I Wayan Agus Vijayantera
Unknown Affiliation

Published : 10 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 10 Documents
Search

PENAHANAN IJAZAH ASLI PEKERJA DALAM HUBUNGAN KERJA SEBAGAI BAGIAN KEBEBASAN BERKONTRAK Agus Vijayantera, I Wayan
Jurnal Komunikasi Hukum (JKH) Vol 3, No 2 (2017): Jurnal Komunikasi Hukum
Publisher : Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (698.708 KB)

Abstract

Penahanan ijazah asli pekerja dilakukan pengusaha sebagai jaminan pekerja bekerja di perusahaan. Tujuan penulisan adalah untuk mengetahui sumber hukum penahanan ijazah asli pekerja dalam hubungan kerja serta kesepakatan penahanan ijazah asli pekerja sebagai bagian kebebasan berkontrak. Pada pembahasan terkait sumber hukum penahanan terhadap ijazah asli pekerja berdasarkan pada sumber hukum ketenagakerjaan di luar peraturan perundang-undangan karena terdapat kekosongan hukum dalam perundang-undangan ketenagakerjaan. Asas kebebasan berkontrak digunakan sebagai kebebasan dalam menentukan isi perjanjian terutama terkait penahanan ijazah. Pada hakekatnya penahanan ijazah bertentangan dengan Hak Asasi Manusia yakni hak untuk mendapat pekerjaan sehingga mendapatkan penghasilan yang layak. Oleh karena itu perlu peran pemerintah dalam membentuk pengaturan mengenai penahanan ijazah asli pekerja demi mengisi kekosongan hukum.
KEGAGALAN MENGEMBALIKAN RUMAH DALAM KEADAAN YANG BAIK PADA PERJANJIAN SEWA MENYEWA RUMAH Agus Vijayantera, I Wayan
Jurnal Komunikasi Hukum (JKH) Vol 5, No 1 (2019): Jurnal Komunikasi Hukum
Publisher : Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23887/jkh.v5i1.16756

Abstract

 Sewa menyewa rumah merupakan salah satu alternatif dalam pemenuhan kebutuhan setiap orang atas tempat tinggal. Pada sewa menyewa rumah tentu mengharapkan terjadi tanpa permasalahan baik dimulai dari kesepakatan para pihak hingga berakhirnya perjanjian sewa. Pada berakhirnya perjanjian sewa, terdapat permasalahan ketika penyewa gagal untuk mengembalikan rumah yang disewa dalam keadaan yang baik. Berdasarkan hal tersebut, adapun tujuan penulisan adalah untuk menganalisis akibat hukum terhadap kegagalan penyewa untuk mengembalikan rumah yang disewa dalam keadaan yang baik, serta upaya hukum atas sengketa yang timbul akibat penyewa tidak bersedia memberikan ganti rugi. Pada pembahasan, akibat hukum yang timbul adalah kerugian pada pihak pemilik rumah akibat perbuatan penyewa yang digolongkan sebagai wanprestasi ataupun perbuatan melawan hukum. Tidak bersedianya penyewa untuk membayar ganti rugi mengakibatkan terjadinya sengketa. Upaya hukum untuk penyelesaian sengketa tersebut, perlu bagi para pihak untuk menyelesaikan sengketa dengan mengutamakan penyelesaian diluar pengadilan terlebih dahulu sebelum mengupayakan penyelesaian melalui pengadilan. Kata Kunci :sewa menyewa, akibat hukum, upaya hukum.
KAJIAN HUKUM PERDATA TERHADAP PENGGUNAAN PERJANJIAN TIDAK TERTULIS DALAM KEGIATAN BISNIS Agus Vijayantera, I Wayan
Jurnal Komunikasi Hukum (JKH) Vol 6, No 1 (2020): Februari, Jurnal Komunikasi Hukum
Publisher : Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23887/jkh.v6i1.23445

Abstract

Perjanjian tidak tertulis merupakan perjanjian yang sering digunakan dalam transaksi bisnis pada kalangan masyarakat tradisional. Keberadaan perjanjian tidak tertulis lebih lemah jika dibandingkan dengan perjanjian tertulis khususnya dalam pembuktian ketika terjadi sengketa. Berdasarkan hal tersebut, adapun tujuan penulisan adalah untuk menganalisis keberadaan perjanjian tidak tertulis ditinjau dalam hukum perdata, serta menganalisis keunggulan dan kelemahan pembentukan dan pelaksanaan perjanjian tidak tertulis. Pada pembahasan, perjanjian tidak tertulis merupakan perjanjian yang sah dalam perspektif hukum perdata selama tidak bertentangan dengan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Keberadaan perjanjian tidak tertulis didasarkan pula pada adanya asas kebebasan berkontrak yang memberikan kebebasan para pihak untuk menentukan bentuk perjanjiannya. Perjanjian tidak tertulis memiliki keunggulan berupa efisien waktu yang digunakan untuk mencapai kesepakatan serta penggunaan rasa kepercayaan dalam pembentukan dan pelaksanaan perjanjian, sedangkan kelemahannya terletak pada pembuktian perjanjian ketika terjadi sengketa.
PERUBAHAN BATAS UMUR MINIMAL MELANGSUNGKAN PERKAWINAN SEJAK DITERBITKAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2019 Agus Vijayantera, I Wayan
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha Vol 8, No 3 (2020): September, Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha
Publisher : Universitas Pendidikan Ganesha

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23887/jpku.v8i3.28606

Abstract

Perubahan batas umur minimal melangsungkan perkawinan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 hanya menyamakan umur minimal wanita dengan pria yakni pada umur 19 tahun. Akibat hukumnya, seseorang yang telah dewasa atau berakhir haknya sebagai anak sebagaimana merujuk pada Undang-Undang Perlindungan Anak, masih belum dapat menikmati haknya untuk melangsungkan perkawinan karena masih harus menunggu umurnya 19 tahun. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dikaji secara mendalam mengenai latar belakang perubahan batas umur minimal melangsungkan perkawinan serta menganalisis tujuan hukum perubahan pembatasan umur minimal untuk melangsungkan perkawinan. Perubahan pengaturan batas umur minimal melangsungkan perkawinan dilakukan akibat terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 22/PUU-XV/2017. Pengaturan pembatasan umur minimal melangsungkan perkawinan dalam pembentukan Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 hanya menyamakan kedudukan hukum untuk umur wanita dan pria, namun kurang memperhatikan keberadaan hukum yang sering digunakan sebagai indikator usia dewasa serta kurang memperhatikan keberadaan Program Pendewasaan Usia Perkawinan yang telah disosialisasikan oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional.
PERUBAHAN BATAS UMUR MINIMAL MELANGSUNGKAN PERKAWINAN SEJAK DITERBITKAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2019 Agus Vijayantera, I Wayan
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha Vol 8, No 3 (2020): September, Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha
Publisher : Universitas Pendidikan Ganesha

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23887/jpku.v8i3.28594

Abstract

Perubahan batas umur minimal melangsungkan perkawinan dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 16 Tahun 2019 hanya menyamakan umur minimal wanita dengan pria yakni pada umur 19 tahun. Akibat hukumnya, seseorang yang telah dewasa atau berakhir haknya sebagai anak sebagaimana merujuk pada Undang-Undang Perlindungan Anak, masih belum dapat menikmati haknya untuk melangsungkan perkawinan karena masih harus menunggu umurnya 19 tahun. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dikaji secara mendalam mengenai latar belakang perubahan batas umur minimal melangsungkan perkawinan serta menganalisis tujuan hukum perubahan pembatasan umur minimal untuk melangsungkan perkawinan. Perubahan pengaturan batas umur minimal melangsungkan perkawinan dilakukan akibat terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 22/PUU-XV/2017. Pengaturan pembatasan umur minimal melangsungkan perkawinan dalam pembentukan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 hanya menyamakan kedudukan hukum untuk umur wanita dan pria, namun kurang memperhatikan keberadaan hukum yang sering digunakan sebagai indikator usia dewasa serta kurang memperhatikan keberadaan Program Pendewasaan Usia Perkawinan yang telah disosialisasikan oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional.
SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU PEMBANTU KEJAHATAN TERHADAP NYAWA I Wayan Agus Vijayantera; Ni Putu Purwanti
Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum Vol. 01, No. 03, Juli 2013
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Murder is a brutal crime because the purpose of murderer is to take someone else life. when commit the murder sometimes there are people who help implement crime (accomplice). As accomplice has different role during the commission of a crime, they will be punished in different way. The problem is how to decide which penalties to give as this is a murder case. The purpose of this study is to know which penalties should be applied for accomplice of attempted murder as regulated in the Criminal Code (KUHP). The method used to analyze the problem is the normative law method. Accomplice is described in article 56 of the Criminal Code. The penalties for accomplice are regulated in article 57 of the Criminal Code. Based on those articles, the penalties for accomplice of attempted murder is jail punishment for certain time.
REFLEKSI ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM MEMILIH MEMORANDUM OF UNDERSTANDING SEBAGAI BENTUK LANDASAN KERJASAMA INSTITUSI I Wayan Agus Vijayantera; I Gusti Ngurah Anom
Jurnal Yusthima Vol. 2 No. 1 (2022): YUSTHIMA : Jurnal Prodi Magister Hukum FH Unmas Denpasar
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Mahasaraswati Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (657.252 KB)

Abstract

Memorandum of Understanding (MoU) merupakan bentuk landasan kerjasama yang biasa digunakan institusi. Tujuan penulisan ini untuk menganalisis konsep dan teknis pembentukan Memorandum of Understanding (MoU) sebagai landasan kerjasama institusi, dan terkait refleksi dari asas kebebasan berkontrak atas dipilihnya Memorandum of Understanding (MoU) sebagai landasan kerjasama. Memorandum of Understanding (MoU) perlu dianalisis mengingat di sistem hukum di Indonesia tidak ada pengaturannya. Atas hal tersebut, maka perlu dianalisis permasalahan hukum tersebut menggunakan metode penelitian hukum normatif. Hasil pembahasan terhadap permasalahan yakni Memorandum of Understanding (MoU) dapat digunakan sebagai landasan dalam melaksanakan kerjasama antar institusi dengan mekanisme ditindaklanjuti dengan perjanjian tertulis maupun lisan sebelum pelaksanaan aktivitas kerjasama yang menyangkut hak, kewajiban, dan sebagainya. Dipilihnya Memorandum of Understanding (MoU) sebagai landasan kerjasama antar institusi tentu merupakan cerminan dari asas kebebasan berkontrak terkait memilih bentuk landasan kerjasama sesuai dengan kebutuhan para pihak.
PENAHANAN IJAZAH ASLI PEKERJA DALAM HUBUNGAN KERJA SEBAGAI BAGIAN KEBEBASAN BERKONTRAK Agus Vijayantera, I Wayan
Jurnal Komunikasi Hukum Vol 3 No 2 (2017): Jurnal Komunikasi Hukum
Publisher : Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23887/jkh.v3i2.11823

Abstract

Penahanan ijazah asli pekerja dilakukan pengusaha sebagai jaminan pekerja bekerja di perusahaan. Tujuan penulisan adalah untuk mengetahui sumber hukum penahanan ijazah asli pekerja dalam hubungan kerja serta kesepakatan penahanan ijazah asli pekerja sebagai bagian kebebasan berkontrak. Pada pembahasan terkait sumber hukum penahanan terhadap ijazah asli pekerja berdasarkan pada sumber hukum ketenagakerjaan di luar peraturan perundang-undangan karena terdapat kekosongan hukum dalam perundang-undangan ketenagakerjaan. Asas kebebasan berkontrak digunakan sebagai kebebasan dalam menentukan isi perjanjian terutama terkait penahanan ijazah. Pada hakekatnya penahanan ijazah bertentangan dengan Hak Asasi Manusia yakni hak untuk mendapat pekerjaan sehingga mendapatkan penghasilan yang layak. Oleh karena itu perlu peran pemerintah dalam membentuk pengaturan mengenai penahanan ijazah asli pekerja demi mengisi kekosongan hukum.
KEGAGALAN MENGEMBALIKAN RUMAH DALAM KEADAAN YANG BAIK PADA PERJANJIAN SEWA MENYEWA RUMAH Agus Vijayantera, I Wayan
Jurnal Komunikasi Hukum Vol 5 No 1 (2019): Jurnal Komunikasi Hukum
Publisher : Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23887/jkh.v5i1.16756

Abstract

 Sewa menyewa rumah merupakan salah satu alternatif dalam pemenuhan kebutuhan setiap orang atas tempat tinggal. Pada sewa menyewa rumah tentu mengharapkan terjadi tanpa permasalahan baik dimulai dari kesepakatan para pihak hingga berakhirnya perjanjian sewa. Pada berakhirnya perjanjian sewa, terdapat permasalahan ketika penyewa gagal untuk mengembalikan rumah yang disewa dalam keadaan yang baik. Berdasarkan hal tersebut, adapun tujuan penulisan adalah untuk menganalisis akibat hukum terhadap kegagalan penyewa untuk mengembalikan rumah yang disewa dalam keadaan yang baik, serta upaya hukum atas sengketa yang timbul akibat penyewa tidak bersedia memberikan ganti rugi. Pada pembahasan, akibat hukum yang timbul adalah kerugian pada pihak pemilik rumah akibat perbuatan penyewa yang digolongkan sebagai wanprestasi ataupun perbuatan melawan hukum. Tidak bersedianya penyewa untuk membayar ganti rugi mengakibatkan terjadinya sengketa. Upaya hukum untuk penyelesaian sengketa tersebut, perlu bagi para pihak untuk menyelesaikan sengketa dengan mengutamakan penyelesaian diluar pengadilan terlebih dahulu sebelum mengupayakan penyelesaian melalui pengadilan. Kata Kunci :sewa menyewa, akibat hukum, upaya hukum.
KAJIAN HUKUM PERDATA TERHADAP PENGGUNAAN PERJANJIAN TIDAK TERTULIS DALAM KEGIATAN BISNIS Agus Vijayantera, I Wayan
Jurnal Komunikasi Hukum Vol 6 No 1 (2020): Februari, Jurnal Komunikasi Hukum
Publisher : Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23887/jkh.v6i1.23445

Abstract

Perjanjian tidak tertulis merupakan perjanjian yang sering digunakan dalam transaksi bisnis pada kalangan masyarakat tradisional. Keberadaan perjanjian tidak tertulis lebih lemah jika dibandingkan dengan perjanjian tertulis khususnya dalam pembuktian ketika terjadi sengketa. Berdasarkan hal tersebut, adapun tujuan penulisan adalah untuk menganalisis keberadaan perjanjian tidak tertulis ditinjau dalam hukum perdata, serta menganalisis keunggulan dan kelemahan pembentukan dan pelaksanaan perjanjian tidak tertulis. Pada pembahasan, perjanjian tidak tertulis merupakan perjanjian yang sah dalam perspektif hukum perdata selama tidak bertentangan dengan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Keberadaan perjanjian tidak tertulis didasarkan pula pada adanya asas kebebasan berkontrak yang memberikan kebebasan para pihak untuk menentukan bentuk perjanjiannya. Perjanjian tidak tertulis memiliki keunggulan berupa efisien waktu yang digunakan untuk mencapai kesepakatan serta penggunaan rasa kepercayaan dalam pembentukan dan pelaksanaan perjanjian, sedangkan kelemahannya terletak pada pembuktian perjanjian ketika terjadi sengketa.