Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

Human Development and Mental Health: A Comparative Case Study of Indonesia and Singapore [Pembangunan Manusia dan Kesehatan Mental: Studi Komparatif Indonesia dan Singapura] Lung, Firman Daud Lenjau
Verity: Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional (International Relations Journal) Vol. 15 No. 29 (2023): January - June
Publisher : Universitas Pelita Harapan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19166/verity.v15i29.7404

Abstract

Mental health has been a subject of growing discussion for the past years. However, there is still an ongoing debate as to how it has been incorporated into the human development discussion, especially in the Southeast Asia region that mostly consisted of economically growing countries. This paper chooses Indonesia and Singapore to see the disparities and commonalities between the two countries in integrating mental health into their strategy and to what extent it has affected their human development. To answer the question, this paper utilises a combination of qualitative and quantitative data derived from the Human Development Index (HDI) from UNDP and other reports that constitutes the accessibility of mental health infrastructure to the general public. Despite the ongoing assumption that countries with higher HDI have better mental health coverage, the finding of this study illustrates how both in Indonesia and Singapore, access to mental health is heavily circumscribed. The growing awareness of people towards mental health problems is not being acquainted with proper response from stakeholders, namely the government; and sociocultural shift that eliminates stigmatisation surrounding the sufferers.Bahasa Indonesia Abstract: Kesehatan mental telah menjadi topik perbincangan yang hangat dalam beberapa tahun terakhir. Namun, masih terdapat beragam perdebatan mengenai bagaimana kesehatan mental dapat diintegrasikan dalam diskusi pembangunan manusia, khususnya di kawasan Asia Tenggara yang sebagian besar terdiri dari negara berkembang. Artikel ini memilih Indonesia dan Singapura untuk melihat perbedaan dan persamaan antara kedua negara dalam mengintegrasikan kesehatan mental terhadap strategi mereka dan sampai sejauh mana dapat memengaruhi pembangunan manusia mereka. Untuk menjawab pertanyaan penelitian, artikel ini menggunakan kombinasi data kualitatif dan kuantitatif yang berasal dari Human Development Index (HDI) dari UNDP dan laporan lainnya yang menjelaskan daya akses infrastruktur kesehatan mental bagi khalayak umum. Meskipun terdapat asumsi yang mengatakan bahwa negara dengan HDI yang lebih tinggi memiliki cakupan kesehatan mental yang lebih baik, temuan dari artikel ini menggambarkan bagaimana di Indonesia dan Singapura akses terhadap kesehatan mental sangat dibatasi. Kesadaran orang yang semakin tinggi terhadap masalah kesehatan mental tidak dibarengi dengan tanggapan yang tepat dari pemangku kepentingan, khususnya pemerintah, dan pergeseran sosial-budaya yang menghapus beragam stigma di sekitar para penderita.
PENGEMBANGAN WAWASAN SENSITIVITAS KONFLIK BAGI PEMERINTAH KABUPATEN MANGGARAI BARAT Tambunan, Edwin M.B.; Jemaduu, Aleksius; Nasution, Elyzabeth Bonethe; Lung, Firman Daud Lenjau
Prosiding Konferensi Nasional Pengabdian Kepada Masyarakat dan Corporate Social Responsibility (PKM-CSR) Vol 7 (2024): PKMCSR2024: Kolaborasi Hexahelix dalam Optimalisasi Potensi Pariwisata di Indonesia: A
Publisher : Asosiasi Sinergi Pengabdi dan Pemberdaya Indonesia (ASPPI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37695/pkmcsr.v7i0.2327

Abstract

Salah satu tanggung jawab dari penyelenggara negara, khususnya di lingkungan eksekutif dan legislatif, adalah merumuskan kebijakan publik. Bagi pemerintah, kebijakan publik merupakan instrumen dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya, sedangkan bagi masyarakat, kebijakan publik adalah jaminan untuk mengakses hak politik, ekonomi, sosial, dan hukum sebagai warga negara. Salah satu indikator kebijakan publik yang baik adalah apabila kebijakan tersebut dapat diimplementasikan tanpa penolakan dari masyarakat, baik berupa perdebatan, demonstrasi, bahkan konflik. Peluang penolakan sebuah kebijakan publik semakin tinggi di daerah dengan keragaman suku, agama, dan ras yang berlapis dengan perbedaan status sosial ekonomi. Risiko konflik semakin besar jika daerah tersebut menjadi daerah terbuka bagi pendatang sehubungan dengan pengembangan industri pariwisata, seperti Labuan Bajo, di Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Untuk itulah Lokakarya Pengembangan Wawasan Sensitivitas Konflik dilaksanakan dengan menargetkan penyelenggara Kabupaten Manggarai Barat. Kegiatan berlangsung pada Jumat, 1 Maret 2024, bertempat di Kantor Bupati Manggarai Barat, dan dihadiri Wakil Bupati Manggarai Barat beserta perwakilan Perangkat Daerah. Pada lokakarya, peserta mendapat pemahaman mengenai potensi konflik di Kabupaten Manggarai Barat, wawasan konflik dan perdamaian, serta wawasan sensitivitas konflik. Hasil lokalarya kemudian diukur pada sesi praktik di mana para peserta berhasil mengaplikasikan pemahamannya pada tiga studi kasus yang disediakan berkisar perumusan kebijakan publik.