Pemberlakuan UU Desa seharusnya memberikan kewenangan yang lebih besar kepada Desa untuk mengelola urusan pemerintahan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat. Hal ini didukung dengan adanya Dana Desa. Alokasi Dana Desa dilakukan dengan menggunakan alokasi yang dibagi rata dan alokasi yang dibagi berdasarkan jumlah penduduk, wilayah, tingkat kemiskinan dan tingkat kesulitan geografis. Dana Desa memberikan wewenang kepada Desa untuk mengelola sumber dayanya dengan tetap mempertimbangkan kebutuhan prioritas, kondisi geografis, dan kearifan lokal. Namun, dalam penggunaannya, Dana Desa diatur dalam kebijakan teknokratis matematis. Penerapan kebijakan teknokratis yang tidak mempertimbangkan kearifan lokal dan kapasitas Desa seringkali menghambat efektivitas kebijakan tersebut. Desa harus memiliki fleksibilitas untuk menyesuaikan kebijakan dengan kebutuhan spesifik komunitas mereka. Namun, pada kenyataannya, Desa sering terjebak dalam prosedur yang terlalu teknis dan birokrasi yang mengurangi pelaksanaan kewenangan Desa. Tulisan ini ditulis dengan menggunakan metodologi penelitian kualitatif deskriptif. Dokumentasi, wawancara, dan observasi adalah metode pengumpulan yang digunakan. Pengurangan data, penyajian data, dan pembuatan kesimpulan atau verifikasi digunakan untuk memeriksa temuan penelitian. Tiga belas peserta berperan sebagai informan untuk penelitian ini. Temuan studi menunjukkan bahwa pengelolaan dana desa secara teknokratis Desa Keputran telah membatasi kemampuan desa untuk menerima saran dari masyarakat dan hasil musyawarah desa. Desa hanya dapat menjalankan kewenangannya dalam batas-batas pemilihan program, lokasi program dan pemilihan penerima manfaat sesuai dengan kewenangannya. Pemerintah supra desa harus menggunakan semangat kekuasaan untuk memberdayakan Desa melalui visi transformatif dan pendekatan fasilitatif sehingga Desa mampu mengakomodir aspirasi masyarakat Desa sesuai dengan kebutuhan Desa tanpa harus terikat belenggu teknokrasi.