Indah Ayu Fitria
Jurusan Karawitan, FSP Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

Balungan Ladrang Slamet Laras Slendro Pathet Manyura Ditinjau dari Konsep Mancapat Indah Ayu Fitria
Resital: Jurnal Seni Pertunjukan (Journal of Performing Arts) Vol 19, No 3 (2018): Desember 2018
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1344.754 KB) | DOI: 10.24821/resital.v19i3.3512

Abstract

Ladrang Slamet bagi masyarakat Jawa tradisonal rupa-rupanya telah dipandang sebagai gending doa keselamatan. Namun, menariknya di dalam Ladrang Slamet tidak dijumpai syair yang secara eksplisit merujuk pada hal-hal yang berkenaan dengan keselamatan. Bahkan syair yang digunakan adalah cakepan salisir, yang juga sering digunakan pada gending-gending yang lain. Merujuk pada permasalahan di atas, studi ini ingin menjawab pertanyaan tentang pemaknaan keselamatan dalam Ladrang Slamet yang diasumsikan terletak pada susunan nada-nadanya. Analisis struktural yang berpijak pada konsep Mancapat dengan pendekatan mitologi digunakan untuk menguraikan struktur balungan Ladrang Slamet laras slendro pathet manyura. Melalui analisis tersebut diperoleh kesimpulan bahwa struktur Ladrang Slamet merupakan manifestasi dari sistem relasi dewa-dewa, yakni Siwa-Kama-Brahma-Narada yang mana dalam hubungan relasinya menunjukkan kapasitas Siwa sebagai sumber kekuatan yang mengatur waktu dalam mencapai kesempurnaan.Balungan Ladrang Slamet of the Slendro Pathet Manyura Reviewed from the Mancapat Concept. Ladrang Slamet for traditional Javanese people seems to be as a genre of prayer for salvation. However, interestingly, in Ladrang Slamet there are no poems that explicitly refer to matters relating to salvation. Even the poetry used is cakepan salisir, which is also often used in other songs. The study wants to discuss the meaning of salvation in Ladrang Slamet, which is assumed found in the arrangement of the notes. The structural analysis which is based on the Mancapat concept with a mythological approach is used to describe the structure of balungan Ladrang Slamet, the harmony of slendro pathet manyura. Through this analysis, it was concluded that the structure of Ladrang Slamet is a manifestation of the system of relations of the gods, namely Shiva-Kama-Brahma-Narada which in the relationship shows Shiva’s capacity as a source of power that governs time in achieving perfection.Keywords: ladrang slamet; balungan; mancapat
Permainan Stereotipe Gender: Studi Kasus Performativitas dalam Pertunjukan Wayang Kulit Ki Seno Nugroho Indah Ayu Fitria; Timbul Haryono; Vissia Ita Yulianto
Wayang Nusantara: Journal of Puppetry Vol 5, No 1 (2021): Maret 2021
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/wayang.v5i1.5181

Abstract

AbstractThis paper discusses sinden’s role and position in shadow puppet shows in the current era, with a case study of sinden on ki Seno Nugroho’s show. Butler’s gender performance theory is used to look at the performance power of sinden-sinden Ki Seno Nugroho (Apri-Mimin “the male sinden duo”and Elisha “sulawesi sinden”). Butler in theory stated that gender performanceivity was initiated to dismantle the problem of gender construction hierarchy. The gender body readed as the actor in the role. The role is performed in accordance with the manuscript he has received, while the manuscript itself is an analogy of social norms and constructions. The gender body becomes an actor who plays a role in accordance with the applicable gender law, in order to play a good role, it performs gender actions continuously and repeatedly, so that these actions establish and become gender identity. Meanwhile, the multi-sited ethnography method allows researchers to penetrate the potential of data not only on direct observation, but through other areas virtually from online sites, such as social media and Youtube sites. The data obtained successfully traced the interweaving of KSN and sinden interactions, as well as narrating the performanceivity of Apri- Mimin and Elisha built through language games. A reading of Judith Butler’s theory of gender performanceivity suggests that sinden’s performance power with the role of “male sinden duo” and “Sulawesi sinden” was built through the stereotypical imagination of gender ethnicity represented in the form of language games. On the other hand, sinden’s performanceivity is easily commodified by the puppeteer as the leader of the puppet show to gain popularity and economic benefits.AbstrakTulisan ini membahas peran dan posisi sinden dalam pertunjukan wayang kulit di era kekinian, dengan studi kasus sinden pada pertunjukan Ki Seno Nugroho. Teori performativitas gender Butler digunakan untuk melihat daya performance sinden-sinden Ki Seno Nugroho (Apri-Mimin “duo sinden banci”dan Elisha“sinden Sulawesi”). Butler dalam teorinya menyatakan bahwa performativitas gender digagas untuk membongkar persoalan hierarki konstruksi gender. Tubuh gender dibaca sebagaimana aktor yang sedang berperan. Peran tersebut dilakukan sesuai dengan naskah yang telah ia terima, sedangkan naskah sendiri adalah analogi dari norma dan konstruksi sosial. Tubuh gender menjadi aktor yang berperan sesuai dengan hukum gender yang telah berlaku, utuk dapat berperan dengan baik, ia melakukan tindakan gender secara terus menerus dan berulang, sehingga tindakan-tindakan itu menubuh dan menjadi identitas gender. Sementara itu, metode multi-sited ethnography memungkinkan peneliti merambah potensi data tidak saja pada pengamatan langsung, melainkan melalui wilayah yang lain secara virtual dari situs online, seperti media sosial dan situs Youtube. Data yang diperoleh berhasil merunut jalinan interaksi KSN dan para sinden, serta menarasikan performativitas Apri-Mimin dan Elisha yang dibangun melalui permainan bahasa. Pembacaan atas teori performativitas gender Judith Butler mengemukakan bahwa daya performativitas sinden dengan peran sebagai “duo sinden pria” dan “sinden Sulawesi” dibangun melalui imajinasi stereotipe etnisitas gender yang direpresentasikan dalam bentuk permainan bahasa. Di sisi lain, performativitas sinden dengan mudah dikomodifikasi oleh dalang sebagai pemimpin pertunjukan wayang untuk mendulang popularitas dan keuntungan ekonomi.