Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

Menyoal Pasal Penghinaan Presiden dalam KUHP: Antara Proporsionalitas Prinsip Primus Inter Pares atau Kemunduran Demokrasi Saputro, Lilik Agus; Anwar, Ahmad Syaifudin
WICARANA Vol 2 No 1 (2023): Maret
Publisher : Kantor Wilayah Kementerian Hukum Daerah Istimewa Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.57123/wicarana.v2i1.32

Abstract

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan instrumen penting dalam sebuah sistem negara hukum. Karena eksistensi KUHP yang berlaku akan menjadi aturan dan pedoman bagi masyarakat dalam bernegara. Oleh karena itu, momen disahkannya KUHP nasional menjadikan negara Indonesia semakin merdeka secara de facto maupun de jure dalam segi ketatanegaraannya. Secara substansinya, KUHP baru ini jauh lebih baik daripada produk KUHP peninggalan kolonial Belanda. Namun, ada salah satu pasal yang berpotensi menghambat demokratisasi bagi negara Indonesia, yakni pasal perlindungan terhadap harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden. Tulisan ini berusaha untuk memberikan analisa bagaimana proporsionalitas primus interpares (pertama dari sederajat) dalam pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dalam negara demokrasi. Penelitian menggunakan jenis yuridis normatif bertujuan untuk menemukan aturan-aturan hukum serta norma untuk menjawab isu hukum yang dihadapi sehingga dapat ditemukan penyelesaian masalah terkait isu yang diteliti. Hasil penelitian dalam penulisan ini menunjukkan bahwa adanya pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden semakin menjauhkan nilai-nilai demokrasi dalam suatu negara, karena hak rakyat dalam beraspirasi terancam dengan Pasal Penghinaan Presiden. Karena pasal penghinaan ini bukan lagi pemenuhan hak Presiden atas primus interpares, sebab dalam negara demokrasi Presiden adalah insititusi yang tidak mempunyai emosional sehingga mustahil terhina oleh dinamika demokrasi yang berlangsung.
Perlindungan Hukum Penghayat Kepercayaan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016 Perspektif Hukum Responsif Anwar, Ahmad Syaifudin; Baskoro, Aji
Staatsrecht: Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam Vol. 2 No. 1 (2022): Staatsrecht Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/staatsrecht.v2i1.2803

Abstract

Abstract: Indigenous People Adherents are a group that currently still exists in Indonesia. Their existence actually existed long before the existence of the Indonesian state itself. This group has spiritual values that they inherited and preserved from their ancestors in ancient times. However, their existence before the Constitutional Court Decision Number 97/PUU-XIV/2016 was often marginalized, and received discriminatory services. Finally, the Constitutional Court decided that the application for a judicial review of the Adminduk Law was contrary to the constitution. This study is a normative research library study. The data used is secondary data which consists of several legal materials including primary legal materials, secondary legal materials, and tertiary legal materials. The approach in this study is the statute approach conceptual approach, and finally historical approach. There are 2 (two) questions that the writer will examine. First, how is the protection of followers of the belief after the Constitutional Court Decision Number 97/PUU-XIV/2016. The second is how to protect Indigenous People's Adherents of the a quo Post Decision Belief in a responsive legal perspective. In this study, the authors found that the current Indonesian government has issued legal products after the quo decision. Existing regulations can at least protect them in Indonesia. Especially in the public service sector which is the main door to obtaining services and other rights. When viewed from a responsive legal perspective, it can be interpreted that the Indonesian government is in line. Even though some regulations still have not optimally regulated the protection of adherents of belief. The Indonesian government has responded well by issuing legal products after the decision of the Constitutional Court was decided.Kewords: Indigenous People Adherents; Constitutional Court; Human Rights: Responsive Law; Legal ProtectionAbstrak: Penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa merupakan kelompok yang saat ini masih eksis di Indonesia. Keberadaan mereka sebenarnya sudah ada jauh sebelum adanya negara Indonesia itu sendiri. Kelompok ini memiliki nilai-nilai spiritual yang mereka warisi dan lestarikan dari nenek moyang atau leluhur pada zaman dahulu. Namun, keberadaan mereka sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016 kerap kali termarginalkan dan mendapatkan pelayanan diskriminatif. Akhirnya Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa permohonan judicial review UU Adminduk bertentangan dengan konstitusi. Kajian ini merupakan kajian library research normatif. Data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari beberapa bahan hukum meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Pendekatan dalam penelitian ini adalah statute approach, conseptual approach, terakhir historical approach. Terdapat 2 (dua) pertanyaan yang akan penulis teliti. Pertama, bagaimana perlindungan terhadap penghayat kepercayaan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016. Kedua bagaimana perlindungan terhadap Penghayat Kepercayaan Pasca Putusan a quo dalam kaca mata hukum responsif. Hasil dari kajian ini penulis menemukan bahwa pemerintah Indonesia saat ini sudah mengeluarkan produk-produk hukum pasca adanya putusan a quo. Regulasi yang ada setidaknya dapat menjadi pelindung para penghayat kepercayaan yang ada di Indonesia. Terlebih dalam sector pelayanan public yang menjadi pintu utama untuk memperoleh pelayanan dan hak-hak lainnya. Apabila ditinjau dalam kaca mata hukum responsif dapat diartikan bahwa pemerintah Indonesia telah sejalan. Meskipun memang masih terdapat beberapa peraturan yang belum optimal mengatur mengenai perlindungan terhadap penghayat kepercayaan. Pemerintah Indonesia telah merespon dengan baik dengan mengeluarkan produk-produk hukum pasca diputuskannya putusan Mahkmah Konstitusi.Kata kunci: Pengahayat Kepercayaan; Mahkamah Konstitusi; Hak Asasi Manusia; Hukum Responsif; Perlindungan Hukum
Kemandirian Kekuasaan Kehakiman dalam Mekanisme Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Konstitusi Anwar, Ahmad Syaifudin; Saputro, Lilik Agus
Staatsrecht: Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam Vol. 2 No. 2 (2022): Staatsrecht Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/staatsrecht.v2i2.2877

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk membahas mengenai pola seleksi Hakim di Mahkamah Konstitusi yang sesuai dengan asas-asas kekuasaan kehakiman sebagaimana mestinya. Walaupun penekanan dalam Undang-Undang menyebutkan bahwa mekanisme seleksi Hakim Konstitusi dijalankan berdasarkan prinsip akuntabel dan transparan, namun ketentuan tersebut masih memungkinkan untuk ditafsirkan bebas oleh masing-masing lembaga dalam pelaksanaan proses seleksi Hakim Konstitusi itu sendiri. Atas dasar inilah kemudian lahir berbagai macam corak mekanisme seleksi yang beda-beda. Terkadang bentuk pelaksanaan seleksi dilaksanakan secara internal dan mutlak oleh lembaga tersebut, dan adakalanya seleksi dilakukan oleh tim panitia seleksi yang modelnya beragam. Ada yang panitia seleksi bagian dari lembaga pengusul dan dari pihak eksternal yaitu akademisi, praktisi dan mantan Hakim Konstitusi. Kajian yang dilakukan penulis menggunakan metode kajian hukum normatif yang menggunakan pendekatan undang-undang dan pendekatan konsep dan sumber data dalam kajian. Kemudian pokok bahasan yang dihasilkan Periode masa jabatan hakim konstitusi 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya merupakan open legal policy dan belum pernah dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 oleh MK. Meskipun demikian, periode masa jabatan hakim konstitusi perlu diubah dengan memperpanjang masa jabatan menjadi 9 (sembilan), 10 (sepuluh), atau 12 (dua belas) tahun tanpa ada tambahan periode kedua. Masa jabatan yang diperpanjang tanpa periode ini perlu dikombinasikan dengan usia pensiun 70 (tujuh puluh) tahun, sehingga hakim konstitusi berhenti dengan hormat pada saat berusia 70 (tujuh puluh) tahun atau telah menyelesaikan masa jabatannya.
Obligasi Syariah di Indonesia Tinjauan Terhadap Jenis dan Penerapan Akad Serta Perlindungan Hukum Bagi Investor Mena Amertha, Nevada Della; Anwar, Ahmad Syaifudin
Az-Zarqa': Jurnal Hukum Bisnis Islam Vol. 13 No. 2 (2021): Az-Zarqa'
Publisher : Sharia and Law Faculty of Sunan Kalijaga Islamic State University Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/azzarqa.v13i2.2401

Abstract

Pasar modal adalah tempat yang mempertemukan pihak investor dan pihak perusahaan. obligasi Syariah menjadi salah satu instrument yang tersedia dalam pasar modal. Obligasi Syariah sebagai alternatif bagi investor untuk menginvestasikan dana selain dalam instrument saham dan juga reksa dana, namun patut untuk diperhatikan bahwa bagaimana pengaturan hukum terkait legitimasi obligasi Syariah tersebut, serta jenis akad yang dipergunakan dan bagaimana penerapannya serta yang paling esensial adalah bagaimana perlindungan hukum bagi investor yang telah memilih obligasi Syariah sebagai alternatif dalam berinvestasi. penelitian ini termasuk dalam penelitian normative, yang merujuk kepada peraturan perundangan dan juga literatur terkait. Dan hasil dari penelitian ini adalah Pengaturan mengenai prinsip-prinsip syariah pada obligasi syariah sudah diatur secara lengkap pada peraturan perundang-undangan di Indonesia, meliputi Undang-Undang No.8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal Syariah, Peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Lembaga terkait serta fatwa DSN-MUI, akad yang dipergunakan dalam obligasi Syariah adalah akad mudharabah dan juga akad ijarah akan tetapi penggunaan  akad  ijārah  muntahiya  bi  al-tamlīk  dalam  Sukuk Ijarah menjadi persoalan karena aplikasi akad tersebut membuka peluang terjadi riba dalam bentuk yang sama dengan bai‟ al-„īnah. Perlindungan terhadap investor diatur dalam pasal 1 butir 7 dan 45 Undang-Undang 8 Tahun 1995 mengenai asas keterbukaan serta adanya jaminan dari MUI dan DSN sebagai legitimasi kebenaran secara syariat atas instrument investasi tersebut.Kata kunci ; Investor, Akad, obligasi Syariah