Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search
Journal : Psikostudia : Jurnal Psikologi

A New World Behind Bars: The Experience of Dealing with Stressors on Correctional Officer Widwi Mukhabibah; Zainal Abidin
Psikostudia : Jurnal Psikologi Vol 11, No 1 (2022): Volume 11, Issue 1, March 2022
Publisher : Program Studi Psikologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30872/psikostudia.v11i1.6840

Abstract

Correctional officer (CO) is a profession that bears high-stress exposure. If this condition is unhandled properly, it will lead to corrections fatigue, indicated by negative personality changes, socially dysfunctional thinking, and a decrease in physical and mental health and function. Therefore, implementing appropriate coping strategies can maintain the mental health of CO. Therefore, it can support the achievement of indicators for the training program given by the correctional institutions (Lapas). This research is a qualitative study using a phenomenological approach. Data was obtained through phenomenological interviews on four participants and processed by thematic analysis. To increase the credibility of the data, researchers conducted some methods such as member checking, peer debriefing, and comparisons with related theories. The results show that there are six strategies in dealing with stressors. They are building interactions with inmates, seeking social support, seeing the positive side of stressors, obeying rules, prioritizing clarification in problem-solving, and doing activities that become participant's hobbies. Dealing with stress can be used as one of the mental health promotion efforts in the prison environment. Correction officers with good physical and mental health quality have a beneficial impact not only on prisoners but also on prison institutions. Penjaga tahanan merupakan salah satu profesi yang memiliki paparan stres yang tinggi.  Kondisi tersebut apabila tidak dikelola dengan baik maka berpotensi memunculkan corrections fatigue yang ditandai dengan gejala-gejala seperti perubahan kepribadian yang negatif, socially dysfunctional thinking, penurunan tingkat kesehatan dan keberfungsian hingga penyakit fisik dan mental. Oleh karena itu, penerapan strategi coping yang tepat dapat mendukung kesehatan mental penjaga tahanan dan secara tidak langsung mendukung tercapainya indikator keberhasilan program pembinaan yang dilakukan oleh lembaga pemasyarakatan (Lapas).  Penelitian ini merupakan studi kualitatif yang menggunakan pendekatan fenomenologis.  Data diperoleh melalui wawancara fenomenologis terhadap empat orang partisipan dan diolah dengan analisis tematik.  Guna meningkatkan kredibilitas data, peneliti melakukan beberapa metode seperti member checking, peer debriefing, serta perbandingan dengan teori terkait.  Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat enam strategi dalam pengalaman menghadapi stressor yaitu membangun interaksi dengan narapidana, mencari dukungan sosial, melihat sisi positif dari stressor, menaati aturan, mengutamakan klarifikasi dalam penyelesaian masalah serta melakukan kegiatan yang menjadi hobi partisipan.  Pengalaman menghadapi stress dapat dimanfaatkan sebagai salah satu promosi kesehatan mental di lingkungan pemasyarakatan.  Kualitas kesehatan penjaga tahanan yang baik memiliki dampak yang luas bukan hanya pada narapidana namun juga institusi lapas secara umum
A Challenge for Parents? Understanding The Needs of a Psychoeducational Program for Parents of Children with Autism Spectrum Disorder Nanda Erfani Saputri; Zainal Abidin
Psikostudia : Jurnal Psikologi Vol 12, No 3 (2023): Volume 12, Issue 3, September 2023
Publisher : Program Studi Psikologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30872/psikostudia.v12i3.11175

Abstract

Autism spectrum disorder (ASD) is a disorder with a high prevalence and continues to increase from time to time. ASD is still considered a taboo and a scourge. Whereas ASD is not a disease, but a disorder characterized by a decrease in the quality of individuals in social interactions, communication skills, and repetitive interests and behaviors. Due to the increasing prevalence of ASD and the lack of available information, this study seeks to explore the need for whether a parental assistance program is needed when dealing with a diagnosis of ASD in their child. The research method used in this research is qualitative. Researchers involved 6 participants consisting of 2 parents of children diagnosed with ASD, 2 parents of children with typical development, and 2 therapists who have treated children with special. The sampling technique used is purposive sampling. The findings in this study indicate that not much is known about ASD by parents. Parents do a lot of searching independently but the information obtained is generally limited. Parents are also often still confused about understanding ASD and what actions can be taken to help their child. One of the main problems parents face when dealing with an ASD diagnosis is acceptance. Autism spectrum disorder (ASD) menjadi gangguan dengan prevalensi yang cukup tinggi dan terus meningkat dari waktu ke waktu. ASD masih dianggap tabu dan menjadi momok. Padahal ASD bukanlah suatu penyakit, melainkan sebuah gangguan yang ditandai dengan penurunan kualitas individu dalam interaksi sosial, kemampuan komunikasi, serta minat dan perilaku yang berulang. Dengan prevalensi ASD yang terus meningkat dan kurangnya informasi yang tersedia, penelitian ini bertujuan untuk menggali kebutuhan apakah suatu program psikoedukasi bagi orang tua dibutuhkan ketika menghadapi diagnosa ASD pada anaknya. Metode penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Peneliti melibatkan 6 orang partisipan yang terdiri dari 2 orang tua dengan anak terdiagnosa ASD, 2 orang tua dari anak dengan perkembangan tipikal, dan 2 orang terapis yang menangani anak berkebutuhan khusus. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling. Temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa pengetahuan mengenai ASD belum banyak diketahui oleh para orang tua. Orang tua banyak melakukan pencarian secara mandiri namun informasi yang didapat umumnya terbatas. Orang tua juga seringkali masih mengalami kebingungan dalam memahami ASD dan tindakan apa yang dapat dilakukan untuk membantu anak mereka. Salah satu permasalahan utama yang dihadapi orang tua ketika menghadapi diagnosa ASD adalah penerimaan.
Emotional Exhaustion among Child Protection Workers in Indonesia Lydia Agnes Gultom; Zainal Abidin
Psikostudia : Jurnal Psikologi Vol 13, No 2 (2024): Volume 13, Issue 2, Juni 2024
Publisher : Program Studi Psikologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30872/psikostudia.v13i2.14275

Abstract

The government through the Ministry of Women's Empowerment and Child Protection (MOWECP) has a mandate to provide the best service for handling cases of violence against children. In providing these services, child protection workers indirectly make a significant contribution in helping children avoid worse impacts. However, these child protection workers are also a group that is at risk of experiencing emotional exhaustion in their work. This study was conducted to explore the experience of emotional exhaustion felt by child protection workers in dealing with cases of violence against children and how they cope with it. This study uses a qualitative method with a phenomenological approach. Data were collected through semi-structured interviews with 4 samples of child protection workers consisting of Clinical Psychologist, Counselor, Social Worker and Advocate. The data was then analyzed using thematic analysis and revealed 4 main themes i.e. child protection workers experiencing various forms of exhaustion which are physical, emotional and mental; factors that influence the state of emotional exhaustion; child protection workers believe that their work is beneficial; and child protection workers use various ways to cope with work-related emotional exhaustion. The results of this study suggest MOWECP to complete the work system in the child protection service and provide self-care facilities for child protection workers. It is recommended that a similar study be conducted at Unit Pelayanan Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) dan and involve child protection workers with civil servant status.Pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mendapatkan mandat untuk memberikan pelayanan terbaik bagi penanganan kasus kekerasan terhadap anak. Dalam pemberian layanan tersebut, petugas layanan secara tidak langsung memberi kontribusi yang cukup besar dalam membantu anak terhindar dari dampak yang lebih buruk. Akan tetapi, petugas layanan tersebut juga menjadi kelompok yang riskan mengalami kelelahan emosional di dalam pekerjaannya. Penelitian ini dilakukan untuk menggali pengalaman kelelahan emosional yang dirasakan petugas perlindungan anak dalam menangani kasus-kasus kekerasan terhadap anak dan bagaimana mereka mengatasi hal tersebut. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Data dikumpulkan melalui wawancara semi terstruktur terhadap 4 sampel petugas layanan perlindungan anak yang terdiri dari Psikolog Klinis, Konselor, Pekerja Sosial dan Advokat. Data wawancara ini kemudian dianalisis menggunakan analisis tematik sehingga menghasilkan 4 tema utama yaitu petugas layanan perlindungan anak mengalami bentuk kelelahan yang beragam baik fisik, emosi dan mental; faktor-faktor yang mempengaruhi keadaan kelelahan emosional; petugas layanan perlindungan anak meyakini bahwa pekerjaannya memberikan manfaat; dan petugas layanan perlindungan anak menggunakan berbagai cara untuk mengatasi kelelahan emosional terkait pekerjaan. Hasil penelitian ini menyarankan KemenPPPA untuk merampungkan sistem kerja di layanan perlindungan anak dan menyediakan fasilitas self-care bagi petugas layanan. Penelitian serupa disarankan untuk dilakukan di Unit Pelayanan Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) dan melibatkan petugas layanan yang berstatus pegawai negeri sipil.
The Sandwiched Young Adults: How Do They Cope with Stress? Annisa'i Salma Nur Amalina; Zainal Abidin
Psikostudia : Jurnal Psikologi Vol 14, No 1 (2025): Volume 14, Issue 1, Maret 2025
Publisher : Program Studi Psikologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30872/psikostudia.v14i1.16632

Abstract

This study aims to describe the coping strategies of sandwich generation individuals. The sandwich generation is defined as adult individuals who are responsible for being caregivers for their nuclear family and their aging parents. Individuals in early adulthood can also bear the role of the sandwich generation. Challenges faced by the individual sandwich generation related to their condition can have a negative impact on their psychological condition, including stress. This study uses phenomenological qualitative methods to gather the coping strategies of the sandwich generation individuals, especially those in early adulthood (ranging from 18 years to 39 years). Data are collected by phone interviews, conducted in a semi-structured manner. The analysis technique used in this research is thematic analysis. The results obtained from this study shows that each subject displayed various forms of coping strategies, including active coping, planning, suppression of competing activities, seeking social support for instrumental reasons, seeking social support for emotional reasons, positive reinterpretation and growth, acceptance, turning to religion, and focusing on and venting of emotions. Penelitian ini bertujuan untuk menggali gambaran strategi koping individu generasi sandwich. Individu generasi sandwich yakni individu dewasa yang telah berkeluarga dan merawat keluarga intinya, sekaligus bertanggung jawab untuk merawat orang tua atau mertua yang telah menua. Kondisi generasi sandwich juga dapat dialami oleh individu usia dewasa awal yang baru merintis kehidupan berkeluarga. Tantangan sebagai individu generasi sandwich yang dapat berdampak negatif terhadap kondisi psikologis individu, termasuk stres. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif fenomenologi untuk mendapatkan gambaran strategi koping individu generasi sandwich, khususnya yang berusia dewasa awal (mulai dari 18 tahun hingga 39 tahun). Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara melalui telepon secara semi-terstruktur. Data kemudian dianalisis secara tematik sehingga didapatkan gambaran bentuk-bentuk strategi koping yang dilakukan oleh individu generasi sandwich usia dewasa awal. Hasil yang didapatkan dari penelitian ini, strategi koping yang dilakukan individu mencakup active coping, planning, suppression of competing activities, seeking social support for instrumental reasons, seeking social support for emotional reasons, positive reinterpretation and growth, acceptance, turning to religion, dan focusing on and venting of emotions.