Alwin Darmawan
Unknown Affiliation

Published : 4 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

Peranan geologi tata lingkungan dalam penataan ruang Kota Padang pasca Gempa Bumi 30 September 2009 Andiani Andiani; Alwin Darmawan; Indra Badri; Arief Kurniawan
Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi Vol 2, No 2 (2011)
Publisher : Badan Geologi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (5173.155 KB) | DOI: 10.34126/jlbg.v2i2.24

Abstract

SARIGempa bumi Padang-Pariaman yang terjadi pada tanggal 30 September 2009 berkekuatan 7,6 SR telah mengakibatkan korban jiwa dan harta benda di Kota Padang dan sekitarnya. Pasca kejadian gempa bumi, Kota Padang memasuki tahap rehabilitasi dan rekonstruksi yang diawali dengan penyusunan kembali rencana tata ruang wilayah tersebut. Penyusunan kembali rencana tata ruang wilayah kota Padang pasca gempa bumi merupakan tahap yang sangat menentukan karena tata ruang akan menentukan apakah wilayah ini menjadi semakin rentan atau semakin kuat ketahanannya di masa datang dalam menghadapi bencana yang sama. Meningkatnya ketahanan wilayah ini dapat tercapai bila unsur-unsur geologi lingkungan berupa kendala geologi dan sumber daya geologi diintegrasikan dalam rencana tata ruang wilayah. Analisis geologi lingkungan ditujukan untuk dapat memberikan informasi lingkungan geologi yang sesuai dengan penggunaan lahan untuk memperkecil dampak negatif yang diakibatkan oleh suatu pengembangan wilayah. Metoda yang digunakan untuk menunjang pemetaan geologi lingkungan yaitu berdasarkan pada analisis aspek geologi lingkungan seperti faktor kondisi fisik topografi, geologi, keairan, kebencanaan/ proses geodinamika dan unsur lainnya yang terkait, seperti penggunaan lahan dan rencana tata ruang wilayah. Berdasarkan hasil analisis menunjukkan tiga zona keleluasaan untuk pembangunan Kota Padang, yakni leluasa, cukup leluasa, dan agak leluasa. Hasil analisis ini dapat digunakan sebagai dasar untuk mengevaluasi terhadap tata ruang yang ada. Evaluasi terhadap tata ruang menunjukkan kawasan yang saat ini merupakan kawasan budi daya berada pada zona agak leluasa - leluasa, adapun kawasan lindung berada pada zona agak leluasa - cukup leluasa. Dengan demikian pengembangan kegiatan perdagangan, jasa dan industri di dalam kawasan budi daya harus mempertimbangkan masalah tanah lunak, sedangkan pengembangan kegiatan perdagangan, jasa, industri dan pemukiman di dalam kawasan lindung harus mempertimbangkan faktor keselamatan, dalam hal ini harus disesuaikan dengan aspek bencana geologi yang ada pada kawasan tersebut.Kata kunci: gempa bumi, tata ruang, geologi lingkungan ABSTRACTPadang-Pariaman earthquake that occurred on September 30 th, 2009 measuring the magnitude of 7.6 in Richter Scale had resulted in loss of life and property in the city of Padang and the surrounding areas. Post-earthquake events, Padang entered the stage of rehabilitation and reconstruction that began with the rearrangement of spatial planning of the area. Rearrangement of the spatial planning of the city of Padang after the earthquake is a crucial stage because the layout will determine whether the vulnerability of the region is becoming less or even more resistant against the same disaster in the future. The increase of resistance of this region can be achieved if the elements of environmental geology in the form of geological constraints and geological resources are integrated in regional planning. Analysis of the environmental geology is intended to provide information of geological environment in accordance with the land use to minimize the negative impacts caused by regional development. Based on analysis results there are three zones of discretion for the development of Padang city namely spacious, fairly spacious, and rather spacious. This analysis result can be used as the basis to evaluate the existing spatial planning. Based on the evaluation of the spatial planning shows that the current area is a cultivation zone that lies in rather spacious to spacious zone, whereas the protected zone lies in rather spacious to fairly spacious zone. There by, the development of trade, services and industry in the area of cultivation should consider the problem of soft ground, while the development of trade, services, industry and residential agricultural region should not be considered the factor of safety, in this case, they must adapt to aspects of the geological hazards in the region.Keywords: earthquake, planning of the area, environmental geology
Tinjauan geologi lingkungan terhadap wilayah bencana aliran bahan rombakan di Wasior Papua Barat Alwin Darmawan; Wahjono Wahjono; Andiani Andiani; Dikdik Riyadi
Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi Vol 2, No 3 (2011)
Publisher : Badan Geologi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3739.201 KB) | DOI: 10.34126/jlbg.v2i3.29

Abstract

SARIWilayah Wasior berada di pesisir pantai di kaki Pegunungan terjal Wondiboy Kabupaten Teluk Wondama Papua Barat. Aliran bahan rombakan pada tanggal 4 Oktober 2010 telah terjadi secara bersamaan di 8 alur sungai di bagian barat lereng Pegunungan Wondiboy. Dari hasil pemetaan bencana pasca kejadian hanya 3 alur sungai, yaitu Sungai Anggris, Sungai Sanduai, dan Sungai Rahu, yang telah merenggut 163 korban tewas, 91 orang luka berat, 3374 orang luka ringan/berobat dan 121 orang hilang. Penilaian geologi lingkungan diawali dari tahap pertama, yaitu analisis kondisi geomorfologi dan geologi daerah pebukitan dibentuk oleh batuan Genes dengan kemiringan lereng yang ekstrem (70°), tiba-tiba berubah menjadi datar di daerah yang sempit, yang dibentuk oleh endapan kipas alluvial (alluvial fan). Tahap kedua, yaitu analisis terhadap 8 subdas alur sungai yang menunjukkan bahwa alur Sungai Sandui adalah yang terluas 27,75 km2, disusul Sungai Rahu 18,63 km2 dan Sungai Anggris 14,79 km2. Dari data curah hujan pada saat kejadian bencana, yaitu 157 mm/hari, besarnya debit aliran sungai Sungai Sanduai 257,3 m3/det., Sungai Rado 172,7 m3/det dan Sungai Anggris 137,1 m3/det, yaitu melebihi debit normal 68,5 m3/det. Tahap ke tiga merupakan pemetaan situasi kejadian gerakan tanah di 8 subdas aliran sungai yang menunjukkan bahwa longsoran bahan rombakan (debris slide) banyak terjadi di 3 subdas alur sungai Sungai Anggris, Sungai Sanduai dan Sungai Rado. Di Sungai Anggris dan Sungai Sanduai material bahan rombakan berupa bongkah-bongkah batu dan batang-batang kayu, sedangkan pada alur Sungai Rado dominan batang- batang kayu dan Lumpur. Tahap ke empat merupakan rekonstruksi dari mekanisme proses terjadinya bencana banjir bandang yang diakibatkan oleh jebolnya bendungan alam pada alur sungai, terdiri atas batang-batang kayu dan material longsoran. Tahap ke lima merupakan penyusunan peta geologi lingkungan yang berupa arahan pemanfaatan lahan dan rekomendasi teknis, terkait dengan potensi bencana alam aliran bahan rombakan yang kemungkinan akan terjadi di waktu mendatang.Kata kunci: aliran bahan rombakan, geologi lingkungan, pemanfaatan lahan, WasiorABSTRACTWasior is located at the coastal area at the foot of steep Wondiboy Wondama Bay District of West Papua. The debris flow of 4 October 2010 occurred simultaneously in eight river flows at the western part of Wondiboy Mountains. The disaster mapping carried out after the event there were only three rivers namely Anggris, Sanduai, and Rahu which had caused 163 deaths, 91 people were seriously injured, 3374 people were slightly injured and 121 people missing. Assessment of environmental geology of catastrophic events began with the first stage, namely the analysis of geological and geomorphological conditions that the ridge formed by gneiss with an extreme slope (70°), was suddenly turned into a narrow flat area, which was formed by alluvial fan deposits (alluvial fan). The second stage, is analyzing the 8 sub watersheds showed that the largest river basins is River Sandui 27.75 km2, River Rahu 18.63 km2 and River Anggris 14.79 km2. Calculation of rainfall data at the time of the event which was 157 mm/day, the discharge of River Sandui 257.3 m3/sec than River Rado 172.7 m3/sec and River Anggris 137.1 m3/ sec, which exceeds the normal discharge 68.5 m3/sec at the time of the incident. The third stage is a mapping of the situation of the landslide in 8 sub watersheds indicate that avalanches (debris slides) frequently occur in three river watersheds namely River Anggris, River Sanduai and River Rado, with debris material in the form of blocks of rocks and logs, whereas in River Rado is dominantly logs and mud. The fourth stage is a reconstruction of the mechanism of the occurrence of the flood events caused by the collapse of natural dam in the river flow by logs and avalanche material. The fifth stage is the preparation of environmental geologic map in the form of land use guidance and technical recommendations, related to the potential debris flow which is likely to occur in the future.Keywords: debris flow, environmental geology, land use, Wasior
Pengaruh genangan Bendung Sedau terhadap kestabilan lereng Lembah Cerorong, Kabupaten Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat Alwin Darmawan; Dadi Supardi
Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi Vol 3, No 1 (2012)
Publisher : Badan Geologi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (855.344 KB) | DOI: 10.34126/jlbg.v3i1.36

Abstract

SARILembah yang berarah timur laut-barat daya di sekitar Kampung Cerorong tersusun oleh tuf berbatu apung sangat peka terhadap aktivitas tektonik dan perubahan lingkungan, seperti berkurangnya vegetasi dan berkembangnya wilayah pemukiman. Kemiringan dasar lembah sebesar 25-30% yang melandai ke arah hilir dan memperlihatkan lembah terpotong yang berbatasan dengan lembah alur Sungai Sedau dan juga merupakan bagian dari daerah Bendung Sedau. Hampir semua lerengnya tertoreh akibat erosi yang kuat, sehingga terbentuk gawir maupun tebing tegak yang tingginya 4-15 m, diperkirakan adalah suatu fenomena “erosi ke hulu” (headward erosion). Secara terus-menerus terjadi gerakan tanah yang sema kin lama bertambah luas. Keberadaan bendung Sedau di bagian hilirnya, menyebabkan kedudukan muka air tanah dan zona jenuh air di daerah lembah menjadi lebih tinggi, sehingga kecenderungan terjadinya gerak an tanah di lereng lembah menjadi semakin tinggi. Oleh karena itu, pada musim hujan tingkat kejadian gerakan tanah pada lereng tersebut menjadi lebih tinggi. Selama musim hujan aliran air di dasar lembah bertambah besar ke arah hilir, sehingga mengakibatkan pengikisan (piping) pada lereng bagian bawah, akibatnya terjadi ceruk, gerowong, dan lubang torehan. Pada saat massa tanah/batuan pada lereng jenuh air, bobot massanya bertambah besar, sedangkan kekuatan geser berkurang, menyebabkan tahanan samping (lateral support) pada lereng tidak kuat menahan beban dari massa tanah/batuan yang berada di atasnya, sehingga terjadi runtuhan/ambrukan dan longsoran. Terutama pada setiap musim hujan di sepanjang lembah tersebut terjadi gerakan tanah yang semakin lama semakin bertambah luas. Sebagian wilayah Kampung Cerorong masih dapat dihuni dengan upaya perbaikan dan penguatan pada lereng lembah, sedangkan relokasi perumahan penduduk hanya yang berada sangat dekat dengan lembah gerakan tanah.Kata kunci: erosi ke hulu, gerakan tanah, jenuh air, tahanan samping
Geologi lingkungan dan fenomena kars sebagai arahan pengembangan wilayah perkotaan Kupang, Nusa Tenggara Timur Alwin Darmawan; Heru A. Lastiadi
Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi Vol 1, No 1 (2010)
Publisher : Badan Geologi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (828.782 KB) | DOI: 10.34126/jlbg.v1i1.2

Abstract

SARIIbu Kota Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kupang tengah berbenah memperluas wilayah perkotaan. Suatu hal yang tidak mudah dilaksanakan karena hampir seluruh Kota Kupang dan daerah pengembangannya berdiri di atas batuan gamping (kars). Permasalahannya adalah kawasan kars memiliki fungsi hidrologi, proses geologi, keberadaan flora-fauna, dan nilai-nilai budaya. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian geologi lingkungan untuk mengoptimalkan manfaat dan perlindungan kawasan kars. Metode penelitian dilakukan secara deskriptif untuk mengetahui kesesuaian penggunaan lahan di kawasan kars. Kondisi bentang alam Kota Kupang berupa bentang alam yang mempunyai puncak hampir datar (punggungan menyerupai morfologi plato) memanjang utara-selatan. keberadaan punggungan plato tersebut diduga sebagai sumbu lipatan maupun jalur sesar. Selain itu wilayah Kota Kupang dan sekitarnya terdiri atas tiga mintakat, masing-masing adalah mintakat holokars, mintakat mesokars, dan mintakat non kars. Berdasarkan hasil analisis, ketiganya menjadi acuan dalam pengembangan wilayah perkotaan yang sedang dikembangkan.Kata kunci: Batuan gamping (kars), morfologi plato, holokars, mesokars, non karsABSTRACTKupang as the Capital city of East Nusa Tenggara Province, has been preparing to extend it is urban area. It is not an easy thing to do, because almost the whole area of Kupang and it developing urban area are built above limestone (karst) rocks. The problems are karst area possesses function of geological process, the existance of flora and fauna, and cultural value. That is why a research of environmental geology to optimize the advantage and karst conservation area. A descriptive research method is applied to know the adaption of land use in karst area. The landscape condition of Kupang city is a plateau like morphology stretches in North-south trend. This plateau probably as an axis of fold or a fault line. More over, the Kupang city area and the surrounding consists of three terain, they are holokarst terrain, mezokarst terrain, and non karstic terrain. Based on analysis result, three of them become a refference in developing urban areas.Keywords: Karst, morphological plateau, holokarst, mezokarst, non karstic terrain