Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Melalui Insentif Fiskal Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah Kurniawan, Dwi Ardianta; Wismadi, Arif; Adji, Artidiatun
JKAP (Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik) 2015: JKAP Volume 19 Nomor 2, November Tahun 2015
Publisher : Magister Administrasi Publik (MAP) FISIPOL Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (22.594 KB)

Abstract

Subsidi Bahan Bakar Minyak di Indonesia meningkat secara tajam dalam beberapa tahun terakhir dengan rata-rata peningkatan sebesar 18,29% per tahun dalam periode 2006 – 2013. Besaran subsidi mengambil porsi antara 22% hingga 39,7% terhadap APBN pada periode tersebut. Tingginya besaran subsidi tersebut menimbulkan beban berat pada anggaran pemerintah pusat. Salah satu upaya untuk mengurangi beban pemerintah adalah dengan mengurangi jumlah subsidi yang diberikan. Pengurangan subsidi tersebut harus dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk yang lebih produktif, salah satunya dalam bentuk insentif fiscal pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Mekanisme pemberian insentif kepada pemerintah daerah dapat dilakukan dengan mempertimbangkan kebijakan dan program yang dijalankan oleh pemerintah daerah untuk mengurangi konsumsi BBM. Metode perhitungan besaran insentif dapat dilakukan dengan beberapa skenario dengan mempertimbangkan penghematan anggaran pemerintah karena pengurangan subsidi dan perubahan Dead Weight Loss (DWL) sebagai kerugian yang timbul karena alokasi anggaran yang tidak tepat. Hasil perhitungan besaran insentif fiskal berdasarkan skenario harga BBM memperlihatkan adanya perbedaan cukup signifikan antara skenario 1 yang berbasis besaran subsidi yang dikeluarkan pemerintah, dengan skenario 3 yang berbasis pada besaran DWL. Alternatifnya, dapat diperhitungkan besaran insentif berdasarkan proporsi pengurangan DWL dibandingkan penghematan anggaran. Hasil perhitungan berdasarkan skenario ini memperlihatkan besaran insentif antara Rp1,2 tilyun (pada harga bensin Rp7.100) hingga Rp3,3 trilyun (pada harga bensin Rp9.500 atau subsidi dicabut). Sementara pada solar, besarannya antara Rp1,08 trilyun (pada harga solar Rp7.100) hingga Rp2,97 trilyun (pada harga solar Rp9.500 atau subsidi dicabut). Besaran ini relatif moderat dan dapat menjadi acuan dalam pemberian insentif kepada daerah.
Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Melalui Insentif Fiskal Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah Dwi Ardianta Kurniawan; Arif Wismadi; Artidiatun Adji
JKAP (Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik) Vol 19, No 2 (2015): November
Publisher : Magister Administrasi Publik

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (879.795 KB) | DOI: 10.22146/jkap.7383

Abstract

Subsidi Bahan Bakar Minyak di Indonesia meningkat secara tajam dalam beberapa tahun terakhir dengan rata-rata peningkatan sebesar 18,29% per tahun dalam periode 2006 – 2013. Besaran subsidi mengambil porsi antara 22% hingga 39,7% terhadap APBN pada periode tersebut. Tingginya besaran subsidi tersebut menimbulkan beban berat pada anggaran pemerintah pusat. Salah satu upaya untuk mengurangi beban pemerintah adalah dengan mengurangi jumlah subsidi yang diberikan. Pengurangan subsidi tersebut harus dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk yang lebih produktif, salah satunya dalam bentuk insentif fiscal pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Mekanisme pemberian insentif kepada pemerintah daerah dapat dilakukan dengan mempertimbangkan kebijakan dan program yang dijalankan oleh pemerintah daerah untuk mengurangi konsumsi BBM. Metode perhitungan besaran insentif dapat dilakukan dengan beberapa skenario dengan mempertimbangkan penghematan anggaran pemerintah karena pengurangan subsidi dan perubahan Dead Weight Loss (DWL) sebagai kerugian yang timbul karena alokasi anggaran yang tidak tepat. Hasil perhitungan besaran insentif fiskal berdasarkan skenario harga BBM memperlihatkan adanya perbedaan cukup signifikan antara skenario 1 yang berbasis besaran subsidi yang dikeluarkan pemerintah, dengan skenario 3 yang berbasis pada besaran DWL. Alternatifnya, dapat diperhitungkan besaran insentif berdasarkan proporsi pengurangan DWL dibandingkan penghematan anggaran. Hasil perhitungan berdasarkan skenario ini memperlihatkan besaran insentif antara Rp1,2 tilyun (pada harga bensin Rp7.100) hingga Rp3,3 trilyun (pada harga bensin Rp9.500 atau subsidi dicabut). Sementara pada solar, besarannya antara Rp1,08 trilyun (pada harga solar Rp7.100) hingga Rp2,97 trilyun (pada harga solar Rp9.500 atau subsidi dicabut). Besaran ini relatif moderat dan dapat menjadi acuan dalam pemberian insentif kepada daerah.
STIGLER’S INFLUENTIAL CONTRIBUTION TO ECONOMIC THOUGHT Artidiatun Adji
Journal of Indonesian Economy and Business (JIEB) Vol 32, No 1 (2017): January
Publisher : Faculty of Economics and Business, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (11.835 KB) | DOI: 10.22146/jieb.22981

Abstract

This paper analyzes George J. Stigler’s influential contributions to economic ideas, specifically on industrial structures, the functioning of markets, the causes and effects of public regulation, the economics of information, and on the development of economic thought. Stigler’s most influential contribution to economic thought came in his work on information theory. Treating information as a valuable commodity, he explained why prices differ for identical goods. From his work, many other theories have been built to explain economic behavior. A considerable number of works on decision making under uncertainty could not have progressed without an understanding of the role of information. His swing of the pendulum in economic regulation constitutes a great turnabout. He started research, known as public choice, which assumes that government policy makers are driven by self-interest rather than pure concern for the public’s welfare. His views have now become those of  the mainstream.
Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Melalui Insentif Fiskal Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah Dwi Ardianta Kurniawan; Arif Wismadi; Artidiatun Adji
JKAP (Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik) Vol 19, No 2 (2015): November
Publisher : Magister Ilmu Administrasi Publik

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/jkap.7383

Abstract

Subsidi Bahan Bakar Minyak di Indonesia meningkat secara tajam dalam beberapa tahun terakhir dengan rata-rata peningkatan sebesar 18,29% per tahun dalam periode 2006 – 2013. Besaran subsidi mengambil porsi antara 22% hingga 39,7% terhadap APBN pada periode tersebut. Tingginya besaran subsidi tersebut menimbulkan beban berat pada anggaran pemerintah pusat. Salah satu upaya untuk mengurangi beban pemerintah adalah dengan mengurangi jumlah subsidi yang diberikan. Pengurangan subsidi tersebut harus dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk yang lebih produktif, salah satunya dalam bentuk insentif fiscal pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Mekanisme pemberian insentif kepada pemerintah daerah dapat dilakukan dengan mempertimbangkan kebijakan dan program yang dijalankan oleh pemerintah daerah untuk mengurangi konsumsi BBM. Metode perhitungan besaran insentif dapat dilakukan dengan beberapa skenario dengan mempertimbangkan penghematan anggaran pemerintah karena pengurangan subsidi dan perubahan Dead Weight Loss (DWL) sebagai kerugian yang timbul karena alokasi anggaran yang tidak tepat. Hasil perhitungan besaran insentif fiskal berdasarkan skenario harga BBM memperlihatkan adanya perbedaan cukup signifikan antara skenario 1 yang berbasis besaran subsidi yang dikeluarkan pemerintah, dengan skenario 3 yang berbasis pada besaran DWL. Alternatifnya, dapat diperhitungkan besaran insentif berdasarkan proporsi pengurangan DWL dibandingkan penghematan anggaran. Hasil perhitungan berdasarkan skenario ini memperlihatkan besaran insentif antara Rp1,2 tilyun (pada harga bensin Rp7.100) hingga Rp3,3 trilyun (pada harga bensin Rp9.500 atau subsidi dicabut). Sementara pada solar, besarannya antara Rp1,08 trilyun (pada harga solar Rp7.100) hingga Rp2,97 trilyun (pada harga solar Rp9.500 atau subsidi dicabut). Besaran ini relatif moderat dan dapat menjadi acuan dalam pemberian insentif kepada daerah.
Leading Indicators of Tax Revenue: Does Government Spending Matter? Artidiatun Adji; Diny Ghuzini
Journal of Applied Accounting and Taxation Vol. 9 No. 2 (2024): Journal of Applied Accounting and Taxation (JAAT)
Publisher : Pusat P2M Politeknik Negeri Batam

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30871/jaat.v9i2.7579

Abstract

Indonesia's tax ratio has shown a declining trend over the past fifteen years. Tax revenue is an essential component in the provision of public goods and services. Therefore, it is vital to empirically examine the leading indicators that determine tax revenues. One of the concepts underlying the determination of tax revenue is the spend-tax hypothesis. This hypothesis states that the fiscal authority will determine the level of government spending and tax revenues will be targeted accordingly. The objective of this study is to empirically examine the leading indicators of aggregate tax revenues and its components and whether government spending is a determinant. In developing the estimated model, this study utilizes existing literature and the results of focused group discussions conducted with the Directorate General of Budget, Indonesian Ministry of Finance. This study utilizes monthly data to be more accurate in identifying trend changes and to get better estimates for strategic long-term forecasting, as required by fiscal authorities. To capture information affecting tax revenue and to overcome spurious regression, this study uses Partial Adjustment and Autoregressive Models. Those are consistent with the nature of determination of government budget in Indonesia which considers the values of past variables. The estimates show that government expenditure is an essential variable affecting tax revenue and its components, implying that government spending encourages economic activity. Since government spending is the dominant variable in affecting tax revenue and its components, expansionary fiscal policy can be implemented to increase total tax revenue and its components.