Farid Anfasa
Fakultas Hukum Universitas Lampung

Published : 4 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI KEDELAI BERSUBSIDI (StudiPutusanPengadilanNegeriTanjungKarang No.26/Pid.TPK/2012/PN.TK) Anfasa, Farid
JURNAL POENALE Vol 1, No 2: JURNAL POENALE
Publisher : FAKULTAS HUKUM UNILA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tindak pidana korupsi telah menjadi suatu kejahatan yang luar biasa (extra-ordinary crime), Upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa tetapi dituntut dengan cara yang luar biasa yang dilakukan dengan cara-cara khusus, langkah-langkah yang tegas dan jelas dengan melibatkan semua potensi yang ada dalam masyarakat khususnya pemerintah dan aparatpenegak hukum. Salah satu contoh yang terkait dengan korupsi adalah Program Penyaluran Subsidi harga kedelai yang disalurkan kepada pengrajin tahu/tempe. Permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana korupsi subsidi harga kedelai dan apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi tersebut. Metode penelitian  yang digunakan adalah normative empiris yang menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari melalui studi lapangan dan data sekunder diperoleh dari studi pustaka. Sedangkan analisis data dilakukan dengan cara analisis kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian dan hasil pembahasan dapat diketahui bahwa perbuatan yang dilakukan terdakwa merupakan perbuatan yang dapat dipertanggungjawabkan karena perbuatan tersebut telah melawan hokum dan terdapat unsur-unsur tindakpidana yang telah terbukti dan dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu, sesuai dalam teori pertanggungjawaban pidana terdakwa mampu bertanggungjawab atas perbuatan yang telah dilakukanya, perbuatan tersebut juga dilakukan dengan kesengajaan atau kealpaan sehingga perbuatan terdakwa tidak memiliki alasan pemaaf. Dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan  sanksi pidana terhadap pelaku Tindak Pidana Korupsi yaitu dengan memperhatikan pada pertimbangan hakim yaitu kepastian hukum, rasa keadilan dan kemanfaatan serta memperhatikan fakta-fakta yuridis yang terungkap didalam persidangan maupun diluar persidangan.
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI KEDELAI BERSUBSIDI (StudiPutusanPengadilanNegeriTanjungKarang No.26/Pid.TPK/2012/PN.TK) Anfasa, Farid
JURNAL POENALE Vol 2, No 4: JURNAL POENALE
Publisher : Universitas Lampung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tindak pidana korupsi telah menjadi suatu kejahatan yang luar biasa (extra-ordinary crime), Upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa tetapi dituntut dengan cara yang luar biasa yang dilakukan dengan cara-cara khusus, langkah-langkah yang tegas dan jelas dengan melibatkan semua potensi yang ada dalam masyarakat khususnya pemerintah dan aparatpenegak hukum. Salah satu contoh yang terkait dengan korupsi adalah Program Penyaluran Subsidi harga kedelai yang disalurkan kepada pengrajin tahu/tempe. Permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana korupsi subsidi harga kedelai dan apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi tersebut. Metode penelitian  yang digunakan adalah normative empiris yang menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari melalui studi lapangan dan data sekunder diperoleh dari studi pustaka. Sedangkan analisis data dilakukan dengan cara analisis kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian dan hasil pembahasan dapat diketahui bahwa perbuatan yang dilakukan terdakwa merupakan perbuatan yang dapat dipertanggungjawabkan karena perbuatan tersebut telah melawan hokum dan terdapat unsur-unsur tindakpidana yang telah terbukti dan dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu, sesuai dalam teori pertanggungjawaban pidana terdakwa mampu bertanggungjawab atas perbuatan yang telah dilakukanya, perbuatan tersebut juga dilakukan dengan kesengajaan atau kealpaan sehingga perbuatan terdakwa tidak memiliki alasan pemaaf. Dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan  sanksi pidana terhadap pelaku Tindak Pidana Korupsi yaitu dengan memperhatikan pada pertimbangan hakim yaitu kepastian hukum, rasa keadilan dan kemanfaatan serta memperhatikan fakta-fakta yuridis yang terungkap didalam persidangan maupun diluar persidangan.
Islamic Family Law Perspective on Marrying Pregnant Women Anfasa, Farid; Ja’far, A. Kumedi
At-Tahdzib: Jurnal Studi Islam dan Muamalah Vol 12 No 2 (2024): At-Tahdzib
Publisher : Sekolah Tinggi Agama Islam At-Tahdzib, Ngoro, Jombang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.61181/at-tahdzib.v12i2.465

Abstract

Background. Sexual intercourse between a man and a woman without a valid marriage contract is called zina. Zina does not differentiate between a girl, a man, a husband or a widow, a wife or a widower. Islamic law strictly forbids zina, never even approaching zina. One of the consequences of zina is pregnancy outside of marriage.. Aims. This article examines pregnant marriage from the perspective of Islamic law in the four imams of the school of thought, and the Compilation of Islamic Law. Method. The study uses a normative legal approach. Results. Pregnant marriage is a marriage with a woman who is pregnant outside of marriage, either married to the man who impregnated her or to the man who did not impregnate her. The Marriage Law only implicitly regulates the marriage of pregnant women, namely in Article 2 paragraph (1). The Compilation of Islamic Law regulates the marriage of pregnant women in Article 53. The differences of opinion among scholars regarding the marriage of pregnant women due to adultery do not bring blessings to the community. The Compilation of Islamic Law states that children resulting from adultery legally do not have a kinship relationship with their father, even though the father formally acknowledges and legitimizes that the child is his own child. They do not have the intended relationship, be it family relationships, guardianship in marriage or inheritance issues. The child only has a bloodline relationship with his mother.
Analisis Konsep Keadilan dalam Hukum Islam dan Implikasi terhadap Moderasi Beragama Anfasa, Farid; Ja'far, A. Khumedi
Moderasi : Journal of Islamic Studies Vol. 5 No. 2 (2025): Desember (On Progress)
Publisher : Lajnah Ta'lif wan Nasyr Nahdlatul Ulama (LTN-NU) Kabupaten Probolinggo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.54471/moderasi.v5i2.98

Abstract

This study examines the Islamic concept of justice and its implications for strengthening religious moderation in increasingly plural and globalized societies. Justice, as a foundational principle in Islamic legal and ethical thought, encompasses theological, juridical, social, and moral dimensions that emphasize fairness, equality, human dignity, and the protection of rights without discrimination. Using a qualitative design grounded in a normative–theological approach and an extensive review of primary Islamic sources—including the Qur’an, hadith, and classical as well as contemporary juristic scholarship—this research analyzes the multidimensional structure of justice within Islamic law. The findings reveal six major conceptual domains: divine command justice, impartial justice beyond social status or group identity, judicial justice, socio-economic justice, interreligious justice, and justice within family and gender relations. These dimensions demonstrate a strong doctrinal alignment with the core principles of religious moderation (wasathiyyah), particularly balance, tolerance, equality, and openness. The study argues that embedding justice as the ethical foundation of religious moderation offers a substantive framework for countering extremism, reducing intolerance, and fostering inclusive coexistence. This research contributes to contemporary Islamic discourse by positioning justice as a strategic theological resource for promoting moderate, adaptive, and humanistic religious practices in the context of modern diversity.