Dudik Djaja Sidarta
Fakultas Hukum Universitas Dr. Soetomo Surabaya

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

KONSTRUKSI FILOSOFIS HALUAN NEGARA DIKAITKAN DENGAN HUBUNGAN ANTARA MPR DAN PRESIDEN SEBELUM DAN SESUDAH AMANDEMEN UUD 1945 Dudik Djaja Sidarta; Subekti .
Jurnal Hukum dan Kenotariatan Vol 6, No 1 (2022)
Publisher : Universitas Islam Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (281.557 KB) | DOI: 10.33474/hukeno.v6i1.15216

Abstract

 Adanya wacana untuk menghidupkan kembali Garis besar Haluan Negara (GBHN) yang digagas oleh para elit politik menarik untuk dikaji, mengingat sistem demokrasi di bawah Undang-Undang Dasar 1945 ( UUD 1945) sebelum amandemen menganut sistem demokrasi tidak langsung, sedangkan pada saat ini di bawah UUD 1945 amandemen menganut sistem demokrasi langsung, terbukti dalam UUD 1945 amandemen ini memberikan jaminan bahwa semua anggota perwakilan harus dipilih dan tidak ada yang diangkat lagi. Penelitian ini mengkaji dua hal yaitu status presiden terhadap MPR jika PPHN tetap dilaksanakan dihadapkan dengan status Presiden terhadap rakyat dalam rangka janji janji para calon presiden dan wakil presiden saat mereka menawarkan program kerja dalam rangka pemilihan umum demi menegakan demokrasi secara langsung, akan berjalan secara efisien dan efiektif dalam penyelenggaraan negara. PPHN yang dibuat oleh MPR akan lebih bersifat berkelanjutan seperti halnya GBHN pada masa lalu, dimana bisa bertahan sampai 30 tahun. GBHN bisa terjadi disebabkan pada masa Orde Baru tersebut penguasanya adalah partai dan rezim pimpinan Soeharto yang terus menerus berkuasa sehingga praktis GBHN bisa berkelanjutan, sedangkan saat ini dimana penguasa bisa berbeda-beda tergantung hasil pemilihan umum, sehingga anggota MPR, DPR yang juga merangkap anggota MPR dan presiden bisa berubah-ubah sehingga diprediksikan tidak akan bisa menjamin PPHN berkelanjutanKata-Kunci: PPHN, MPR, Presiden, DemokrasiThe existence of a discourse to revive the Outline of State Policy (GBHN) which was initiated by the political elite is interesting to study, considering that the democratic system under the 1945 Constitution (UUD 1945) prior to the amendments adopted an indirect democratic system, whereas at present it is under the 1945 Constitution. The 1945 amendment adopts a direct democracy system, as evidenced in the 1945 Constitution this amendment provides a guarantee that all members of the representative must be elected and no one is appointed again. This study examines two things, namely the status of the president against the MPR if the PPHN continues to be implemented in the face of the President's status against the people in the context of the promises of the presidential and vice presidential candidates when they offer work programs in the context of general elections to uphold democracy directly, will run efficiently and effective in the administration of the state. The PPHN made by the MPR will be more sustainable like the GBHN in the past, which could last up to 30 years. The GBHN could occur because during the New Order era the rulers were the party and regime led by Suharto, which continued to rule so that the GBHN could practically be sustainable, while at this time the rulers can vary depending on the results of the general election, so that members of the MPR, DPR are also members of the MPR. and the president can change so that it is predicted that he will not be able to guarantee a sustainable PPHN.Keywords: PPHN, MPR, President, Democracy
PENYELESAIAN KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA Subekti Subekti; Dudik Djaja Sidarta
Jurnal Pro Hukum : Jurnal Penelitian Bidang Hukum Universitas Gresik Vol 9 No 1 (2020): Jurnal Pro Hukum : Jurnal Penelitian Bidang Hukum Universitas Gresik
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Gresik

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55129/jph.v9i1.1127

Abstract

Kebijakan pemerintah dalam menyelesaikan kejahatan HAM berat yang terjadi di masa demokrasi otoriter akan diselesaikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Peradilan Hak Asasi Manusia . Kedua undang-undang tersebut menganut asas retroaktif. Mulai tahun 2000 sampai tahun 2004 telah terjadi empat kali perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam UUD 1945 perubahan sesuai dengan Pasal 28I tidak menganut asas retroaktif, artinya konstitusi ini melarang hukum berlaku surut. Kebijakan pemerintah ini menjadi persoalan, karena telah terjadi kontradiktif sehingga menimbulkan masalah yaitu bagaimana kebijakan pemerintah yang kontradiktif ini dalam menyelesaiakan pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu?Tujuan penelitian ini adalah menjawab dan menganalisis kebijakan pemerintah yang kontradiktif dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat yang yang terjadi di masa lalu, diselesaikan oleh undang-undang HAM yang baru ditinjau dari aspek kemanusian dan hukum. Penelitian ini dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu hukum dan humaniora, memberikan referensi dan sebagai bahan pertimbangan bagi pembentuk undang-undang dan aparat penegak hukum dalam menerapkan sebuah kebijakan yang berkenaan dengan penyelesaian kejahatan terhadap kemanusiaan.            Dalam menjawab permasalahan di atas peneliti menggunakan metode penelitian normatif, yaitu menggunakan bahan hukum primer dan bahan sekunder untuk menjawab permasalahan di atas. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatankonseptual (conceptual approach), pendekatanperaturanperundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach).Hasil penelitian adalah bahwa kebijakan dalam menyelesaikan pelanggaran HAM berat di masa lalu merupakan kebijakan yang kontradiktif, dimana asas retroaktif diterapkan, dibentuk pengadilan HAM ad Hoc tetapi aturan hukum yang diterapkan atau sanksi yang dijatuhkan menggunakan aturan KUHP yang merupakan pelanggaran HAM biasa/umum (ordinary crime). Kata Kunci : Pelanggaran HAM Berat, Kebijakan, Kejahatan Kemanusiaan