, the authors found that sex education is also very much needed by the elderly because it affects happiness, health, and good relations between husband and wife. For this reason, the church's role is to help elderly church members through the Elderly Fellowship, Bible Study, Family Fellowship, special events such as Family Month, or providing consulting bureaus by doctors, psychologists, counselors, or other professionals. AbstrakPersoalan seksualitas jarang dibahas di gereja, kecuali pada saat diadakan pembinaan pranikah. Lebih langka lagi ketika membahas persoalan seksualitas yang berkaitan dengan para warga lanjut usia. Para warga lanjut usia, siapa pun dan bagaimana pun keadaan yang mereka hadapi, mereka adalah makhluk sosial sekaligus makhluk seksual. Selama ini anggapan umum menyatakan bahwa persoalan mereka adalah yang berkaitan dengan kesehatan fisik dan psikis, serta relasi sosial. Ini disebabkan oleh kesehatan yang menurun, pasangan hidup dan teman sebaya yang meninggal, kekuatiran, dan terbatasnya akses untuk bertemu banyak orang. Namun, ada persoalan lain yang mereka alami, yaitu yang berkaitan dengan persoalan seksual. Melalui metode wawancara, pendampingan, observasi, dan studi literatur, penulis menemukan fakta bahwa pendidikan seksualitas juga sangat dibutuhkan oleh para warga lanjut usia, karena hal tersebut berpengaruh kepada kebahagiaan, kesehatan, dan relasi yang baik antara suami dan istri. Untuk itu, peran gereja dibutuhkan untuk menolong warga gereja lanjut usia dalam persoalan ini melalui Persekutuan Warga Usia Lanjut, Pemahaman Alkitab, Persekutuan Keluarga, dalam peristiwa khusus seperti Bulan Keluarga, atau menyediakan biro konsultasi oleh dokter, psikolog, konselor, atau profesional lain.