Harimurti, Albertus
Unknown Affiliation

Published : 6 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

Komitmen Organisasi yang Berpihak Subjek: Refleksi Kritis Praktik Organisasi Widiyanto, YB. Cahya; Harimurti, Albertus
Suksma: Jurnal Psikologi Universitas Sanata Dharma Vol 5, No 3 (2024)
Publisher : Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/suksma.v5i3.10177

Abstract

Ketika seseorang membicarakan “organisasi” dalam konteks Psikologi kontemporer, imaji dominan yang muncul adalah suatu perusahaan atau organisasi yang mengakumulasikan kapital. Bahkan dalam Program Studi Psikologi di berbagai universitas di Indonesia, terdapat bidang Psikologi Industri dan Organisasi (PIO). Dalam sejarahnya, PIO dimulai dari Psikologi Industri yang berkembang pada awal abad ke-20. Penyandingan kata “industri” dengan “organisasi” baru muncul sekitar tahun 1970an (Riggio, 2012). Isu-isu yang dibahas pun berkembang, dari motivasi dan perencanaan tujuan, sikap kerja, dinamika kelompok, kekuatan organisasi, pengembangan organisasi, hingga kesejahteraan dan performansi kerja. Dengan kata lain, PIO berupaya untuk mengembangkan organisasi sekaligus manusianya. Namun, apakah mungkin tujuan organisasi benar-benar dapat mewakili tujuan individu? Pertanyaan ini layak dikaji dalam praktik organisasi hari ini, di mana keduanya menjadi entitas yang sering kali berada dalam kondisi berhadapan: subjek individu dan organisasi. Dalam banyak kajian, relasi antara individu dan organisasi lebih sering terjadi pelemahan otonomi individu demi kepentingan organisasi yang semakin kuat (Kahn, 1990). Logika organisasi cenderung meletakkan posisi individu di bawah kepentingan yang dikendalikan oleh owner, atau sesuai dengan “kehendak” organisasinya (Deci et al., 2017). Secara operasional, kepentingan owner, pemilik modal, atau pemberi kerja (employer) ini diterjemahkan ke dalam visi dan misi organisasi, untuk kemudian dipromosikan sebagai rules yang meregulasi individu di dalamya (Akter, 2021). Kepentingan yang mewujud dalam ide-ide besar tentang kemajuan, inovasi, dan efisiensi versi organisasi terkesan jarang mempertimbangkan aspirasi dan makna personal individu dalam posisinya sebagai anggota organisasi (baca: pekerja, buruh, karyawan, atau employee). Dari sudut pandang kritis, perspektif ini mengarah pada suatu bentuk kontrol hegemonik di mana individu dikondisikan untuk menerima dan melaksanakan aturan dan nilai-nilai organisasi tanpa perlu mempertanyakan. Sebagaimana dicatat oleh Lewandowski (2017), organisasi sering menggunakan mekanisme ideologis untuk membentuk nilai identitas individu sebagai karyawan, sebagai bahasa halus untuk mengarahkan mereka seturut dengan tujuan yang ditetapkan oleh korporasi. Jarak individu-organisasi ini dilihat sebagai bagian dari praktik hegemoni. Burrell dan Morgan (1979) mengidentifikasi bahwa sistem organisasi kapitalistik cenderung menciptakan struktur sosial yang membatasi kebebasan individu dan mempromosikan kepentingan organisasi yang dianggap lebih realistis dan mulia dari sekadar nilai-nilai individu yang lebih mendalam, seperti otonomi, kreativitas, dan kebutuhan eksistensi. Cara pikir dan kerja organisasi yang mekanis tersebut rentan menimbulkan alienasi pada level individu; seseorang menjadi terasing dari sistem nilai organisasional yang cenderung bersifat impersonal (Saks, 2019). Alienasi ini menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara kebutuhan psikologis individu terkait makna dan aktualisasi diri dengan rules organisasi yang menekankan pada efisiensi, kepatuhan, dan target pencapaian (Gabriel, 1999). Perlahan tapi pasti, kondisi keterasingan ini dapat mengarah pada kehampaan makna individu (karyawan) sebagai subjek. *** Persyaratan kerja atau job requirement umumnya dianggap “filter” untuk mengundang keterlibatan individu sebagai anggota organisasi. Persyaratan ini menetapkan apa yang diharapkan organisasi dari individu dalam menjalankan fungsinya. Menurut Warr (2007), persyaratan kerja sering kali diformulasikan berdasarkan kebutuhan organisasi yang bersifat fungsional dan objektif. Dalam banyak kasus, persyaratan kerja lebih difokuskan pada efisiensi aktivitas peran dan kerja. Bisa dimaknai bahwa job requirement memiliki kecenderungan organisasi untuk menginstrumentalisasi manusia sebagai sumber daya sesuai dengan kebutuhan dan tujuan yang telah ditetapkan oleh organisasi (Alvesson & Willmott, 1992). Pendekatan terhadap organisasi yang mengutamakan efisiensi seringkali membatasi ruang bagi individu untuk mengekspresikan otonomi, kreativitas, dan kebutuhan personal mereka dalam lingkungan kerja. Sebagai contoh, Edwards (1979) mencatat bahwa struktur pekerjaan yang kaku dan berorientasi pada kontrol menciptakan suatu lingkungan di mana pekerja dipandang lebih sebagai bagian dari “mesin” organisasi, yang dapat dengan mudah dipindah atau digantikan apabila mengalami deklinasi dengan standar kinerja yang ditetapkan. Hal ini sejalan dengan pandangan Marcuse (1964), yang menyoroti bahwa organisasi modern cenderung menyederhanakan manusia menjadi sekadar alat produksi serta mengabaikan emosi mereka. Kritik terhadap praktik mekanis organisasi terarah pada abainya sistem organisasi dalam mempertimbangkan aspek subjektif individu. Pengabaian tersebut berpotensi menciptakan “dehumanisasi” di tempat kerja, di mana karyawan merasa kehilangan makna dan tujuan dalam pekerjaan mereka (Gabriel, 1999). Burrell dan Morgan (1979; Alvesson & Deetz, 2000) menegaskan bahwa praktik-praktik organisasi yang hanya berfokus pada dimensi fungsional mengabaikan potensi unik manusia menjadi alasan bagi terjadinya alienasi pekerja; pekerja menjadi merasa bukan dirinya di tempat kerja. Pada akhirnya, ruang bagi eksplorasi makna individu menemui jalan buntu. Sementara itu, job qualification menjadi syarat kemampuan yang harus dipenuhi calon karyawan agar dapat diterima dalam suatu peran organisasi. Kualifikasi ini menentukan apakah seseorang layak untuk bertugas secara spesifik dalam tata peran organisasi. Sementara keinginan seseorang bergabung dalam organisasi karena berbagai tuntutan hidupnya, tetapi di sisi lain ia cenderung melakukan penyesuaian dengan melakukan banyak hal supaya selaras dengan kriteria kualifikasi tugas. Mempersiapkan wawancara kerja, melatih dan mengerjakan serangkaian tes seleksi, bahkan juga mengumpulkan info sebanyak mungkin tentang organisasi yang hendak dimasukinya untuk membangun skenario impresi positif: individu rela menjadi “yang bukan dirinya” (Ryan & Deci, 2000). Semua diyakini calon karyawan sebagai perjuangan mencari kerja. Sah-sah saja bahwa dalam logika rekrutmen organisasi, kecocokan antara persyaratan kerja dan kualifikasi individu dianggap sebagai mekanisme handal dalam mengintegrasikan seseorang ke dalam organisasi sesuai dengan jargon “right man on right place”. Senyatanya penyesuaian ini mengabaikan dimensi personal dari individu, seperti aspirasi pribadi, tujuan hidup, dan makna eksistensial yang barangkali tiada pernah dipertimbangkan oleh organisasi. Kristof-Brown dkk. (2005) menunjukkan jika kesesuaian antara nilai individu dan organisasi, atau yang dikenal sebagai “person-organization fit,” diyakini akan berkontribusi secara signifikan terhadap kepuasan kerja dan komitmen organisasi. Ketika individu merasa bahwa nilai-nilai mereka sejalan dengan misi dan tujuan organisasi, mereka lebih cenderung untuk terlibat secara aktif dan termotivasi dalam pekerjaan mereka. Sebaliknya, ketidakcocokan nilai ini dapat menimbulkan ketidakpuasan, stres, dan bahkan pengunduran diri, sehingga menciptakan ketidakstabilan dalam hubungan antara individu dan organisasi (Edwards & Cable, 2009). Pada sisi lain, kesesuaian mekanis ini sering kali mengabaikan realitas sosial dan kekuasaan yang ada dalam organisasi. Alvesson dan Willmott (1992) berpendapat bahwa kesesuaian dalam konteks mekanis lebih mungkin adalah proses pencocokan, bukan sebuah kecocokan. Hal ini bisa tampak dari kecenderungan individu yang terpaksa menyesuaikan diri dengan norma dan nilai organisasi karena tuntutan normatif yang lebih besar untuk dapat bekerja, produktif, atau hidup mandiri yang telah dikonstruksi oleh alam pikiran sosial masyarakat yang berpihak pada logika praktis dan materialis (Pelser dkk., 2022). Seleksi bersandar pada kualifikasi dan persyaratan tugas sebagai piranti organisasi merefleksikan bentuk dominasi simbolik, di mana organisasi memiliki akses lebih besar untuk menentukan persyaratan yang diperlukan, sementara calon pekerja menjadi pihak yang berada dalam posisi “harus menyesuaikan” (Campbell, 2009). Dalam konteks ini, gesekan yang disebut sebagai “value incongruence” muncul ketika nilai-nilai individu dan organisasi tidak selaras, yang dapat memengaruhi komitmen dan keterlibatan individu dalam organisasi (Van Vianen, 2018). Pada sisi lain menjalani kualifikasi tugas yang barangkali adalah bukan diri, sangat mungkin pada saatnya individu mengalami persoalan menyesuaikan diri dengan standar organisasi (Gagné & Deci, 2005). Dari ketegangan dan rasa bosan bisa berkembang menjadi “kekosongan eksistensial” di mana individu merasa bahwa apa yang selama ini dilakukan tidak berkontribusi pada kekhasan pribadi karena perbedaan dinamika diri dan organisasi (Gabriel, 1999). *** Nilai dan tujuan individu lebih terkait erat dengan makna kehidupan. Bagi individu, bekerja tidak hanya soal produktivitas atau mencapai tujuan ekonomi, tetapi juga soal menemukan makna yang mendalam dalam aktivitas sehari-hari. Dalam konteks ini, individu mencari cara untuk mengekspresikan diri, memenuhi aspirasi, dan mengejar tujuan yang selaras dengan nilai-nilai inti mereka. Frankl (1963) menyatakan bahwa pencarian makna adalah motivasi dasar bagi manusia. Frankl berargumen bahwa ketika individu menemukan makna dalam hidupnya, mereka akan lebih mampu mengatasi tantangan dalam lingkungan sosialnya. Dalam rangka menemukan makna, salah satu yang ditawarkan oleh Frankl (1980/2019) adalah lewat kerja yang kreatif dan produktif. Di sisi lain, organisasi cenderung berfokus pada tujuan fungsional yang terkait dengan efektivitas dan efisiensi. Dalam upaya untuk mencapai hasil yang optimal, organisasi sering kali merumuskan visi dan misi yang bersifat strategis dan terkadang mengabaikan nilai-nilai pribadi karyawannya. Meyer dan Allen (1991) mengungkapkan bahwa alasan kuat dari karakter impersonal nilai organisasi adalah karena sikap profesionalitas dan cara kerja yang rasional objektif. Profesional dijelaskan dengan alasan bisnis (bukan personal); dan rasional objektif lebih sebagai cara kerja yang teratur, terukur dan tangible. *** Upaya mengatasi potensi ketidakselarasan antara nilai individu dan organisasi diberi istilah “komitmen” yang sering kali digunakan sebagai jembatan untuk memadukannya. Komitmen organisasi didefinisikan sebagai kekuatan psikologis yang mengikat individu pada organisasi dan mengarahkan tindakan mereka agar sesuai dengan tujuan organisasi (Meyer & Herscovitch, 2001). Dalam banyak kasus, komitmen ini dianggap sebagai sarana untuk mencapai sinergi antara individu dan organisasi. Dalam kenyataan praktisnya adalah penting untuk mempertimbangkan apakah komitmen ini benar-benar dihasilkan dari kesepakatan bersama antara organisasi dan individu, atau apakah lebih merupakan produk dari tuntutan organisasi yang diinstitusikan dalam kontrak kerja formal. Komitmen organisasi adalah konsep yang mendorong kepatuhan individu pada segenap rules dan cara kerja organisasi (Al-Jabari & Ghazzawi, 2019). Komitmen lebih sering muncul sebagai tuntutan sepihak dari organisasi. Organisasi cenderung menggunakan kontrak kerja sebagai instrumen untuk menetapkan komitmen formal dari individu. Kontrak ini sering kali mencakup ekspektasi yang jelas mengenai peran dan tanggung jawab individu dalam organisasi. Dilengkapi dengan strategi reward and punishment yang diterapkan untuk memastikan bahwa individu tetap terlibat dalam proses operasional organisasi (Amstrong, 2005; Deci & Ryan, 2000). Misalnya, sistem insentif yang berfokus pada pencapaian hasil yang terukur dapat menciptakan tekanan tambahan pada individu untuk beradaptasi dengan tujuan organisasi. Deci dan Ryan (2000) menegaskan bahwa penggunaan strategi ini dapat menyebabkan individu merasa termotivasi secara ekstrinsik, tetapi bukan karena mereka terlibat secara emosional atau menemukan makna dalam pekerjaan mereka. Lebih jauh lagi, ketika komitmen dihasilkan melalui kontrak kerja dan strategi motivasi yang bersifat eksploitatif, individu mungkin mengalami “burnout” atau kelelahan emosional, yang berpotensi mendatangkan problem kesehatan mental (Maslach & Leiter, 2016) Regulasi komitmen kerja umumnya berada di bawah lingkup tanggung jawab dan tugas PIO. Divisi seperti HRD (Human Resource Development), HRM (Human Resource Management), atau dalam bahasa konvensionalnya “bagian personalia” menjadi garda utama untuk merancang dan mengimplementasikan strategi yang bertujuan untuk meningkatkan komitmen kerja karyawan. Cara kerja penegakan komitmen kerja umumnya mengutamakan aspek kuantitatif sebagai ukuran tinggi rendahnya komitmen. Bakker dan Demerouti (2017) menunjukkan bahwa strategi yang lebih umum diterapkan sering kali mengutamakan indeks produktivitas dan efisiensi sebagai indikator keberhasilan komitmen, sementara aspek-aspek kualitatif seperti kesejahteraan psikologis, makna kerja, dan hubungan sosial di tempat kerja dipandang sebagai hal yang sekunder. Sebagai konsekuensinya cara kerja kuantitatif (yang dianggap cepat, objektif, dan mudah dikomunikasikan) terbukti menciptakan lingkungan kerja yang terfokus pada pencapaian target, seiring dengan tekanan berlebih pada individu untuk memenuhi ekspektasi organisasi. *** Perubahan zaman menciptakan banyak perubahan melalui dinamika perkembangan dan relasi antara organisasi dengan individu. Kehidupan organisasi dan individu bergerak secara dinamis, menciptakan perubahan baik dalam skala mikro maupun makro. Di tingkat mikro, individu di dalam organisasi sering kali mengalami dilema antara keinginan untuk mencapai tujuan pribadi dan tuntutan dari organisasi yang mungkin bertentangan dengan nilai-nilai pribadi mereka. Di tingkat makro, tren sosial dan budaya yang lebih luas dapat memengaruhi cara organisasi beroperasi dan berinteraksi dengan para pemangku kepentingan mereka. Ini menciptakan tantangan yang kompleks bagi para praktisi PIO, yang perlu menemukan cara untuk mengharmonisasikan nilai-nilai personal individu dengan nilai-nilai operasional organisasi. Dalam upaya untuk mencapai harmoni ini, praktisi PIO perlu mengadopsi pendekatan yang lebih inklusif dan berorientasi pada individu. Ini berarti tidak hanya mengandalkan strategi yang berfokus pada efisiensi dan produktivitas, tetapi juga memperhatikan kesejahteraan psikologis dan aspirasi individu. Sebagaimana dinyatakan oleh Bénabou dan Tirole (2016), penting bagi organisasi untuk memahami bahwa motivasi individu tidak hanya dipengaruhi oleh insentif eksternal, tetapi juga oleh identitas dan nilai-nilai yang mereka anut. Oleh karena itu, pendekatan yang mengintegrasikan pemahaman tentang kebutuhan psikologis dasar individu—seperti otonomi, kompetensi, dan hubungan sosial—ke dalam struktur organisasi dapat menjadi solusi yang efektif untuk mengurangi ketidakselarasan antara individu dan organisasi. Dalam dunia kerja yang semakin kompleks dan dinamis, aransemen komitmen yang mampu mengakomodasi baik kepentingan individu maupun organisasi menjadi sebuah kebutuhan mendesak. Komitmen bukan hanya sekadar kewajiban formal yang diatur dalam kontrak kerja, tetapi juga sebuah ikatan psikologis yang menciptakan rasa saling memiliki dan tujuan bersama antara individu dan organisasi. Sebagaimana diungkapkan oleh Van Vianen (2018) bahwa model komitmen yang efektif harus mampu memberikan keuntungan lewat menyelaraskan kepentingan individu dengan visi organisasi. Oleh karena itu, pengembangan aransemen komitmen yang berkelanjutan menjadi langkah strategis untuk menciptakan hubungan kerja yang lebih harmonis dan produktif. Pendekatan apresiatif dalam mengelola hubungan antara individu dan organisasi memainkan peran kunci dalam menciptakan aransemen komitmen yang saling menguntungkan. Dalam konteks ini, apresiasi bukan hanya terbatas pada pengakuan atas kinerja individu, tetapi juga mencakup penghargaan terhadap nilai dan aspirasi pribadi yang mereka bawa ke dalam organisasi. Menurut Wrzesniewski dan Dutton (2001), komitmen dan keterlibatan individu terhadap organisasi dapat ditingkatkan lewat pemberian makna pada pekerjaan. Dengan demikian, organisasi perlu menciptakan lingkungan kerja yang tidak hanya menilai kontribusi individu dari sudut pandang kinerja semata, tetapi juga memberikan ruang bagi individu untuk mengekspresikan nilai-nilai dan tujuan pribadi mereka. Salah satu tantangan utama bagi praktisi PIO adalah menciptakan model komitmen yang tidak hanya memprioritaskan produktivitas, tetapi juga menghargai martabat dan kebutuhan emosional individu di dalam organisasi. Sebagai contoh, peneliti seperti Bakker dan Demerouti (2017) menyarankan bahwa strategi pengelolaan komitmen harus melibatkan dukungan terhadap kesejahteraan psikologis karyawan. Ini termasuk menciptakan peluang bagi individu untuk terlibat dalam pengambilan keputusan, mengembangkan keterampilan, dan merasakan hubungan sosial yang positif di tempat kerja. Ketika individu merasa dihargai dan diakui sebagai bagian integral dari organisasi, mereka cenderung lebih berkomitmen dan terlibat secara emosional dalam tugas mereka. Pentingnya model komitmen yang berkelanjutan juga ditekankan oleh Kahn (1990), yang menunjukkan bahwa keterlibatan individu dalam organisasi berkaitan erat dengan bagaimana mereka memaknai peran mereka. Bagi Kahn, keterlibatan hanya mungkin terjadi saat individu merasa terhubung secara emosional, kognitif, dan fisik dengan pekerjaan mereka. Oleh karena itu, menciptakan aransemen komitmen yang menghargai pengalaman subjektif individu adalah langkah krusial dalam mengurangi ketidakselarasan antara tujuan organisasi dan aspirasi individu (Newton dkk., 2022). Membangun aransemen komitmen yang berkelanjutan tidak hanya bermanfaat bagi individu dan organisasi, tetapi juga berkontribusi pada keberlanjutan lingkungan kerja secara keseluruhan. Ketika individu merasa terlibat dan terhubung dengan organisasi, mereka akan lebih mungkin untuk berinvestasi dalam kemajuan dan inovasi yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan masa depan. Dalam konteks ini, komitmen menjadi jembatan yang menghubungkan kepentingan individu dan organisasi, memungkinkan keduanya untuk tumbuh dan berkembang dalam ekosistem yang saling mendukung (Afshari dkk., 2019). *** Bukan sebuah kebetulan bahwa editorial dalam edisi kali ini membahas soal PIO. Empat dari tujuh laporan penelitian dalam jurnal ini biasanya dikategorikan dalam bidang PIO. Melalui analisis kuantitatif, keempat jurnal tersebut memeriksa bagaimana variabel-variabel diletakkan secara terisolasi dari konteks sosiohistoris yang dialami subjek. Problem yang masih bisa dielaborasi adalah terkait dengan pemahaman bahwa fenomena dalam psikologi kerja sukar untuk diisolasi ke dalam variabel-variabel yang justru membuat abstrak pengalaman material para pekerja. Bahkan, pendekatan kontemporer lewat psikologi kognitif dan neurosains dalam pengalaman sehari-hari sering kali luput dalam memotret aturan sosial yang mengaktivasi pengalaman emosional dan makna yang terkandung dalam pengalaman tersebut bagi subjek. Oleh karena itu, alangkah bijaknya para pembaca yang budiman membaca sembari mencermati apa yang belum terpotret dari pemngalaman yang di-variabel-kan tersebut. Pada artikel pertama, Yunita Rahmadina dan Fathul Himam meneliti faktor-faktor yang memengaruhi kinerja pegawai, khususnya kualitas dan kuantitas kerja, berdasarkan model prediktor kinerja Blumberg dan Pringle (1982). Data dari 147 pegawai dianalisis menggunakan Structural Equation Modelling (SEM), menunjukkan bahwa kemauan (work engagement dan job involvement), kesempatan (kepemimpinan transformasional dan transaksional), dan kapasitas (kecerdasan emosional) signifikan dalam memprediksi kinerja pegawai. Artikel kedua berjudul “Ethnocentrism Bias on Consumer Perception of Service Quality and Intention to Buy” ditulis oleh Fernanda Putri Gisela dan Rahmat Hidayat. Studi ini mengeksplorasi bagaimana bias etnosentrisme memengaruhi persepsi kualitas layanan dan intensi membeli. Meskipun tidak ditemukan perbedaan signifikan antara kelompok budaya Sunda dan Surabaya terhadap persepsi layanan dan intensi beli, ditemukan bahwa konsumen lebih menyukai frontliner dari budaya yang sama. Jeremia Simatupang dan Pratista Arya Satwika menulis artikel ketiga yang mengeksplorasi pengaruh kepemimpinan transformasional dan kualitas kehidupan kerja terhadap keterlibatan pegawai generasi Z. Analisis regresi menunjukkan hubungan yang signifikan antara kedua faktor tersebut dan keterlibatan pegawai, menekankan pentingnya strategi untuk meningkatkan keterlibatan pegawai generasi Z. Pada artikel berjudul “Gambaran Penerapan Pola Asuh Orang Tua dengan Anak Attention Deficit/Hyperactivity Disorder”, yakni artikel keempat, Diandra Paralea dan Penny Handayani mengkaji pola asuh orang tua terhadap anak dengan ADHD. Temuan menunjukkan bahwa orang tua menerapkan pendekatan asuh yang bervariasi berdasarkan situasi. Ibu lebih terlibat dalam kegiatan harian anak, sementara ayah cenderung fokus pada aspek disiplin. Artikel kelima ditulis oleh Rizky Anggia Murni Tri Astuti. Kedua penulis meneliti hubungan antara komitmen afektif dan perilaku kewargaan organisasi (organizational citizenship behavior; OCB) di kalangan karyawan. Analisis menunjukkan bahwa komitmen afektif memiliki pengaruh signifikan terhadap OCB, menunjukkan pentingnya komitmen afektif dalam meningkatkan perilaku ekstra peran di tempat kerja. Artikel keenam berjudul “Otak Bilingual: Sinergi Dwibahasa dalam Meningkatkan Fungsi Eksekutif”. Artikel yang ditulis oleh Elisabeth Dwi Anggraeni dan Selvi Sumardin ini meninjau bagaimana kemampuan bilingual meningkatkan fungsi eksekutif, terutama dalam kontrol inhibisi, memori kerja, dan fleksibilitas kognitif. Bilingualisme ditemukan memiliki dampak positif pada perkembangan kognitif, seperti peningkatan kemampuan berpikir kritis dan fleksibilitas mental. Dalam artikel terakhir, atau ketujuh, Antonius Nandiwardana melakukan analisis bibliometrik pada penelitian mindfulness dalam neuropsikologi. Dari 929 dokumen yang dianalisis, ditemukan tren penelitian mindfulness yang semakin meningkat dengan fokus pada depresi, meditasi, dan fungsi eksekutif. Temuan ini memberi wawasan tentang tren serta kolaborasi dalam penelitian mindfulness. *** Problem yang sering kali muncul dalam PIO adalah absennya kajian mengenai kerja yang bersifat historis dan kultural. Fokus pada produktivitas karyawan menjadi norma utama yang diagung-agungkan oleh para praktisi dan peneliti PIO. Sementara itu, sejarah konsep “kerja” yang berubah dari masa ke masa dan membentuk mentalitas manusia merupakan kajian yang sering kali luput untuk dibicarakan. Sebagai contoh, dalam bukunya, Komlosy (2018) menunjukkan bahwa pada abad ke-15, etika kerja Kristen mulai menguat. Muncul gagasan ora et labora yang menegaskan bahwa kerja yang tidak dibayar memiliki konotasi sebagai kerja yang suci. Gagasan lain yang muncul adalah bahwa malas adalah dosa. Perubahan konsep kemudian terjadi pada masa Revolusi Saintifik abad ke-15 dan ke-16 yang memahami kerja, buruh, dan teknologi sebagai kondisi di mana manusia bisa menaklukkan alam. Nilai baru yang menguat dalam rangka mencapai kebahagiaan adalah rajin, komitmen, dan ketekunan (industriousness). Kerja kemudian dianggap sebagai sesuatu yang utilitarian dan bentuk implementasi ekonomi nasional (merkantilisme). Kerja merupakan cara orang menjadi bahagia dan bebas. Kerja diukur dari pendapatan ekonomi dan harus produktif. Karenanya, kerja bertujuan menciptakan dan mengakumulasikan kapital. Dalam rangka reproduksi nilai-nilai kapitalistik kemudian kerja dipisahkan dari tanggung-jawab sosial. Guna mencermati kembali bagaimana kerja-kerja industri dan organisasi kontemporer, orang yang berkecimpung dalam PIO perlu untuk melihat kembali mode produksi dan sistem yang beroperasi dalam dunia kerja saat ini. Tokoh psikologi seperti Erich Fromm (1900-1980) bisa menjadi acuan untuk memahami bagaimana sistem kerja berbasis kapitalisme yang hari ini mendominasi dan menghegemoni sebagian besar kerja-kerja industri dan mengubah lanskap mental manusia (Fromm, 1961/2004). Sebagai sebuah sistem yang besar, kapitalisme juga melahirkan ideologi-ideologi baru yang patut menjadi perhatian para peneliti, misalnya neoliberalisme (Ratner, 2019). Dalam kondisi neoliberalisme, muncul gagasan work-life balance yang memisahkan antara “kerja” (work) dan “kehidupan” (life) (Patria, 2024). Dengan kata lain kerja dan kehidupan bukan sesuatu yang selaras, melainkan sesuatu yang bersifat dikotomis. Oleh karenanya, bekerja untuk menemukan makna sebagaimana digagas Frankl (1980/2019) justru dijauhkan dari lewat semangat neoliberalisme. Bukan sebagaimana gagasan Komlosy (2018), studi PIO yang dominan dalam Psikologi Karir. Psikologi Karir berbeda dengan Psikologi Kerja (Work Psychology). Selama ini dalam penelitian soal lingkungan kerja dan pekerjaan, psikologi lebih didominasi oleh Psikologi Karir. Apa yang dikerjakan dalam Psikologi Karir adalah membuat pekerja menjadi lebih produktif, demi kepentingan institusi. Sementara itu, Psikologi Kerja berfokus pada bekerja sebagai aktivitas sentral manusia secara sosio-kultural dan melekat erat dalam domain kehidupan. Semua aspek kerja, termasuk kerja dibayar dan tidak dibayar, dipelajari dalam Psikologi Kerja. Secara khusus, Psikologi Kerja fokus pada opresi dan hambatan sosial dalam bekerja alih-alih pada produktivitas (Prilleltensky & Stead, 2013). *** Pikiran soal membangun komitmen yang mengusung harmoni antara organisasi dan individu adalah idealisme. Tentu saja ide tulisan di atas tampak sebagai sebuah utopia dalam praktis organisasi modern yang cenderung mengutamakan produktivitas objektif. Sementara gerak dinamika subjek (karyawan) adalah padat keragaman dan sulit dipastikan. Akan tetapi, ide soal harmoni ini bisa menjadi konsiderasi bagi para praktisi pengembangan organisasi yang peduli pada kesehatan mental dan kesejahteraan psikologis individu sebagai anggota organisasi. Idealisme ini barangkali bisa memberikan inspirasi untuk selalu menegakkan tujuan psikologi sebagai ilmu yang berpihak pada manusia. Ngono yo ngono ning ojo ngono.
“Memproduksi” Manusia lewat Psikologi Harimurti, Albertus
Suksma: Jurnal Psikologi Universitas Sanata Dharma Vol 6, No 1 (2025)
Publisher : Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/suksma.v6i1.12479

Abstract

Saat membicarakan mengenai tegangan politik antara Red Shirts dengan Yellow Shirts di Thailand, Benedict Anderson (2016) – seorang ahli Kajian Asia Tenggara – menuliskan bahwa seorang cendekiawan dalam kerja akademis hendaknya, “Look at what’s in front of you, but think about what is missing” (Anderson, 2016, hlm. 7). Dalam perselisihan politik di Thailand, meskipun seolah-olah hal tersebut adalah konflik antara dua kubu, Anderson berargumen lebih jauh bahwa secara laten terdapat tegangan etnis di dalamnya, yakni terhadap orang Tionghoa-Thai. Secara geografis, Anderson menunjukkan bahwa pembagian dukungan politik erat kaitannya dengan etnisitas. Hal tersebut diperkuat dengan temuan Anderson bahwa istilah “lukchin” (anak Tionghoa) juga mengalami peningkatan dalam beberapa dekade terakhir. Apa yang diperlukan dalam kerja-kerja akademik adalah mencermati suatu fakta, untuk kemudian melihat apa yang berada di baliknya.Anderson melihat tidak hanya apa yang tampak, ia berupaya melihat apa yang tidak tampak. Cara-cara kerja demikianlah yang kemudian dipraktikkan oleh seorang analis dan peneliti – juga detektif. Ada sebuah bagian penting – dan terus diingat – oleh para pembaca cerita detektif Arthur Conan Doyle dalam cerita pendeknya yang berjudul Silver Blaze (1892). Bagian tersebut mengisahkan Sherlock Holmes yang tengah berbicara dengan Watson saat menyelidiki suatu kasus pembunuhan. Demikian tulisnya: “Adakah hal aneh yang barangkali menarik perhatian saya?”“Pada suatu insiden mencurigakan yang melibatkan seekor anjing.”“Si anjing tidak menggonggong pada malam itu.”“Nah, itu perkara yang sungguh aneh.”, ujar Sherlock Holmes. (Doyle, 1892/1956, hlm. 347) Dalam kutipan di atas, ditunjukkan bahwa perilaku anjing yang tidak menggonggong merupakan suatu hal yang mencurigakan. Kita bisa menganalisisnya demikian: Sebagai suatu cerita, hal tersebut tampaknya hanya sekadar narasi yang diceritakan secara kronologis. Namun, sebagai sebuah peristiwa, hal tersebut sangat aneh. Keanehan terletak pada kemungkinan seekor anjing tidak menggonggong saat melihat seorang yang mencurigakan memasuki area rumah sang tuan. Atau jangan-jangan ada kemungkinan lain bahwa orang yang memasuki rumah dan menjadi tokoh jahat dalam kisah tersebut adalah orang yang sama sekali tidak asing? Cara kerja demikianlah yang dilakukan, baik oleh para detektif maupun peneliti, untuk memahami suatu perkara. Hal tersebut kemudian dielaborasi oleh Slavoj Žižek (1991), seorang psikoanalisis Lacanian, yang menunjukkan bahwa kemunculan psikoanalisis dan cerita detektif pada periode yang beririsan, yakni akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Kedua subjek, yakni psikoanalis dan detektif, berfokus pada suatu prosedur formal. Seorang detektif akan mencari dan menemukan kebenaran faktual dari suatu adegan kejahatan. Sementara itu, seorang psikoanalis menemukan makna lewat analisis mimpi, salah ucap, dan asosiasi bebas. Pada akhirnya, keduanya dianggap sebagai subjek-yang-diandaikan-tahu (subject-supposed-to-know; omniscience) mengenai peristiwa tertentu. Kemudian, yang paling penting adalah kemampuan keduanya untuk menemukan makna/tatanan dalam suatu ketidakteraturan. Persis, penemuan makna (atau pola) dalam ketidakteraturan inilah yang menjadi kerja-kerja penelitian.Para penulis dalam Suksma edisi ini juga melakukan kerja-kerja detektif/analis/peneliti serupa. Tentu saja, mereka berupaya melihat suatu fakta untuk mengidentifikasi fenomena psikologi yang mendasarinya. Dalam artikel pertama yang berjudul “Peran Kontrol Diri dan Keterhubungan dengan Sekolah terhadap Masalah Emosi dan Perilaku Remaja Usia SMP”, Anisa Sajidah dan Edilburga Wulan Saptandari menguji peran kontrol diri dan keterhubungan dengan sekolah terhadap masalah emosi dan perilaku remaja SMP (12-14 tahun). Studi terhadap 171 responden ini menemukan bahwa kontrol diri dan keterhubungan dengan sekolah secara bersamaan berkontribusi sebesar 23,8% terhadap masalah emosi dan perilaku. Sementara, sebesar 76,2% sisanya dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti. Kemudian, pada tulisan yang berjudul “Bertumbuh di Balik Jeruji: Stress-Related Growth pada Narapidana Tamping”, Yovita Giri Sekarsari dan Maria Laksmi Anantasari melakukan studi kualitatif yang mengeksplorasi stress-related growth (SRG) atau proses perkembangan positif pribadi yang muncul dari kondisi stres. Dengan melakukan wawancara terhadap tiga narapidana Tamping, peneliti mengidentifikasi proses pertumbuhan diri serta faktor eksternal dan internal yang memengaruhinya. Peneliti menemukan bahwa pertumbuhan diri berlangsung dalam bentuk peningkatan kesadaran diri, ketahanan, kemandirian, perubahan makna, serta peningkatan kecakapan kerja. Artikel ketiga berjudul “Gambaran Penyesuaian Diri Mahasiswa Anak Tunggal yang Merantau” ditulis Bonaventura Bagastama Widhi Pramaditho dan Agnes Indar Etikawati dalam rangka mendeskripsikan penyesuaian diri mahasiswa anak tunggal yang merantau. Dalam studi kualitatif ini, ketiga informan menunjukkan enam tema dalam upaya penyesuaian diri. Peneliti menemukan bahwa tema yang paling dominan adalah mengembangkan keterampilan sosial dan keterlibatan dalam kegiatan kampus. Faktor internal berupa motivasi, kebutuhan relasi, dan refleksi diri; serta faktor eksternal seperti iklim kampus dan pola asuh orang tua memengaruhi upaya penyesuaian diri tersebut. Artikel selanjutnya ditulis oleh Martaria Rizky Rinaldi dan Jelang Hardika. Artikel berjudul “Stres dan Kesejahteraan Psikologis pada Ibu Bekerja: Peran Moderasi Mindful Parenting” menemukan bahwa mindful parenting memiliki efek positif signifikan pada kesejahteraan psikologis, sementara stres berefek negatif signifikan. Dengan melakukan studi cross-sectional pada 87 responden, penelitian ini menemukan bahwa mindful parenting tidak signifikan memoderasi hubungan antara stres dengan kesejahteraan psikologis. Pada artikel kelima, Agung Santoso, Alice Whita Savira, dan Robertus Landung Prihatmoko memperdebatkan soal ukuran sampel ujicoba. Melalui judul “Penentuan Besarnya Sampel Uji Coba berdasarkan Presisi Estimasi Alpha Cronbach”, penulis membahas pentingnya ukuran sampel ujicoba yang memadai berdasarkan analisis power dan akurasi estimasi parameter dalam dua studi simulasi. Pada simulasi pertama, ukuran sampel yang tidak memadai menghasilkan power yang rendah dan fluktuasi estimasi reliabilitas yang besar. Sementara itu, simulasi kedua menemukan bahwa formula Bonett lebih baik dalam mengestimasi ukuran sampel yang dibutuhkan untuk power dan akurasi yang tinggi dibandingkan formula Feldt.Kelima artikel studi empiris di atas kemudian diikuti dua artikel non-empiris lainnya. Artikel non-empiris pertama, mengenai posisi Psikologi terkait krisis lingkungan ditulis oleh Raden Rara Maria Anita Dewi Sari. Melalui judul “Dari Individu ke Sistem: Peran Psikologi Kritis dalam Memahami dan Mengatasi Krisis Lingkungan”, penulis mengelaborasi pemikiran Psikologi Kritis guna memahami sistem sosial, budaya, dan ekonomi dalam membentuk perilaku merusak lingkungan. Penemuan akar masalah struktural ini hendaknya mendorong transformasi menuju masyarakat yang berkelanjutan. Implikasinya, solusi yang dirasa efektif oleh penulis adalah integrasi kearifan lokal dan kolaborasi pengetahuan ilmiah lokal. Artikel terakhir adalah semacam obituari atau necrology untuk sosok yang berperan besar dalam perkembangan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma (USD), yakni Dr. Christina Siwi Handayani. Bagi penulis, yakni YB. Cahya Widiyanto, Ibu Christin merupakan seorang ahli Psikologi yang sensitif terhadap konteks dan praktik hidup sehari-hari. Bagi Ibu Christin, Psikologi merupakan ilmu sosial-humaniora yang harus dikembangkan berdasarkan konteks hidup masyarakatnya. Dengan judul “Psikologi yang Kembali kepada Konteks”, penulis mengisahkan pengalaman kerja akademik bersama Ibu Christin yang menegaskan rekognisi dan kontribusi pemikiran Ibu Christin.Dari tujuh tulisan yang tersedia dalam Suksma Volume 6 Nomor 1 kali ini, ada hal menarik yang patut kita telaah ke belakang bersama. Sejauh terbitan Suksma sejak Mei 2020, terdapat sebanyak 83 tulisan yang mengulas topik dan pengukuran Psikologi – data terhitung termasuk terbitan Volume 6 Nomor 1. Dalam laman web Suksma, dituliskan demikian, “Suksma menerima naskah hasil penelitian lapangan, artikel psikologi yang berbasis kajian teoretik, resensi buku dan juga obituari” (Universitas Sanata Dharma. Suksma, 2020). Terdapat 12 naskah editorial, 56 artikel empiris, 12 artikel non-empiris/teoretis, 2 tinjauan buku, dan 1 obituari.Guna kepentingan tulisan ini, saya akan mengidentifikasi 12 naskah editorial. Kedua belas naskah tersebut berisi mengenai tanggapan, harapan, dan barangkali arah perdebatan yang dicita-citakan Suksma. Dari 12 naskah editorial, terdapat 9 naskah yang secara berulang menekankan pada “konteks”, “subyektivitas”, dan “refleksivitas”. Dalam tradisi Psikoanalisis, keberulangan ini dikenal dengan istilah compulsion to repeat atau repetition compulsion. Istilah tersebut menunjukkan pengulangan pada sesuatu yang belum terasimilasi dalam realitas pengalaman (Yang, 2016) – sebuah “perpetual recurrence of the same thing” (kekambuhan abadi terhadap perkara yang sama) (Freud, 1920/1961, hlm. 16). Dalam konteks ini, ketiga istilah berulang tersebut barangkali memang belum terasimilasi penuh dalam disiplin maupun penelitian Psikologi. Marjinalisasi – kemudian pengulangan – ini menunjukkan hadirnya kecemasan berupa kecenderungan ketidakmantapan posisi peneliti dan analisisnya. Posisi tidak mantap ini kemudian menghadirkan dialektika yang menuntut seseorang untuk terus tidak “nyaman” dengan posisi dan cara berpikirnya. Artinya, penekanannya adalah pada mempertanyakan: Mengapa saya berpikir dengan cara saya berpikir?Dengan mengambil semangat “mengapa saya berpikir dengan cara saya berpikir?”, Widiyanto (2020) menekankan bahwa Suksma bertendensi untuk menyajikan publikasi yang otentik dan idealisme, alih-alih berakhir sebagai berkas obligasi formal-administratif. Kemudian, Harimurti (2020) membicarakan mengenai eksperimentasi metodologi terlepas dari pendekatan kualitatif atau kuantitatif pada umumnya. Pada editorial lain, Etikawati (2021) menekankan pada aspek kontekstualitas dalam analisis, yang pada akhirnya menghindari analisis yang menjurus pada generalisasi. Selanjutnya, Madyaningrum (2022) menekankan pada perspektif multidimensi agar kehendak untuk memperbaiki (asumsi dasar para peneliti) tidak terjebak dalam “menyalahkan korban” (blaming the victim). Sementara itu, editorial yang ditulis Hartoko (2022) mengajak para penulis untuk menjadi tidak “kerasan” di rumahnya sendiri – dalam arti mempertanyakan asumsi epistemologis-ontologis penelitian Psikologi yang dilakukan. Karenanya, aspek intersubyektivitas menjadi perkara yang perlu direkognisi dalam penelitian – yang tampaknya masih menuai resistensi dari model tradisional Psikologi. Sembari menekankan pada editorial sebelumnya, Harimurti (2023) mengelaborasi pada konteks (context-bound), fluiditas fenomena, dan aspek posisionalitas peneliti yang idealnya diperhatikan dalam kerja akademisnya. Kembali lagi diutarakan, Widiyanto (2023) mengingatkan soal kontekstualitas agar tidak terjebak dalam penelitian yang sifatnya replikatif dan menerima mentah-mentah teori yang sudah dianggap mapan. Kemudian dalam editorial Volume 5 Nomor 3 (2024), Widiyanto dan Harimurti (2024) merefleksikan ideologi yang mendasari Psikologi Industri dan Organisasi yang cenderung meminggirkan karyawan. Karyawan direduksi menjadi pengepul keuntungan bagi organisasi. Editorial tersebut membicarakan bagaimana power beroperasi mengabaikan subyektivitas manusia. Pun demikian dengan editorial terbitan kali ini, sebagaimana akan saya jabarkan pada bagian selanjutnya.Terlepas dari naskah editorial Suksma, statistik terbitan Suksma tersebut di atas tidak menunjukkan apapun kecuali pembagian kategori. Padahal dalam suatu kategori, substansi berada dalam kontennya. Lantas, bagaimana produksi pengetahuan dalam konten-konten tulisan tersebut? Dalam dunia keilmuan, kita dapat mempertanyakan: Apa yang dimaksud sebagai pengetahuan? Bagaimana implikasi konseptual mengenai konsep pengetahuan itu sendiri? Dalam bukunya mengenai Psikologi Teoretis, Teo (2018) menunjukkan bahwa pengetahuan merupakan sesuatu yang dianggap penting, benar, dan relevan pada saat dan tempat tertentu. Sebagai contoh, Baumrind (1966) mengidentifikasi tiga bentuk pola asuh. Pola asuh pertama adalah pola asuh permisif, yang mana meyakini bahwa anak-anak memutuskan sendiri kegiatan yang akan mereka lakukan. Kedua adalah pola asuh authoritarian yang menekankan pada pengendalian, pembentukan, dan kepatuhan si anak terhadap pengasuh. Kemudian ketiga adalah pola asuh authoritative yang membimbing anak secara rasional dan mengikuti sifat manusia secara rasional dengan menyediakan alasan terhadap suatu aturan. Dalam tradisi Barat, galib dikatakan bahwa pengasuhan authoritative adalah yang terbaik. Meskipun demikian, apakah anggapan kebenaran serupa juga akan relevan dalam sistem budaya lain – misalnya dalam sistem teokrasi?Dengan kata-kata ajaib, yakni “konteks”, barangkali para peneliti akan menyimpulkan bahwa setiap kebenaran menjadi “betul-betul-benar” hanya pada konteks tertentu. Meminjam istilah dari budaya Jawa, orang bisa mengatakan “bener, tur ora pener” (atau “benar tetapi tidak elok”) (Anderson, 1965). Ambil contohnya adalah membenci seseorang kemudian mengatakan bahwa kita benci terhadap orang tersebut dalam ruang publik. Betul bahwa mungkin kita membencinya, tetapi dalam alam berpikir Jawa, hal tersebut tidak elok dan tidak bijak. Dengan kata lain, ada semacam unwritten rules yang beroperasi dalam tataran simbolik. Contoh lain, dengan model yang agak berbeda, adalah terkait dengan tes intelegensi yang dikembangkan oleh Binet (Gould, 1981). Binet pada awalnya menciptakan skala IQ sebagai alat untuk mengidentifikasi anak-anak yang membutuhkan dukungan khusus dalam pendidikan. Namun, dalam perkembangannya, kaum hereditarian dan Army Mental Tests Amerika justru menjadikan skor IQ sebagai ukuran tunggal kecerdasan bawaan yang menetap, mengabaikan pengaruh lingkungan, dan menggunakan tes tersebut untuk memberi peringkat individu. Implikasinya adalah skor IQ membenarkan hirarki sosial dan ras, kemudian bahkan mengadvokasi kebijakan pembatasan imigrasi. Dalam menegaskan kedudukan tes IQ, berbagai problem yang muncul juga diabaikan: latar belakang budaya partisipan atau instruksi yang tidak terpahami. Singkat kata, keabaian terhadap konteks menunjukkan bahwa ada kekuasaan/pengetahuan tertentu yang dikonstruksi lebih benar dibanding yang lainnya. Dengan kata lain, aspek power menjadi perkara yang perlu diperhatikan dalam penelitian Psikologi. Ada power dalam suatu unwritten rules.Aspek power ini berimplikasi pada positionality yang perlu dipertimbangkan peneliti. Posisionalitas ini menggambarkan cara pandang terhadap dunia dan posisi yang peneliti ambil mengenai penelitian dan konteksnya. Dalam tradisi penelitian Psikologi, kita mengenal reflexivity. Refleksivitas ini menjadi upaya peneliti dalam rangka mencari asumsi-asumsi tersembunyi yang mendasari penelitiannya. Sama halnya dengan yang dinyatakan Benedict Anderson atau Slavoj Žižek pada awal tulisan ini, kita perlu melihat sesuatu yang tidak tampak yang memungkinkan suatu fenomena atau peristiwa berlangsung. Teo (2018) menyebutkan bahwa refleksivitas merupakan proses berpikir kritis dalam Psikologi yang hilang dalam tradisi positivisme. Bisa jadi, seorang peneliti mengabaikan refleksivitas atau berpura-pura bahwa pertanyaan dasar seperti epistemologi, ontologi, etika, dan estetika sudah terjawab. Pada poin ontologi, Teo (2018) menawarkan pertanyaan mengenai “apa itu manusia?” Menurut Teo, selama ini Psikologi melihat manusia secara historis eksklusif; didominasi oleh subjek Western, Educated, Industrialized, Rich and Democratic (WEIRD) dan menyingkirkan yang lainnya. Teo menawarkan konsep subjektivitas yang bukan sekadar sudut pandang orang pertama, tetapi juga titik perubahan dan titik aktivitas yang memungkinkan hadirnya agensi, refleksivitas, praksis, ketubuhan, dan resistensi. Dalam poin sifat pengetahuan atau epistemologi, Teo mengusulkan peneliti Psikologi untuk menekankan peran karakteristik sosial, nilai-nilai, dan kekuasaan dalam produksi pengetahuan. Aspek kepentingan juga perlu dicermati dalam produksi keilmuan, misal skor IQ yang diteliti Gould (1981) ternyata hanya memenuhi hasrat kekuasaan pihak otoritas. Bahaya epistemologis dalam penelitian Psikologi selama ini adalah kekerasan epistemik (epistemological violence) yang bisa saja terjadi, misalnya menggambarkan kelompok terpinggirkan sebagai yang tidak beradab dan inferior (Teo, 2010; 2018). Kemudian, pada aspek etis-politik, yang dipertanyakan adalah “apa yang seharusnya dilakukan oleh psikolog atau peneliti.” Pertanyaan demikian berarti melihat implikasi moral dari praktik produksi pengetahuan (epistemologis). Psikologi memiliki catatan historis yang mengidentifikasi kelompok terpinggirkan (misalnya orang kulit berwarna, perempuan, kelas bawah, difabel, atau queer) adalah liyan yang bermasalah. Artinya, ada kemungkinan penelitian justru bukan menjadi problem-solving, melainkan problem-making dalam arti menempatkan subjek sebagai pihak yang patut dipersalahkan. Terakhir adalah menyoal estetika yang sering kali diabaikan dalam Psikologi. Teo (2018) mengusulkan seni menjadi suatu praktik pembebasan lewat perubahan subyektivitas dan resistensi terhadap ketidakadilan. Dengan kata lain, seni sebagai sebuah resistensi berpotensi menantang asumsi dan praktik yang sudah mapan dalam suatu metode ilmiah. Meskipun akhir-akhir ini terdapat tren yang menunjukkan piranti kesenian dalam menyejahterakan manusia, tetapi sifat seni yang mengasingkan, mengiritasi, dan membuat kita bertanya mengenai cara pandang kita terhadap dunia tidak memperoleh ruang yang memadai (Han, 2021).Lantas, apa implikasi gagasan epistemologi, ontologi, etika, dan estetika terhadap konten dalam Suksma? Dengan cara baca Benedict Anderson atau Slavoj Žižek, pertanyaan tersebut dapat kita formulasikan demikian: Apa yang hilang atau absen dari Suksma? Pertama adalah bahwa posisionalitas peneliti perlu ditunjukkan secara eksplisit pada bagian jurnal. Dengan menunjukkan posisionalitas ini, maka setiap peneliti diajak untuk melakukan refleksivitas dan kemungkinan untuk mencermati epistemologi, ontologi, etika (juga estetika) yang barangkali mengabaikan analisis yang integratif terhadap fenomena psikologis (lihat dalam Braun Clarke, 2022). Kedua adalah bahwa Psikologi perlu juga merambah dalam bidang-bidang seni yang boleh jadi membuka ruang terhadap resistensi. Para pemikir Psikologi di masa lampau juga telah menunjukkan kecenderungan ini. Sebagai contoh, Freud menggunakan sastra dan seni rupa untuk menunjukkan dinamika mental manusia. Ketiga, ada baiknya Suksma memiliki tiga edisi yang masing-masing secara khusus memperdebatkan apa yang dimaksud “konteks”, “subyektivitas”, dan “refleksivitas” dalam suatu penelitian, mengapa hal tersebut penting, dan bagaimana masing-masing dimunculkan dalam penelitian.Ketiga poin di atas barangkali hanya sekadar usulan mengenai bagaimana cara melihat suatu penelitian. Penelitian bukan melulu bagaimana melaporkan pola yang terjadi pada suatu fenomena psikologis. Penelitian dengan sendirinya menjelma suatu proyek panjang kemanusiaan. Pada akhirnya, sebuah penelitian tidak sekadar memproduksi pengetahuan, melainkan juga manusianya – entah yang diteliti maupun peneliti sendiri. 
Tantangan Psikologi Transformatif di Tengah Zaman yang Problematis: Dari Ruang Kelas, Dunia Kerja, hingga Ruang Batin Widiyanto, YB. Cahya; Harimurti, Albertus
Suksma: Jurnal Psikologi Universitas Sanata Dharma Vol 6, No 2 (2025)
Publisher : Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/suksma.v6i2.13827

Abstract

Analisis Tematik Kebahagiaan pada Milenial Kelas Menengah Harimurti, Albertus
Suksma: Jurnal Psikologi Universitas Sanata Dharma Vol 3, No 2 (2022)
Publisher : Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/suksma.v3i2.4956

Abstract

This current study aimed to map the experience of happiness among middle-class millennials in Indonesia. Data were collected through the written stories and experiences of 37 subjects aged 19-20 years. Using thematic analysis with constructionist epistemology, this research found four major themes across the stories. Subjects portrayed that happiness is a condition in which the subjects: (1) Enjoy the moment, (2) Subjectively, (3) Support from others, and (4) Self-worth. These findings have implications for research models on happiness that can be directed at welfare issues at various levels, namely individual, interpersonal, organizational, and communal which are interconnected and influence each other.
Posisi Obskur Psikologi Kualitatif Harimurti, Albertus
Suksma: Jurnal Psikologi Universitas Sanata Dharma Vol 4, No 1 (2023)
Publisher : Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/suksma.v4i1.6245

Abstract

Pada mulanya adalah perihal obskur. Psikologi Kualitatif diposisikan seperti anak tiri dalam Psikologi. Secara teoretis dan metodologis, pendekatan kualitatif tidak diragukan eksistensinya. Namun secara praktis penelitian, pendekatan kualitatif tampak dan terdengar seperti wilayah yang jauh dan teramat asing, setidaknya dalam peta psikologi mainstream. Sejak awal kelahiran Psikologi, pendekatan kualitatif telah eksis sebagai sebuah tradisi berpikir tersendiri, yang misalnya dicomot dari tradisi fenomenologi. Bahkan, dalam karya-karya Wilhelm Wundt (1832-1920) dan William James (1842-1910) – dua tokoh awal Psikologi – kedudukan unsur subjektif dan objektif telah menjadi bagian dalam pembahasan risalah intelektual. Kedua tokoh tidak luput membicarakan makna, budaya, dan identitas yang kerap kali menjadi diskusi serius dalam tradisi kualitatif. Selain itu, apabila dicermati dengan sungguh, psikoanalisis yang dikembangkan Sigmund Freud (1856-1932) memanfaatkan wawancara dan serakan data remeh sebagai dasar dalam memahami psikologi subjek. Namun, mengapa pendekatan kualitatif seolah-olah begitu obskur?Menurut Danziger (1990), keberadaan pendekataan kualitatif sebagai “the excluded” dalam Psikologi dimulai dari penelitian-penelitian yang dianggap menjadi ciri khas Psikologi. Dalam sejarah keilmuan Psikologi sejak 1800an hingga hari ini, terjadi pergeseran dalam cara kerja penelitian yang tadinya dipraktikkan dengan pencatatan lewat observasi kemudian direduksi menjadi respons diri yang bersifat naif. Dalam eksperimen, yang dicatat si peneliti adalah respons perilaku dan bukan mental (mind) manusia. Oleh karena itu, intensi Psikologi untuk menangkap dan mengeksplorasi “mind” berubah menjadi pencatatan respons perilaku. Artinya, penelitian Psikologi cenderung menjadi ilmu mengenai mind terhadap mindless individual (Rogers Willig, 2017).Apa yang ditunjukkan di atas adalah cara manusia untuk menjawab bagaimana dan apa yang bisa diketahui. Dalam tradisi keilmuan, hal demikian diperdebatkan melalui Epistemologi. Cabang Filsafat tersebut upaya untuk menjawab mengenai bagaimana suatu pengetahuan diperoleh. Dalam tradisi Psikologi yang dominan (mainstream psychology), epistemologi yang bekerja adalah positivis (Rogers Willig, 2017; Willig 2008, 2013). Epistemologi positivis dalam keilmuan dapat ditelusur secara historis untuk kemudian akan ditemukan beberapa modelnya, yakni positivisme klasik, positivisme kritis, dan positivisme logis (Rogers Willig, 2017). Secara umum, dalam ketiga model positivisme tersebut, subyektivitas, sejarah, dan masyarakat menjadi tidak relevan untuk menentukan kebenaran pengalaman. Seorang peneliti perlu melakukan isolasi terhadap manusia agar kebenaran dapat diperoleh. Apa yang digagas Karl Popper (1902-1994) sebagai rasionalisme kritis juga memiliki asumsi serupa, sehingga sekalipun ia memberi kritik terhadap positivisme, tetapi ia dianggap sebagai seorang positivis (Ormerod, 2009).Secara dominan, Teo (2018) menunjukkan bahwa tradisi berpikir ala Popper direproduksi dengan keyakinan dari filsafat pengetahuan yang menunjukkan bagaimana suatu pernyataan keilmuan dapat dijustifikasi atau disebut dengan konteks justifikasi (context of justification). Karena penekanan pada justifikasi, maka konteks penemuan (context of discovery) atau pertanyaan mengapa suatu ilmu berminat pada suatu pertanyaan, bukan lagi menjadi hal yang menjadi perhatian serius. Sebagai implikasi, peneliti akan cenderung berminat pada kecanggihan metodologi alih-alih asal-usul sosiohistoris disiplin Psikologi, termasuk di dalamnya adalah subyektivitas peneliti. Ketiadaan dimensi sosiohistoris tersebut akan membatasi peneliti psikologi untuk tidak melibatkan minat personal dalam rangka mengarahkan cara pandang terhadap dunia (Willig, 2013). Problem yang muncul kemudian adalah ketidakmungkinan untuk netral secara murni, seseorang senantiasa melakukan penciptaan makna mengenai objek tertentu yang terbangun selama pengalaman hidupnya.Tradisi berpikir positivis dengan berbasis pada konteks justifikasi tersebut kemudian dikritik oleh seorang pemikir bernama Thomas Kuhn (1922-1996) yang menyatakan bahwa dalam proses keilmuan terdapat elemen yang melampaui-yang-logis dan melampaui-yang-rasional yang kemudian nantinya akan berujung pada sejarah dan sosiologi ilmu pengetahuan dalam cabang Epistemologi. Secara khusus, kelemahan dari perspektif positivis adalah absennya sejarah, budaya, dan masyarakat dalam upaya menjelaksan serta memahami dunia. Menurut Teo (2018), proses dalam keilmuan tidak hanya konteks justifikasi, melainkan juga konteks penemuan, konteks interpretasi (context of interpretation), dan konteks aplikasi (context of application). Bahkan, konteks justifikasi sendiri nyatanya tidak luput dari subjektivitas peneliti. Letak Psikologi sebagai ilmu kemanusiaan dan ilmu sosial mestinya juga memposisikan Psikologi tidak hanya berfokus pada kecanggihan metodologi untuk memotret kehidupan individual, melainkan juga menempatkan pengalaman subjektif individual dalam tegangan antara subjek dengan sistem (Keucheyan, 2011).Bergeser dari tradisi positivis, tokoh Psikologi asal Jerman, yakni Klauz Holzkamp (1927-1995), menyebut tradisi dalam Psikologi dengan istilah yang sangat tepat, yakni realisme naif (naive realism) (Holzkamp, 1972). Realisme naif berupaya menggambarkan penelitian empiris sebagai cerminan dunia luar dengan meminimalisasi bias, menanggalkan gagasan sebelumnya (purifikasi), dan melakukan penetralan metodologi. Dengan melakukan purifikasi tersebut, maka tradisi berpikir Psikologi mengasumsikan tidak terdapat dimensi societal atau historis. Persoalannya kemudian adalah bahwa sebuah persepsi beroperasi secara selektif dan orang bisa melihat satu hal dengan cara yang berbeda, tergantung dari tujuan pengamatan yang dilakukan (Rogers Willig, 2017).Selain tradisi positivis dan realisme naif, problem lain yang ditunjukkan dalam filsafat ilmu adalah hypothethico-deductivism (Willig 2008, 2013). Gagasan tersebut dimulai dari kritik Popper tehadap induktivisme yang tidak bisa memberikan pernyataan kategoris seperti “a mengikuti b”. Dalam induktivisme, tidak dapat dipastikan bahwa kejadian selanjutnya akan mengikuti pola “a mengikuti b”. Karena tidak tertebak, maka akan muncul kesulitan untuk melakukan verifikasi. Lantas Popper mengusulkan bahwa sebuah ilmu sebaiknya menganut sistem deduksi dan falsifikasi, misalnya dengan membuat hipotesis di awal. Dengan adanya falsifikasi, maka akan bisa ditentukan mana yang benar dan tidak benar.Kontras dengan tradisi positivis dan realisme naif, Henwood (2014) menyatakan bahwa seorang peneliti kualitatif mensyaratkan keterlibatan aktif peneliti pada dunia yang sedang dipelajari. Oleh karena itu, peneliti kualitatif mestinya melakukan pengamatan yang jeli, mendengarkan, merekam, dan mengkontekstualisasikan pengalaman nyata, pikiran, tindakan, dan refleksi manusia untuk kemudian melakukan interpretasi terhadap data yang diperoleh dari hasil proses tersebut. Sekalipun demikian, proses interpretasi ini bukan “barang” baru dalam penelitian Psikologi. Sebagaimana ditunjukkan dalam oleh Danziger (1990) proses interpretasi (atau yang lebih subtil, yakni introspeksi) tergeser dan terdominasi oleh penelitian eksperimen dan survei yang tadinya peneliti menjadi subjek pengamat menjadi pencari respons. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa selama kurun waktu satu abad lebih sejarah ilmu Psikologi, pendekatan kualitatif cenderung tersembunyi (hidden) dalam berbagai hasil penelitian.Sifat tersembunyi atau obskur tersebut muncul sebagai gejala methodolatry dalam Psikologi. Methodolatry merupakan kecenderungan untuk menghindari teori dan mengidolakan metode yang dianggap bisa menggambarkan keahlian tertentu dari peneliti (Rogers Willig, 2017). Kecenderungan methodolatry ini kemudian membuat keilmuan dalam ranah para ahli saja. Dengan demikian, rezim ilmu pengetahuan sebagai digagas Foucault (1969/2002), dengan terang-terangan menampilkan diri pada perkembangan penelitian Psikologi. Apabila dicermati, struktur jurnal Psikologi cenderung memberi porsi bagian diskusi yang cukup minim, artinya proses interpretasi dan kemungkinan untuk membuka ruang alternatif terhadap pemahaman suatu fenomena bukan menjadi perkara yang penting untuk dielaborasi.Agaknya, kecenderungan methodolatry tersebut mengalami perlawanan yang cukup sengit dari para pemikir yang tidak puas dengan penjelasan kuantitatif. Setidaknya, ada dua palingan yang secara pelan tapi pasti berupaya untuk melakukan resistensi dengan pendekatan yang terlampau realisme naif. Palingan tersebut adalah palingan bahasa (language turn) dan palingan interpretasi (interpretation turn) (Rogers Willig, 2017). Kedua paling tersebut bermula dari metode interpretasi dan kesadaran sebagai subjek studi yang dikesampingkan oleh Psikologi mainstream. Sebagai contoh adalah kelahiran Psikologi Feminis yang berupaya mempertanyakan mengapa dalam penelitian Psikologi (juga penelitian sosial) cenderung menemukan atau mengkonfirmasi kemampuan intelektual dan karakter moral perempuan yang digambarkan inferior. Oleh karena itu, persoalannya bukan sekadar inferioritas perempuan, melainkan lebih pada inferiorisasi perempuan (Gilligan, 1982; bdk. Žižek, 2009).Pada palingan pertama, yakni palingan bahasa, ditunjukkan bahwa bagaimana cara seseorang berbicara dan merepresentasikan realitas berkontribusi dalam mengekspresikan mentalitas orang tersebut. Dalam palingan bahasa, seorang peneliti akan berfokus pada konstruksi makna. Palingan ini muncul secara gradual sejak 1930an dalam gerakan ilmu kemanusiaan dan seni surealisme (Roudinesco, 1993/1997) – yang kemudian berpuncak di Psikologi pada sekitar 1980an dan 1990an (Rogers Willig, 2017). Sumbangan besar palingan bahasa adalah membawa kesadaran bahwa bahasa bukanlah produk kultural yang netral. Dalam kajian ilmu yang lain, palingan bahasa ini disebut dengan palingan budaya (cultural turn). Sifat kultural dari bahasa menunjukkan bahwa wicara atau produk yang diekspresikan oleh seseorang merupakan interseksi dari subjek dan sistem sosial yang lebih luas. Palingan bahasa ini membuka kemungkinan untuk suatu analisis yang mempertimbangkan konteks atau saat dan tempat ketika seseorang mengekpresikan gagasannya mengenai dunia.Sebab sebuah makna dikonstruksi sebagaimana diyakini palingan bahasa, maka kemudian dalam palingan interpretasi penekanan pada penciptaan makna (meaning-making) menjadi pusat analisis (Rogers Willig, 2017). Dalam sejarah pendekatan kualitatif, ada dua cara memahami bahasa. Pertama adalah bahwa peneliti meyakini bahwa bahasa merupakan ekspresi jujur dan murni dari kesadaran. Cara pertama ini ditampilkan dalam model fenomenologi deskriptif. Bahwa apa yang disampaikan subjek penelitian merupakan suatu kebenaran yang tidak lagi perlu melalui interpretasi, peneliti cukup melakukan pengelompokkan tema untuk kemudian mendeskripsikan pengalaman. Cara kedua adalah sebagaimana dimanifestasikan oleh fenomenologi interpretatif dan tradisi konstruksionisme. Bahwa suatu ungkapan atau bahasa muncul dari konteks yang menghadirkan subjek pewicara. Dalam cara kedua ini, peneliti akan mendemonstrasikan analisis yang berbasis data (grounded in data) sekaligus konsisten scara teoretis (theoretically driven). Menurut Rogers dan Willig (2017), apa yang membedakan model deskriptif dan interpretatif adalah bahwa penelitian interpretatif berupaya memproduksi pemahaman mengenai bagaimana seseorang mengalami dunia dan dirinya dengan cara yang khusus. Oleh karena keunikan pengalaman ini, maka diasumsikan ada fenomena sosial yang perlu diidentifikasi dan dijelaskan dengan detail. Fenomena sosial inilah yang dianggap tersembunyi dan perlu diuraikan untuk memahami (bukan sekadar menjelaskan) cara pandang terhadap dunia, perilaku, dan pengalaman seseorang. Bahkan interpretasi ini bukanlah perkara yang sudah final, sebuah interpretasi perlu membuka ruang kemungkinan bahwa ada alternatif interpretasi lain. Kekeliruan diasumsikan akan senantiasa membayangi analisis yang dianggap benar dan bahwa kebenaran itu sendiri tidak bisa dipastikan tunggal. Lantas, dalam model interpretatif, tantangannya adalah melampaui apa yang tampak, dengan harapan bisa menyingkap dimensi tersembunyi sekaligus tidak memaksakan makna yang mendasari suatu fenomena psikologis.Persoalan palingan bahasa, palingan budaya, maupun palingan interpretasi ini kemudian dalam perkembangan kontemporer mulai melirik pada palingan afek (affective turn) yang diinisiasi oleh Brian Massumi (1987, 2015) dan Patricia Clough (2008). Palingan afek ini menampilkan bahwa afek merupakan pengalaman fisiologis yang bersifat pra-subjektif sebelum rasionalitas dan intensionalitas hadir. Dalam afek, bahasan seperti kenikmatan (pleasure and joy), luka dan duka (pain and mourning), serta hasrat (desire) menjadi fokus yang dieksplorasi. Meskipun demikian, afek juga bukan sesuatu yang bersifat alamiah. Kesenangan atau hasrat seseorang senantiasa tidak berada dalam ruang kosong. Artinya, aspek fluiditas dan keterikatan pada konteks menjadi bagian yang tidak bisa tidak untuk dipahami dalam sebuah penelitian (Gough, 2017).Pemahaman pada konteks yang dipadu dengan posisionalitas peneliti ini kemudian juga membuka ruang baru untuk melakukan penelitian yang sifatnya tidak eksploitatif dan justru membebaskan manusia, misalnya gerakan decolonializing psychology (dekolonisasi Psikologi) (Bhatia, 2017). Dekolonisasi merupakan upaya untuk melakukan pergeseran dari etic menjadi emic (insider’s perspective) sebagaimana juga terjadi dalam pendekatan budaya dalam Psikologi (Matsumoto Juang, 2013; Ratner, 2006). Tradisi berpikir dekolonial ini agaknya juga perlahan menjadi tren yang tengah berlangsung dalam penelitian psikologi yang berfokus pada “kebutuhan akan keragaman, keadilan, dan inklusi dalam konten ilmiah serta mengambil langkah untuk memperbaiki praktik yang rasis dan berprasangka selama berdekade lamanya” (Santoro, 2023 hlm. 50). Warisan kolonialisme, orientalisme, maupun Eurosentris yang tampil dalam subjek penelitian Western, Educated, Industrialized, Rich and Democratic (WEIRD) nyatanya tidak memuaskan untuk menjelaskan konteks negara global belahan bumi Selatan (Global South) maupun komunitas yang tersingkir (Santoro, 2023).Model psikologi yang inklusif dan berkeadilan demikian berupaya untuk menempatkan diri bahwa penelitian dan interpretasi bukan hal yang netral dan secara etis justru berimplikasi semakin memangkirkan mereka yang tersingkir. Bahkan, dalam perkembangan di Psikologi, penelitian kuatitatif nyatanya juga membuka arena baru bernama QuantCrit (Quantitative Critical Theory) yang meyakini bahwa angka tidak netral, kategori tidak natural, data tidak bisa berbicara sendiri dan membutuhkan penyuaraan, serta kebutuhan untuk mempertimbangkan keadilan (sosial). Lantas, alih-alih sekadar berfokus pada metodologi yang digunakan, sebuah penelitian pertama-tama perlu untuk berfokus pada episteme atau logika yang mungkin saja pincang sedari peneliti membangun problematisasi. Dengan demikian, refleksivitas menjadi hal yang senantiasa diperlukan dalam proses penelitian dengan harapan bahwa ada kejelian dan ketelatenan proses penelitian, entah batasan apa yang dimiliki peneliti, kemungkinan adil-tidaknya cara berpikir, atau bahkan implikasi dari temuan penelitian.Berbarengan dengan tren global perkembangan disiplin Psikologi, Suksma: Jurnal Psikologi Universitas Sanata Dharma Vol. 4, No. 1 kali ini didominasi oleh pendekatan yang bersifat eksploratif dengan memanfaatkan data kualitatif. Pemanfaatan data kualitatif tersebut selaras gagasan Arellano (2022) yang menyatakan bahwa berbagai jurnal hasil penelitian yang tersaji perlu membuat perubahan transformasional dengan mendengarkan cerita pengalaman dari para subjek. Orang perlu terhubung pada ranah emosi manusia yang (kebetulan) hanya dapat diperoleh lewat data kualitatif. Secara detail, terdapat enam tulisan bernuansa kualitatif, dengan detail sebanyak lima penelitian berbasis pada pengambilan data terhadap para informan dan satu tulisan berbasis studi arsip.Pada tulisan pertama, Supratiknya dkk. (2023) berupaya mengungkap aspek formatif dalam pola komunikasi guru-siswa dalam konteks pembelajaran di Sekolah Dasar (SD). Berbasis pada gagasan Empat Wacana (Four Discourses) yang diinisiasi oleh Jacques Lacan (1901-1981), seorang psikoanalis Perancis, tulisan tersebut mengidentifikasi tipe wacana yang digunakan dalam proses komunikasi di kelas. Lacan merupakan figur besar psikoanalisis yang kembali ke Freud (return to Freud) dengan pendekatan Hegelian dan semiologi. Rahim interdisiplin yang dikembangkan Lacan ini menandai bahwa cara pandang Psikologi yang dikawinkan dengan pendekatan keilmuan lain berpotensi untuk memberi kesegaran pemahaman terhadap pengalaman komunikasi di kelas, terlebih dalam kajian mengenai formasi subjek.Tulisan kedua mengembangkan gagasan komunikasi di kelas pada level Sekolah Menengah Pertama (SMP) dengan memanfaatkan pengolahan data Analisis Tematik (Thematic Analysis) tipe realis. Ketiga penulis, yakni Justin, Widiyanto, dan Kristiyani, memanfaatkan analisis tematik dengan harapan bisa menangkap dan mengeksplorasi pengalaman komunikasi dengan tidak mengesampingkan perkembangan komunikasi secara daring. Penelitian tersebut menemukan bahwa pengalaman komunikasi secara langsung (luring) menciptakan ekosistem yang membuat transmisi pengetahuan guru-siswa menjadi lebih efektif dan nyaman.Selanjutnya, dalam tulisan ketiga, Putri dan Hidajat mengeksplorasi pengalaman dukacita yang dialami oleh individu dewasa awal yang mengalami kehilangan sanak-saudara selama pandemi Covid-19. Dalam eksplorasi tema secara kualitatif yang dilakukan, kedua peneliti secara khusus berfokus pada pertumbuhan pasca-trauma (post-traumatic growth). Melalui penelitian ini, Putri dan Hidajat menemukan bahwa dalam ruminasi kedukaan, makna dan perbedaan kepribadian menjadi aspek penting yang perlu dipertimbangkan dalam proses intervensi terhadap rasa duka yang dialami para informan.Melalui Analisis Fenomenologi Interpretif (Interpretative Phenomenological Analysis), tulisan keempat akan mengeksplorasi mengenai pandangan petani terhadap lembaga pendidikan. Tulisan Handayani dilatarbelakangi oleh fakta obyektif bahwa tingkat pendidikan di daerah pedesaan cenderung lebih rendah daripada orang-orang yang tinggal di perkotaan. Bagi para petani yang tinggal di area pedesaan, Handayani mengungkapkan bahwa pada kenyataannya sekolah juga dianggap sebagai ruang penting untuk dinikmati oleh keluarga mereka. Bahkan, keluarga petani di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah mempersepsikan sekolah sebagai ruang transformasional bagi para agen yang mengenyam pendidikan di dalamnya.Kemudian, dalam tulisan kelima, Hartoko memanfaatkan kombinasi merodologi kuantitatif dan kualitatif dengan perspektif representasi sosial guna mencermati cara orang muda dalam memahami demokrasi. Perspektif representasi sosial, yang digagas Serge Moscovici (1925-2014) berusaha untuk menangkap strukturasi gagasan yang diyakini para subjek. Melalui pengambilan data survei kualitatif, Hartoko mengidentifikasi gagasan orang muda mengenai demokrasi yang tercermin dalam kebebasan berpendapat, keberagaman dan kesetaraan, serta keadilan. Ketiga gagasan tersebut menunjukkan nilai-nilai dasar pembentukan kewargaan dan kebutuhan orang muda untuk berpartisipasi sekaligus independen dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.Tulisan keenam, atau terakhir, memanfaatkan studi arsip untuk melihat perkembangan wacana pendidikan dan layanan psikologi. Dalam tulisan tersebut, Justin dan Supratiknya berupaya menawarkan orientasi pendidikan psikologi profesional di Indonesia. Secara khusus, kedua penulis mengeksplorasi dan melakukan komparasi kurikulum program profesi dan program akademik. Studi arsip ini kemudian menampilkan beberapa usulan kompetensi mengenai program profesi yang perlu diperhatikan dalam merencanakan dan menyusun kurikulum program profesi.Kembali pada bagian awal mengenai sejarah dan perkembangan Psikologi Kualitatif dan disiplin ilmu Psikologi, keenam tulisan yang terkumpul agaknya menjadi simptom yang menunjukkan bahwa ada semacam gerakan yang pelan tapi pasti menuju pada model Psikologi yang sifatnya eksploratif dan jauh dari pendekatan arus utama yang cenderung positivistik. Sekalipun kecenderungan tersebut dirayakan secara kecil-kecilan dan obskur, tidak bisa dipungkiri bahwa ada transgresi yang melekat dalam tubuh disiplin Psikologi. Transgresi tersebut dilakukan melalui membuka celah-celah baru dalam penelitian yang tidak melulu bersifat realisme naif dan empirisis serta memanfaatkan data kualitatif.Meskipun demikian, gagasan keterikatan pada konteks (context-bound), fluiditas fenomena, dan aspek posisionalitas peneliti belum secara khusus memperoleh ruang analisis yang tebal dan mendalam (thick description) dalam keenam tulisan yang tersaji. Pada akhirnya, bukan sesuatu yang muluk-muluk apabila berbagai tulisan dalam terbitan Suksma kali ini diharapkan menciptakan riak dalam keilmuan Psikologi yang selama ini didominasi oleh problem abstraksi dan kuantifikasi. Struktur kekuasaan dalam pengetahuan dan praktik hidup sehari-hari sebagaimana direpresentasikan memalui keenam tulisan barangkali juga telah digemakan beberapa dekade lalu: “Di mana ada kekuasaan,” ungkap Foucault (1978), “di sanalah hadir resistensi.”
Pola Komunikasi Guru-Murid di Kelas dalam Perspektif Teori Empat Wacana Lacan Supratiknya, Augustinus; Hartoko, Victorius Didik Suryo; Suprawati, Maria Magdalena Nimas Eki; Harimurti, Albertus
Suksma: Jurnal Psikologi Universitas Sanata Dharma Vol 4, No 1 (2023)
Publisher : Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/suksma.v4i1.5500

Abstract

The essence of education is communication between educators and students. Teaching as a school education practice has two aspects, namely informative in the framework of forming skills and formative in the context of forming the personality of students. This current study aims to reveal the formative aspects of teacher-student communication patterns in the context of learning subjects in class based on Lacan's Theory of the Four Discourses. The research participants consisted of teachers and students of grades IV and V as class units who were carrying out Social Sciences lessons in three elementary schools in Yogyakarta. Data were collected through audio recordings of teacher-student communication in class. Data were transcribed and analyzed by four researchers separately, the results were discussed to find emerging themes derived from Lacan's Theory of the Four Discourses. The results showed that three types of Lacanian discourse emerged in teacher-student communication in the three schools studied, namely Discourse of the Master, Discourse of the University, and Discourse of the Analyst. This research will be followed up with research on the types of Lacanian discourse that are applied in writing textbooks for subjects in elementary schools including but not limited to Social Sciences.