Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

Poligami dalam Perspektif Al-Qur’an (Analisis Tafsir Surat an-nisa’ ayat 3) Faruqi, Ahmad; Aziz, Abd.
JURNAL ILMU AL-QUR'AN DAN TAFSIR NURUL ISLAM SUMENEP Vol. 3 No. 1 (2018): Jurnal Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir
Publisher : STQINIS

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Dari paparan di atas, maka bisa disimpulkan bahwa ada tiga pandangan ulama terkait poligami. Yaitu Poligami dibolehkan oleh al-Qur’an. Illat (sebab) kebolehan poligami tersebut bukan didorong oleh motivasi seks atau kenikamatan biologis, tetapi oleh motovasi agama, sosial, dan kemanusiaan dan disertai dengan syarat adil di antara para istri. Meskipun poligami dibolehkan, tetapi perlu digaris bawahi bahwa al-Qur’an mengisyaratkan poligami berpotensi besar untuk menyebabkan kezaliman. Oleh karena itu al-Qur’an menganjurkan untuk monogamy. Prinsip perkawinan dalam al-Qur’an adalah monogamy. Syarat poligami menurut poligami menurut poligami menurut ulama yang membolehkan poligami dengan batas maksimal sembilan istri sebagaimana dicontohkan Nabi Muhammad Saw. Muhammad Saw. mengawini janda-janda yang ditinggalkan suaminya yang tewas dalam peperangan. al-Qur‟an pun membolehkan poligami sampai empat istri. Kebolehan poligami maksimal empat ini pun bisa dilakukan hanya dalam keadaan darurat, dengan syarat berbuatadil. Adapun hikmah dari poligami menurut as}-S}abuni ada tiga. Pertama, mengangkat harkat martabat wanita sendiri. Kedua, untuk keselamatan dan terjaganya keluarga. Ketiga, untuk keselamatan masyarakat umum. Disampingitu, as}-Sa}buni, juga harusdiakui bahwa, poligami masih jauh lebih baik dari pergaulan bebas yang melanda duniasecara umum. Juga tidak kalah pentingnya untuk mencatat bahwa, poligami merupakan salah satunya cara menyelesaikan masalah yang muncul, seperti jumlah wanita yang dalam sejarah umat manusia tetap lebih banyak dari pria. Denngan kata lain, polligami bisa dilakukan lebih banyak karena tuntutan sosial masyarakat yang ada.
Konsep Musyawarah dalam Al-Qur’an (Kajian Tematik dalam Penafsiran M. Quraish Shihab) Faruqi, Ahmad; fitri, Shofi lailatul
JURNAL ILMU AL-QUR'AN DAN TAFSIR NURUL ISLAM SUMENEP Vol. 4 No. 1 (2019): Jurnal Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir
Publisher : STQINIS

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penafsiran M. Quraish Shihab terhadap ayat-ayat musyawarah; Surah al-Baqarah ayat 233 ialah bahwa dalam hal penyusuan atau penyapihan anak hendaklah kedua orang tua melakukan musyawarah. Akan tetapi dalam ayat tersebut beliau lebih menekankan kepada konsep penyusuan anak. Surah Ali-‘Imran ayat 159 ialah bahwa bermusyawarah dalam melakukan rencana supaya tidak terjadi kesalahpahaman dan dengan sikap lemah lembut. Dalam hal ini yang menjadi ibrah bagi kita adalah peristiwa perang Uhud. Surah Asy-Syura ayat 38 ialah bahwa musyawarah itu disamakan dengan madu di mana madu berarti sesuatu yang hasilnya baik sehingga musyawarah adalah upaya untuk mencari pendapat yang lebih baik dari beberapa orang. Musyawarah menurut M. Quraish Shihab adalah diambil dari asal katanya yaitu madu yang berarti hasilnya yang baik sehingga musyawarah adalah mengambil sesuatu yang baik dari beberapa orang yang sedang berkumpul.
Etika Berhias Bagi Wanita Menurut Al-Qur’an Surat Al-Ahzab Ayat: 33 Faruqi, Ahmad; Maghfirah, Layliyatul
JURNAL ILMU AL-QUR'AN DAN TAFSIR NURUL ISLAM SUMENEP Vol. 5 No. 1 (2020): Jurnal Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir
Publisher : STQINIS

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Islam sangat menjaga kesucian dan kebersihan seorang perempuan dengan dilarangnya menampakkan perhiasan mereka terhadap siapa saja yang bukan mahramnya, maka dari itu diwajibkan bagi seorang wanita apabila hendak keluar rumah agar supaya berhijab secara syarar’i demi menjaga kemulyaanya dan memeliharanya dari pandangan-pandangan yang merusak dan penglihatan-penglihatan yang beracun serta membentenginya dari incaran penyeleweng. Allah berfirman: يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا Artinya: Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang. (al-Ahzab ayat 59) Kata الجلا بيب itu adalah jamak dari بجلبا (jilbab) yang dikenakan kaum perempuan di kepalanya untuk berhijab dan menutupi dirinya. Allah memerintahkan semua kaum perempuan mukmin untuk menjulurkan jilbab mereka agar menutupi bagian-bagian yang indah dari diri mereka, yaitu rambut, wajah, dan sebagainya, sehingga mereka dikenal sebagai perempuan yang menjaga diri, sehingga mereka tidak terfitnah dan tidak juga membuat orang lain terfitnah oleh diri mereka, lalu mereka diganggu.[1] Sementara itu, pandangan Ibnu Katsir dalam menafsirkan al-Qur’an dibagi menjadi dua, sumber riwayah dan dirayah.[2] Sumber Riwayah, sumber ini antara lain meliputi al-Qur’an, sunnah, pendapat sahabat, pendapat Tabi’in. Dan sumber-sumber tersebut merupakan sumber primer dalam Tafsir Ibnu Katsir. Sumber Dirayah, yang dimaksud sumber Dirayah adalah pendapat yang telah dikutip oleh Ibnu Katsir dalam penafsirannya. Sumber selain dari kitab-kitab kodifikasi pada sumber Riwayat, juga kitab-kitab tafsir dan bidang selainnya dari ulama’ mutaakhirin sebelum atau seangkatan dengannya. Mengawali penafsirannya Ibnu Katsir mengelompokkan ayat-ayat yang brurutan yang dianggap berkaitan dan berhubungan dalam tema kecil, cara ini tergolong model baru pada masa itu. Pada masa sebelumnya atau semasa dengan Ibnu katsir, para mufassir kebanyakan kata perkata atau kalimat perkalimat. Penafsiran perkelompok ayat ini membawa pemahaman adanya munasabah ayat dalam setiap kelompok ayat itu dalam tartib mushafi. Dengan begini akan diketahui adanya keintegralan pembahasan al-Qur’an dalam satu tema kecil yang dihasilkan kelompok ayat yang mengandung munasabah antara ayat-ayat al-Qur’an, yang mempermudah sesorang dalam memahami kandungan al-Qur’an serta yang paling penting adalah terhindar dari penafsiran secara parsial yang bisa keluar dari maksud teks. Dari cara tersebut, menunjukkan adanya pemahaman lebih utuh yang dimiliki Ibnu Katsir dalam memahami adanya munasabah dalam urutan ayat, selain munasabah antar ayat yang telah banyak diakui kelebihannya oleh para peneliti. [1] Syaikh Abdul Aziz bin Baz, 2019. Tabarruj, Untuk Siapa Engkau Berhias. Op.Cit, ha 7 [2] Nur Faizan Mazwan, 2002. Kajian Deskriptif Tafsir Ibnu katsir. Op.Cit, hal 88
AGRARIAN CONFLICT OVER LAND OF PT. INDONESIAN RAILWAYS IN LANGKAT: AN ANALYSIS OF POSITIVE LAW AND ISLAMIC LAW Faruqi, Ahmad; Tanjung, Dhiauddin; Matsum, Hasan
SOSIOEDUKASI Vol 14 No 3 (2025): SOSIOEDUKASI : JURNAL ILMIAH ILMU PENDIDIKAN DAN SOSIAL
Publisher : Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universaitas PGRI Banyuwangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36526/sosioedukasi.v14i3.6104

Abstract

The issue of land use by PT. Kereta Api Indonesia (Persero) in Langkat Regency from the perspective of positive law and Islamic law. The main problem lies in the widespread use of land owned by PT. KAI by the community without legal permission, which has led to conflicts over land ownership and control. From the perspective of positive law, this study examines the legal basis for PT. KAI's ownership of the land under Law No. 5 of 1960 on the Basic Principles of Agrarian Law (UUPA), Law No. 23 of 2007 on Railways, and Ministry of State-Owned Enterprises Regulation No.PER-13/MBU/09/2014 on Guidelines for the Management of State-Owned Enterprises' Fixed Assets. These provisions affirm that land assets owned by PT. KAI are part of the state's wealth, managed professionally, and protected by law. This study employs a normative and empirical approach. The normative approach is used to analyze the legal provisions governing the status and management of land, while the empirical approach is conducted through field studies and interviews to uncover the social dynamics and actual practices of land utilization. The normative approach is used to examine the legal provisions governing the status and management of land, while the empirical approach is conducted through field studies and interviews to uncover the social dynamics and actual practices of land utilization. The analysis revealed that weak supervision and the absence of an effective social approach have led to many residents unlawfully occupying or utilizing land. From an Islamic legal perspective, such actions From an Islamic legal perspective, such actions contradict the principles of al-amanah (trust), al-milkiyyah (property rights), and ‘adalah (justice), and are inconsistent with the concept of tasarruf which requires that the right to utilize land be exercised lawfully and without harming others. This study recommends the enforcement of strict yet humane laws by PT. KAI, accompanied by mediation and consultation with the community. Harmonization between positive law and Islamic legal values Harmonization between legal and Islamic legal values needs to be strengthened to create fair, sustainable, and humanitarian resolutions to agrarian conflicts.
Peran Pengadilan Agama dalam Mewujudkan Efektivitas Konsep Sedekah Bernegara Faruqi, Ahmad; Syahmedi, Ramadhan
RIO LAW JURNAL Vol 5, No 2 (2024): Vol.5 No. 2 2024
Publisher : Universitas Muara Bungo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36355/rlj.v5i2.1394

Abstract

Alms is a means provided by Islam as a form of social assistance to the community. If we look at the word sadaqah, it is taken from the Arabic word which means "justification", so alms is a form of self-justification for the existence of Islam. By embracing a democratic system, Indonesia cannot be separated from Islamic values, especially regarding human life socially. So the aim of this research is to analyze the role of Religious Courts in realizing the effectiveness of the state alms concept. The research method used is library research, data was collected by referring to publications on alms conflicts in religious courts and other scientific works. The results of the research show that the role of religious courts in matters of sadaqah is very, very important as supervisors and as mediators or places to resolve cases that arise regarding problems regarding sadaqah. The authority of the religious court in this matter is absolute and binding and each party must follow the series of courts and must follow every decision of the religious court.