I Gusti Ngurah Anom
Unknown Affiliation

Published : 6 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

HARMONISASI KEARIFAN LOKAL DALAM PENEYELESAIAN PERKARA PIDANA DALAM PERSPEKTIF RUU KUHP I Wayan Wahyu Wira Udytama; Anak Agung Putu Wiwik Sugiantari; I Gusti Ngurah Anom
Jurnal Yusthima Vol. 1 No. 01 (2021): YUSTHIMA : Jurnal Prodi Magister Hukum FH Unmas Denpasar
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Mahasaraswati Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (423.048 KB) | DOI: 10.36733/yusthima.v1i01.2982

Abstract

Indonesia is a legal state with Pancasila as the basis of the state, the very dynamic legal developments in Indonesia encourage the creation of a new Criminal Code, considering that the current Criminal Code is very old, so that reforms are needed from all sides to meet the needs of the people. sense of justice and the development of the times, in the Draft Criminal Code there is respect for local wisdom which is reflected in the settlement of cases taking into account the customs in each region, of course this will result in the diversity of procedures for enforcing criminal law in Indonesia. In the criminal system, of course, a person cannot be sentenced to more than one legal system, the purpose of the punishment itself is nothing but deterrence or a deterrent effect on the perpetrator so as not to repeat his crime again, while customary law is more about restoring balance and harmony between human beings, the environment and the environment. divine pattern. Indonesia merupakan negara hukum dengan pancasila sebagai dasar negara, perkembagan hukum di Indonesia yang sangat dinamis mendorong terciptanya Kitab Undang Undang Hukum Pidana yang baru, mengingat Kitab Undang Undang Hukum Pidana yang berlaku saat ini sudah berumur sangat lama, sehingga diperlukan pembaharuan dari segala sisi guna memenuhi rasa keadilan dan perkembangan jaman, di dalam RUU KUHP terdapat penghormatan terhadap kearifan lokal yang tercermin dalam penyelesaian perkara mempertimbangkan adat istiadat di masing masing daerah, tentunya hal ini akan mengakibatkan keberagaman tata cara penegakan hukum pidana di Indonesia. Dalam sistem pemidanaan tentunya seseorang tidak dapat dijatuhi hukuman lebih dari satu sistem hukum, tujuan dari pemidanaan sendiri tidak lain adalah penjeraan atau memberikan efek jera pada pelaku agar tidak mengulangi kejahatanya kembali, sedangkan hukum adat lebih kepada pengembalian keseimbangan dan keharmonisan baik sesama manusia, lingkungan dan pola ketuhanan.
REFLEKSI ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM MEMILIH MEMORANDUM OF UNDERSTANDING SEBAGAI BENTUK LANDASAN KERJASAMA INSTITUSI I Wayan Agus Vijayantera; I Gusti Ngurah Anom
Jurnal Yusthima Vol. 2 No. 1 (2022): YUSTHIMA : Jurnal Prodi Magister Hukum FH Unmas Denpasar
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Mahasaraswati Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (657.252 KB)

Abstract

Memorandum of Understanding (MoU) merupakan bentuk landasan kerjasama yang biasa digunakan institusi. Tujuan penulisan ini untuk menganalisis konsep dan teknis pembentukan Memorandum of Understanding (MoU) sebagai landasan kerjasama institusi, dan terkait refleksi dari asas kebebasan berkontrak atas dipilihnya Memorandum of Understanding (MoU) sebagai landasan kerjasama. Memorandum of Understanding (MoU) perlu dianalisis mengingat di sistem hukum di Indonesia tidak ada pengaturannya. Atas hal tersebut, maka perlu dianalisis permasalahan hukum tersebut menggunakan metode penelitian hukum normatif. Hasil pembahasan terhadap permasalahan yakni Memorandum of Understanding (MoU) dapat digunakan sebagai landasan dalam melaksanakan kerjasama antar institusi dengan mekanisme ditindaklanjuti dengan perjanjian tertulis maupun lisan sebelum pelaksanaan aktivitas kerjasama yang menyangkut hak, kewajiban, dan sebagainya. Dipilihnya Memorandum of Understanding (MoU) sebagai landasan kerjasama antar institusi tentu merupakan cerminan dari asas kebebasan berkontrak terkait memilih bentuk landasan kerjasama sesuai dengan kebutuhan para pihak.
PERBUATAN MELAWAN HUKUM BANK DALAM LELANG HARTA WARISAN SEBAGAI JAMINAN DENGAN HAK TANGGUNGAN PERSPEKTIF KEADILAN I Gusti Ngurah Anom
Jurnal Hukum Saraswati Vol 6 No 2 (2024): JHS SEPTEMBER 2024
Publisher : Faculty of Law, Mahasaraswati University, Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

The role of banks is very important in economic development in Indonesia, especially for people who have business skills but are hampered by a lack of capital, so they need financial assistance to run their business smoothly. In accordance with the Law of the Republic of Indonesia No: 10 of 1998 concerning Banking, it is stated that when providing credit to the public, the 5 C elements must be taken into account, namely Capacity, Collateral, Character, Capital and Economic Conditions. To guarantee the safety of returning credit to the bank, the debtor is required to provide collateral to the bank, so that if the debtor is unable to repay the debt, the collateral will be sold/auctioned. In carrying out the auction of collateral objects, disputes often arise between the bank and the debtor, especially since the debtor who signed the credit agreement has died and the inheritance left behind has become collateral at the bank which is burdened with Mortgage Rights. Debtors often argue that the auction action carried out by the bank is an act against the law, as in the Civil Case Decision at the Denpasar District Court No: 1299/Pdt.G/2024/PN.DPS.The issue being discussed is whether submitting an auction by the bank for debt collateral is an unlawful act, then how is the heirs' fair protection for inherited assets as debt collateral being auctioned by the bank. The research method used is normative legal research The results of the research show that the legal protection for the debtor if the collateral is auctioned is to return the remainder of the auction proceeds to the debtor if there is still any remaining after deducting all the debtor's obligations. The auction carried out by the bank for collateral objects owned by the debtor is not an unlawful act because it is in accordance with applicable regulations
TANGGUNG JAWAB NOTARIS PENERIMAPROTOKOL NOTARIS YANG TELAH MENINGGAL DUNIA DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG JABATAN NOTARIS Ida Ayu Indira Sita Dianti; I Gusti Ngurah Anom
Jurnal Hukum Mahasiswa Vol. 5 No. 1 (2025): EDISI APRIL 2025
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Mahasaraswati Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Protokol Notaris adalah sekumpulan dokumen yang berfungsi sebagai arsip Negara dan wajib disimpan oleh notaris sesuai dengan ketentuan hukum. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan rumusan masalah dalam penelitian ini yakni bagaimanakah pengaturan Protokol Notaris dalam Undang-Undang Jabatan Notaris dan bagaimana tanggung jawab Notaris penerima Protokol Notaris yang telah meninggal dunia dalam perspektif Undang-Undang Nomor l2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pasal 65 UUJN terdapat kekaburan norma mengenai batas waktu pertanggungjawaban bagi notaris yang sudah tidak menjabat lagi atas akta yang dibuatnya. Notaris penerima protokol dari notaris yang telah meninggal dunia hanyalah menyimpan dan memelihara protokol dengan baik sebagai upaya untuk menjaga keabsahan akta dan sebagai alat bukti yang kuat, protokol Notaris wajib disimpan oleh pemegang protokol.
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KEABSAHAN AKTA RISALAH LELANG DALAM PERSPEKTIF UU JABATAN NOTARIS DAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN I Komang Gede Cahaya Wiguna; I Gusti Ngurah Anom
Jurnal Hukum Mahasiswa Vol. 5 No. 02 (2025): EDISI OKTOBER 2025 : JURNAL HUKUM MAHASISWA
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Mahasaraswati Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN), Pasal 15 ayat (2) huruf g, memberikan wewenang kepada notaris untuk membuat akta lelang; Namun, standar tersebut tidak memberikan penjelasan rinci tentang proses atau batasan wewenang ini. Sebaliknya, Peraturan PMK dengan jelas menyatakan bahwa hanya Pejabat Lelang yang telah ditunjuk dan disumpah oleh Menteri Keuangan yang boleh membuat risalah lelang. Perbedaan struktur ini dapat menimbulkan ambiguitas hukum dalam praktik penyelenggaraan lelang, sehingga menimbulkan konflik standar yang memengaruhi berbagai interpretasi atas wewenang Notaris. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana kewenangan notaris dalam pembuatan risalah lelang perspektif UU Jabatan Notaris?, dan bagaimanakah kedudukan akta lelang yang dibuat oleh notaris dikaitkan dengan akta risalah lelang yang dibuat oleh pejabat lelang?. Penelitian hukum normatif ini bersifat legislatif dan konseptual. Berdasarkan penelitian, notaris baru dapat menyusun risalah lelang setelah menjadi Pejabat Lelang Kelas II. Akibat adanya konflik normatif antara UUJN dan PMK 213/PMK.06/2020, timbul ambiguitas hukum dan perbedaan penafsiran. Akta yang disusun oleh Pejabat Lelang memenuhi kriteria formil dan materiil Pasal 1868 KUH Perdata, meskipun notaris yang bukan Pejabat Lelang tidak dapat menyusun risalah lelang. Risalah lelang harus ditandatangani oleh Pejabat Lelang Kelas II agar sah secara hukum sebagai akta asli karena hanya satu orang yang dapat menyusunnya.
PEMBATALAN SERTIFIKAT HAK MILIK AKIBAT ADANYA BIDANG TANAH TUMPANG TINDIH (OVERLAP) DI BPN BANGLI Gede Gangga Mahadhika; I Gusti Ngurah Anom; Agustina Ni Made Ayu Darma Pratiwi
Jurnal Hukum Mahasiswa Vol. 5 No. 02 (2025): EDISI OKTOBER 2025 : JURNAL HUKUM MAHASISWA
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Mahasaraswati Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Fenomena sertifikat hak milik yang tumpang tindih bukanlah hal baru dalam sistem pertanahan di Indonesia. Banyak kasus tumpang tindih yang berujung pada sengketa hukum berkepanjangan. Beberapa kasus bahkan melibatkan pihak-pihak yang memiliki kepentingan besar, seperti pengembang perumahan, perusahaan besar, hingga pemerintah daerah. Ketika terjadi tumpang tindih, pemilik sertifikat yang sah sering kali harus melalui proses hukum yang panjang dan melelahkan untuk mempertahankan haknya. Tidak jarang kasus seperti ini menimbulkan konflik sosial di masyarakat, terutama ketika tanah yang menjadi objek sengketa telah ditempati atau dikelola dalam jangka waktu yang lama. Dari latar belakang masalah yang sudah diuraikan di atas, diperoleh rumusan masalah yaitu faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tumpang tindih sertifikat hak milik dan pelaksanaan pembatalan sertifikat hak milik akibat adanya bidang tanah tumpang tindih (overlap). Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis empiris dan bersifat deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tumpang tindih sertifikat hak milik disebabkan oleh lemahnya sistem administrasi pertanahan, kurangnya koordinasi antarinstansi, serta minimnya pengawasan dalam pengukuran dan penerbitan sertifikat. Kurangnya pemahaman masyarakat terhadap prosedur pertanahan, ketidakjelasan batas fisik, dan data waris yang tidak akurat memperparah kondisi. Kesimpulan dalam penelitian ini adalah pembatalan sertifikat dilakukan secara administratif oleh BPN melalui verifikasi data fisik dan yuridis, namun sering terhambat oleh keterbatasan data, prosedur rumit, dan sengketa hukum. Proses ini harus transparan, adil, serta mengutamakan mediasi untuk mencegah konflik lanjutan.