Ryan Fani
Universitas Langlangbuana

Published : 4 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

Kajian Hukum atas Konsep Perlindungan Saksi dan Korban dalam Rancangan KUHAP Dihubungkan dengan Realitas Hukum di Indonesia Hernawati RAS; Ryan Fani
Wacana Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum Vol 16 No 1 (2017): Wacana Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum XVI:1:2017
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Langlangbuana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kepastian hukum merupakan salah satu bentuk tujuan hukum yang sangat penting untuk diimplementasikan, berdasarkan Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 Negara Indonesia adalah Negara Hukum, salah satu ciri dari negara hukum adalah menjadikan peraturan hukum sebagai sumber hukum yang utama, jika dikaitkan dengan permasalahan kepastian hukum yang terjadi di negara Indonesia khususnya yang berkaitan dengan konsep KUHAP tentang saksi dan korban serta terbentuknya lembaga perlindungan saksi korban (LPSK), maka perlu pertimbangan tentang legitimasi konsep KUHAP jika dirasa realitas hukum yang terjadi di Negara Indonesia yang berkaitan dengan saksi dan korban belum bisa terakomodir oleh aturan KUHAP yang saat ini berlaku di Negara Indonesia (karena lebih mengedankan hak – hak tersangka) beberapa realitas yang belum bisa terakomodir oleh KUHAP yang berlaku saat ini seperti saksi dan korban kerap kali mendapatkan ancaman dari pihak – pihak tertentu, mulai dari ancaman dipecat dari pekerjaan, ancaman percobaan pembunuhan, hingga ancaman kriminalisasi, sehingga dalam hal ini saksi dan korban-pun enggan untuk bersaksi (padahal keterangan saksi dan korban sangat dibutuhkan untuk menemukan kebenaran materil), Konsep KUHAP secara luas dapat melindungi para saksi dan korban tersebut baik secara fisik maupun non fisik namun dari hasil kajian hukum ini menyimpulkan bahwa perlindungan yang terdapat dalam konsep KUHAP tersebut tidak dijelaskan secara spesifik sehingga masih terdapat kelemahan yang harus diperbaiki sebelum diegitimasi menjadi sebuah peraturan, selain itu dengan maraknya realitas hukum yang terjadi terhadap para saksi dan korban, masyarakat sangat menaruh kepercayaan besar terhadap LPSK, sehingga sudah sepatutnya LPSK dijadikan sebagai lembaga yang mempunyai eksistensi dalam sistem peradilan pidana, sehingga asas kepastian hukum bagi posisi LPSK dalam sistem peradilan pidana harus dikedepankan.
DOKTRIN PERTANGGUNGJAWABAN KOMANDO ATAS KEJAHATAN BERAT HAM MENURUT HUKUM PIDANA INTERNASIONAL Ryan Fani
Wacana Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum Vol 19 No 1 (2020): Wacana Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum XIX:1:2020
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Langlangbuana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32816/paramarta.v19i1.84

Abstract

Kejahatan berat Hak Asasi Manusia (HAM) dalam skala Internasional meliputi Kejahatan Genosida, Kejahatan terhadap kemanusiaan, Kejahatan Perang dan Kejahatan Agresi. Kejahatan berat HAM ini biasanya dijadikan sebagai alat pencapaian dari kebijakan – kebijakan pemerintah, sehingga kejahatan ini mempunyai kaitan erat dengan peran pimpinan militer maupun pimpinan sipil yang mempunyai motivasi tertentu seperti pemberian perintah untuk melakukan kejahatan berat HAM terhadap anak buahnya. Oleh karenanya hal itu akan sangat berhubungan dengan doktrin Pertanggungjawaban Komando, doktrin pertanggungjawaban komando dalam tatanan hukum internasional mempunyai penafsiran yang kurang tegas dan luas yang rentan menimbulkan rasa ketidakadilan dalam pelaksanaan penegakan hukum. Metode yang digunakan dalam artikel ini adalah metode yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder. Hasil penelitian yang didapatkan ialah ketidak tegasan dari prinsip atau doktrin pertanggungjawaban komando terdapat pada redaksi atau frasa “Ketidak-berhasilan Komandan”. frasa tersebut dapat ditafsirkan bahwa walaupun komandan/atasan telah melakukan upaya pengendalian semaksimal mungkin terhadap anak buahnya yang akan, sedang, atau telah melakukan kejahatan berat HAM, namun upaya tersebut tetap tidak berhasil dan pada faktanya anak buahnya telah melakukan kejahatan, maka atasan dimaksud dapat dipertanggungjawabkan, namun disisi lain frasa “ketidak-berhasilan” ini juga dapat ditafsirkan atas tindakan komandan/atasan yang melakukan pembiaran (ommision), artinya komandan atau atasan sama sekali tidak melakukan upaya pengendalian (Pencegahan atau tindakan) terhadap bawahan atau anak buahnya, atas dasar hal itu maka sikap atasan dimaksud dapat dipertanggungjawabkan. Ketidak tegasan prinsip atau doktrin inilah yang kemudian akan menimbulkan ketidak adilan bagi para pihak yang bersangkutan, sehingga perlu adanya pembaharuan penafsiran secara tegas atas doktrin pertanggungjawaban komando ini.
FUNGSI PENYIDIK DAN MEKANISME PENYIDIKAN DALAM KEJAHATAN BERAT HAM BERDASARKAN HUKUM PIDANA INTERNASIONAL DAN HUKUM PIDANA INDONESIA Ryan Fani
Wacana Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum Vol 20 No 2 (2021): Wacana Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum XX:2:2021
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Langlangbuana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32816/paramarta.v20i2.112

Abstract

Negara Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM), sehingga seluruh elemen terkait di Negara ini wajib meminimalisir terjadinya kejahatan berat HAM, upaya preventif yang telah dilakukan yakni dengan memberlakukan Instrumen hukum yang berkaitan dengan HAM, seperti Undang – Undang No. 39 tahun 1999 tentang HAM serta hukum pidana formil Undang – Undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, disisi lain itu Negara Indonesia juga telah meratifikasi Statuta Roma, namun dalam kenyataannya instrumen penegakan hukum terkait HAM dalam Satatua Roma tidak semua diadopsi oleh Negara Indonesia, salah satu contohnya dalam pelaksanaan penyidikan atas kejahatan berat HAM banyak perbedaan mekanisme, oleh karenanya peneliti sangat tertarik melakukan penelitian ini dengan menggunakan metode pendekatan perbandingan mekanisme pelaksanaan penyidikan yang diatur dalam Undang – Undang Pengadilan HAM dengan yang diatur dalam Statuta Roma, agar dapat diketahui apa yang menjadi kelemahan dan kelebihan dari kedua Instrumen Hukum tersebut, semata – mata demi perbaikan penegakan hukum HAM dimasa mendatang.Berdasarkan hasil penelitian, maka perbandingan mekanisme Penyidikan dalam Undang – Undang HAM dengan Statuta Roma, dilihat dari segi peran, peran penyidik sama – sama diperankan oleh Jaksa Agung dan/atau Prosecutor, dan perbedaan yang paling mencolok diantara kedua instrumen tersebut adalah dari sisi lembaga pra peradilan, dalam ICC Pra Peradilan mempunyai peran aktif, sebelum dilakukan penyidikan terhadap sebuah kasus kejahatan berat HAM maka terlebih dahulu wajib diajukan pra peradilan, sedangkan dalam instrumen Undang – Undang Nomor 26 tahun 2000 tidak mengharuskan mengajukan pra peradilan terlebih dahulu dalam melakukan Penyidikan atas Kejahatan Berat HAM.
URGENSI LEMBAGA PRAPERADILAN DI NEGARA INDONESIA SEBAGAI LEMBAGA TETAP YANG WAJIB MELAKUKAN PEMERIKSAAN PENDAHULUAN SEBELUM PERKARA DILIMPAHKAN KE PENGADILAN Ryan Fani
Wacana Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum Vol 20 No 4 (2021): Wacana Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum XX:4:2021
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Langlangbuana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32816/paramarta.v20i4.135

Abstract

Kesejahteraan rakyat (social welfare) merupakan amanat konstitusi Negara Indonesia yang harus terealisasi dengan baik, salah satu tolak ukur tercapainya kesejahteraan rakyat adalah dengan terlaksanakanya perlindungan masyarakat melalui Penegakan Hukum yang efektif, namun dalam kenyataannya masih banyak ditemui kendala – kendala dalam pelaksanaan penegakan hukum di Negara Indonesia, salah satunya terdapat tindakan sewenang – wenang aparatur penegak hukum (abuse of power). Secara empiris berdasarkan data media online, marak perkara – perkara dilapangan yang tidak jelas keberadaan statusnya, seperti perkara yang masih berjalan di tempat, perkara yang tiba – tiba dihentikan tanpa dasar hukum yang jelas. Atas hal tersebut masyarakat menilai bahwa sistem praperadilan dianggap sebagai upaya hukum atas penyelesaian permasalahan ini, bahkan menurut data, saat obyek praperadialn semakin diperluas, maka semakin meningkat pula perkara – perkara pengajuan permohonan praperadilan, namun walaupun sistem praperadilan ini dianggap sebagai jalan keluar atas permasalahan yang ada, sistem ini pun tidak terlepas dari kelemahan, seperti kelemahan sistem hakim yang pasif dan/atau sistem yang dapat dilaksanakan atas dasar permohonan pihak yang berkepentingan, sehingga terbatas dalam menjangkau perkara – perkara tertentu yang sebenarnya perlu untuk diuji melalui sistem praperadilan, permasalahan kelemahan ini yang kemudian menjadi ketertarikan bagi peneliti untuk menganalisa apakah urgen jika sistem praperadilan ini diperbaharui atau dijadikan sebagai sistem yang wajib dilalui sebelum masuk dalam pemeriksaan pokok perkara di Pengadilan dengan mengacu kepada sistem hukum pidana formil di Negara Asing. Berdasarkan hasil penelitian, maka lembaga praperadilan di Indonesia sangat urgensi menjadi lembaga tetap yang wajib dilalui sebelum perkara pidana dilimpahkan ke pengadilan seperti hal-nya dalam sistem praperadilan asing yang ada di Negara Belanda maupun di Negara Prancis hal mana dalam sistemnya tersebut lembaga praperadilan mempunyai wewenang melakukan pengawasan secara langsung terhadap kinerja penegak hukum dan meminimalisir terjadinya tindakan penegak hukum yang sewenang – wenang. Terhadap perkara - perkara yang diam ditempat atau perkara - perkara yang dalam penetapan tersangkanya tidak memenuhi bukti permulaan, maka melalui sistem praperadilan asing perkara – perkara tersebut wajib diperiksa secara langsung apakah layak untuk dilimpahkan ataukah tidak, tanpa harus menunggu pihak yang berkepentingan mengajukan permohonan praperadilan terlebih dahulu.