This Author published in this journals
All Journal Hemera Zoa
S. Prawirodigdo .
Unknown Affiliation

Published : 4 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

Strategi penanganan anak babi sapih dini sebagai akibat agallactia atau induk mati S. Prawirodigdo .
Hemera Zoa Vol. 76 No. 1 (1993): Jurnal Hemera Zoa
Publisher : Hemera Zoa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (433.669 KB)

Abstract

Keberhasilan budidaya ternak babi dengan pola usaha produksi anak yang dipasarkan pada periode lepas sapih dan bahkan dibesarkan kemudian dijual pada bobot siap potong (60 - 100 kg/ekor), sangat dibatasi oleh jumlah ternak yang dapat dipasarkan. Jumlah ternak babi tersebut dipengaruhioleh jumlah anak/induk/paritas yang bertahan hidup sampaiumur pernasaran yang dikehendaki produsen.Tingkat mortalitas anak-anak babi prasapih merupakan salah satu faktor penentu yang sering kali menjadi suatu masalah yang serius dalam budidaya ternak babi. Walaupun Hutton (1989) berpendapat bahwa periode kritis bagi anak-anak babi terjadi pada umur lepas sapih, tetapi ternyata pada periode menyusui ("suckling period") nasib anakanak babi juga rawanPenelitian-penelitian tentang aspek yang berpengaruh pada penampilan anak babi pada periode menyusui telah banyak dilakukan di negara-negara produsen (Ewbank; 1976; Mabry et al., 1983; King dan Williams, 1984a, b; McGlone et al.. 1988, Prawirodigdo et al., 1990b). Demikian menariknya topik mengenai penampilan anak-anak babi sehingga mortalitasanak babi prasapih telah dievaluasi sejak 51 tahun yang lalu (Donald, 1939) hingga pada dekade akhir-akhir ini (Baxter, 1989; Cronin, 1989a, b; Cutler et al.. 1989; Hartmann et al., 1989). Informasi serupa di negara tropika khususnya di Indonesia sangat diperlukan, lebih-lebih pada saat ini pemerintah Indonesia juga sedang menggalakkan budidaya ternak babi untuk memenuhi salah satu kebutuhan ekspor komoditi nonmigas.Studi ini memberikan ulasan mengenai teknik-teknik yang dapat diaplikasikan untuk mengatasi kematian anak-anak babi prasapih sebagai akibat kegagalan memperoleh susu dari induknya. 
Konsumsi Feses lunak pada ternak kelinci S. Prawirodigdo .; E. Rianto .; B. Rustomo .
Hemera Zoa Vol. 76 No. 2 (1993): Jurnal Hemera Zoa
Publisher : Hemera Zoa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1105.462 KB)

Abstract

Konsumsi feses lunak yang dikenal dengan sebutan "coprophagy" atau "caecotrophy" biasa dilakukan oleh berbagai hewan termasuk diantaranya tikus kangguru ("Kangaroo rat"), Dipodomys microps, tikus dan mencit (Bjornhag dan Sjoblom, 1977.)  Bjornhag dan Sjoblom (1977) yang menyiasati beberapa peneliti sebelumnya (Harder, 1950; Barnes et al, 1957; Geyer et al, 1974, juga mengidentifikasi Lemnus-lemnus ("Scandinavian lemning"), Chinchilla lanigera (Chincilla) dan Cavia cobaya (marmut) sebagai hewan yang melakukan "coprophagy". Di samping itu, kelinci (Orictolagus caniculus) merupakan ternak yang secara meluas sudah dikenal melakukan "coprophagy" (Jilge,1974; Bjornhag dan Sjoblom, 1977; Jilge, 1978; Cheeke et al, 1982; Gidene et al, 1988; Fraga et al, 1991) 
Prospek penggunaan biotin dan (atau) copper dalam ransum kelinci sedang bunting S. Prawirodigdo .; D. Utomo .; D. Andayani .
Hemera Zoa Vol. 76 No. 2 (1993): Jurnal Hemera Zoa
Publisher : Hemera Zoa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1223.058 KB)

Abstract

Suatu penelitian untuk mempelajari prospek pemberian biotin dan (atau) copper (Cu) telah dilakukan dengan menggunakan 28 ekor kelinci dara (umur ± 7 bulan) keturunan Flemish Giant x New Zealand White dengan rata-rata bobot badan 3148.70 g. Sehari setelah dikawinkan, ternak penelitian secara acak diberi salah satu diantara ransum R1 (Ransum basal dengan kandungan protein 14% dan energi ±  2450 kkal/kg, R2 (ransum basal ± 0.1 mg biotin/kg), R3 (ransum basal ±  50 mg CuS04SH2O/kg) atau R4 (ransum ±  0.1 mg biotin ± 50 mg CuS045H2O/kg).Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian ransum R2 belum secara statistik mampu meningkatkan jumlah anak sekelahiran, sedangkan ransum R3 menghasilkan rata-rata jumlah anak sekelahiran (7 ekor/induk) sangat nyata (P > 0.01) lebih banyak dari pada jumlah anak (4.80 ekor) dari induk yang diberi R,, tetapi tidak berbeda nyata dengan yang menerima R2 (5.75 ekor/induk). Ransum R4 menghasilkanjumlah anak sekelahiran (8 ekor/induk) sangat nyata (P < 0.01) lebih banyak dari pada R1 maupun R2, tetapi tidak berbeda nyata dengan ransum R3. Rata-rata bobot  lahir anak secara individu dan bobot lahir anak sekelahiran yang dihasilkan dari perlakuan R1, R2, R3 dan R4 (masing-masing 50.30 g, 48.02 g, 41 .O1 g, dan 40.95 g serta 242.00 g, 273.63 g, 281 .SO g dan 325.50 g) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, tetapi jumlah anak sekelahiran banyak dan bobot lahir individunya cenderung lebih ringan.Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian Cu dalam ransum induk kelinci sedang bunting lebih diperlukan dari pada pemberian biotin secara tunggal, tetapi pemberian secara kombinasi keduanya menunjukkan prospek yang lebih memuaskan. Studi ini juga mengingatkan bahwa penelitian mengunakan kelinci dara yang melibatkan evaluasi penampilan reproduksi seharusnya minimum dilakukan sampai paritas kedua.
Performans reproduksi induk babi di daerah topik: 1 Pertumbuhan anak periode menyusu pada paritas pertama S. Prawirodigdo .; Harianto .; R. Soedarsono .; A. Mujoko .
Hemera Zoa Vol. 77 No. 2 (1995): Jurnal Hemera Zoa
Publisher : Hemera Zoa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (777.857 KB)

Abstract

Dua-puluh ekor induk babi paritas pertama peranakan Lage White sedang bunting digunakan untuk mempelajari penampilan perturnbuhan anak babi prasapih di daerah tropik (Indonesia). Ternak penelitian dikandangkan secara individu dalam "farrowing crate" dan diberi pakan 2 kg/ekor/hari yang mengandung protein kasar 148 g/kg dengan energi 10.0 MJ GE/kg ransum sampai selama periode laktasi.Hasilnya menunjukkan bahwa rata-rata bobot lahir anak babi jantan (1,33 kg) tidak berbeda nyata dengan rata-rata bobot lahir anak betina (1,29 kg/ekor). Sampai umur 3 minggu rata-rata pertambahan bobot badan anak babi jantan (2,66 kg/ekor/hari) secara statistik juga tidak berbeda nyata dengan anak babi betina (2,77 kg/ekor/hari). Walaupun demikian secara keseluruhan terlihat bahwa bobot anak babi pada urnur 1,2 dan 3 minggu mempunyai korelasi (masing-masing R2 = 0,72; 0.63 dan 0,54) yang sangat nyata (P < 0,0l) terhadap bobot lahir. Kesimpulan yang bisa disampaikan, bahwa tingkat pertumbuhan anak babi sebelumdisapih pada penelitian ini rendah, dan dalam hal ini jumlah konsumsi energi ransum, tingkat pernberian makanan dan genetik induk berpotensi sebagai penyebabnya.