Yosef Adityanto Aji
Jln. Parangtritis Km 6,5 Bantul, Yogyakarta 55001

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

Sanggar Seni “Bao Daya” di Lombok Timur Menyongsong Industri Pariwisata Aji, Yosef Adityanto
Journal of Urban Societys Arts Vol 12, No 1 (2012): April 2012
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Sanggar Seni “Bao Daya” di Desa Lenek Tengah Kabupaten Lombok Timurmerupakan kelompok kesenian yang sangat membantu program pemerintah untukmenunjukkan jati diri kesenian. Semua seni pertunjukan yang ditampilkan untukmenjamu wisatawan berakar dari budaya masyarakat setempat. Keunikan dankeunggulan produk berusaha ditampilkan oleh kelompok ini sebagai citra darisuatu daerah. Metode kualitatif digunakan untuk melihat fenomena yang terjadidan berkembang pada situasi sosial di sanggar-sanggar seni di desa Lenek Tengah.Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa sanggar seni “Bao Daya” memberikankonstribusi yang besar terhadap kehidupan pariwisata dan kelangsungan hidupanggota masyarakat di sekitarnya selain itu keterlibatan pengelola seni besertaanggota keluarganya menjadi faktor utama dari keberlanjutan dan regenerasi senitradisi di Lombok Timur. Keberlanjutan hidup kelompok kesenian ini selainbergantung pada aktivitas anggota untuk selalu menyiapkan seni pertunjukan yangditampilkan juga ketersediaan sumber daya manusia sebagai pelakunya. Sejalandengan itu, kelangsungannya tergantung pula pada kehadiran wisatawan danpengelolaan organisasi secara profesional. The Art Studio “Bao Daya” in East Lombok - Welcome the Tourism Industry.The activities of the art studio “Bao Daya” in the village of East Lombok, Lenek Tengah,are very helpful to support the local government programs showing the identity of arts.All performing arts which are performed for tourists to entertain rooted from the localculture. The uniqueness and superiority of products are showed by this studio as theimage of a certain area. However, the studio not only shows the performances that serveas the performance for the tourists, but also is aimed to create service products that areutilized by the supporters of certain community.Although the management orientation tends to meet the needs of economy, the coachingand regeneration are not totally ignored. Trainings are continuously carried out and theyalso encourage children to practice and perform as well. The sustainability of this artstudio depends on the activity of its members who always prepare an art performanceand also on the availability of its human resources as the main actors. Correspondingly,its sustainability depends also on the presence of tourists and the professional managementof the organization.
BEKSAN BANDABAYA REPRESENTASI AJARAN KEPEMIMPINAN ASTHABRATA K.G.P.A.A. PAKU ALAM IX Aji, Yosef Adityanto
Joged Vol 23, No 2 (2024): OKTOBER 2024
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/joged.v23i2.14158

Abstract

RINGKASANPenelitian ini akan menjelaskan konsep kepemimpinan antara Beksan Bandabaya dengan naskah Asthabrata di Pura Pakualaman pada masa K.G.P.A.A. Paku Alam IX (bertahta 1999— 2015). Tari yang Bandabaya berasal dari masa K.G.P.A.A. Paku Alam II (bertahta 1829—1858). Beksan Bandabaya merupakan tari yang disajikan oleh empat orang penari laki-laki berkarakter gagah, menggambarkan prajurit yang sedang berlatih perang dengan menggunakan pedang dan perisai. Berdampingan dengan tari, terdapat karya sastra mengenai Asthabrata yang juga berasal dari masa K.G.P.A.A. Paku Alam II. Asthabrata merupakan ajaran kepemimpinan yang ideal melalui teladan karakter 8 dewa. Masing-masing adalah Batara Indra berkarakter bijak bestari, Batara Yama berkarakter adil dalam menegakkan hukum, Batara Surya berkarakter cermat dalam urusan keuangan, Batara Candra mempunyai pesona dan kepribadian yang memikat, Batara Bayu berkepribadian kuat dan tidak mudah terhasut, Batara Wisnu berkarakter asketis dan petapa, Batara Brama mempunyai karakter berani dan mahir bersiasat, dan Batara Baruna mempunyai karakter bersahaja dan mampu mengayomi. Pada masa K.G.P.A.A. Paku Alam IX terdapat 12 manuskrip dan sebuah buku tercetak berisi ajaran kepemimpinan yang bernama Asthabrata tersebut. Beksan Bandabaya dan Asthabrata diteliti menggunakan pendekatan etnografi dengan sudut pandang emik maupun etik.ABSTRACTThis research tries to explain the relationship between a choreography called Beksan Bandabaya and a script entitled Asthabrata in the reign of Prince Paku Alam IX (reigned in 1999—2015). Dances in Pura Pakualaman are never directly related to or become a means of a ritual. One of the dances which is often performed in some occasions is Beksan Bandabaya. Beksan Bandabaya is a male dance with gallant characteristic. The dance is performed by four male dancers, which depicts 4 soldiers exercising their fighting, using their sword and shield. This dance, which was created in the reign of Paku Alam II (reigned in 1829—1858), was also performed outside the Pakualaman palace. Alongside with the dance, there is a literary work about Asthabrata, which was also originated in the reign of Prince Paku Alam II. Asthabrata is an idealistic leadership teaching through the example of 8 Gods. They are Batara Indra, who is wise, Batara Yama, who is just in upholding the law, Batara Surya, who is careful in managing money, Batara Candra, who has a great charm with exciting personality, Batara Bayu, who has a strong personality and firm, Batara Wisnu, who is ascetic and he is also a hermit, Batara Brama, who is brave and clever, and Batara Baruna, who is humble and protective. In the reign of Prince Paku Alam IX, there were 12 manuscripts and a printed book about the leadership teaching entitled Asthabrata. The two material objects above, Beksan Bandabaya and Asthabrata were observed with ethnographic approach with emic and ethic point of view. Beksan Bandabaya was analyzed and interpreted by using the theory of symbolic interactionism, while the leadership teaching of Asthabrata was analyzed and interpreted by using a leadership concept.