Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

KONSEP PENDIDlKAN IBNU TAYMIYAH Tujuan Pendidikan dan Metode Pembelajaran Hasan Basri
Shautut Tarbiyah Vol 15, No 1 (2009): Pendidikan, Ilmu Sosial, dan Keagamaan
Publisher : Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kendari

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2603.25 KB) | DOI: 10.31332/str.v15i1.98

Abstract

Ibnu Taymiyah meletakkan ilmu sebagai hal yang tidak bebas nilai. Ilmu harus bernilai tauhid sekaligus bernilai kemanusiaan atau yang disehut dengan tabiat insaniyah. Oleh karena itu, inti dari konsep pendidiknn adalah berupaya mengembalikan umat Islam kepada Alquran dan sunnah. Metode pembelajaran menurut ibnu Taymiyah dapar dibagi dua, yakni metode menunut ilmu (metode belajar) dan metode mengajarkan ilmu (metode mega jar). Kedua metode ini hendaknya dilandasi oleh rasa ikhlas. Oleh karena itu, bagi pelajar hendaknya dalarn menutut ilmu dilandasi oleh semangat mencari rida Allah. Sementarn para guru, di samping dilandasi oleh niat yang ikhlas, hendakya juga dilandasi tanggung jawab mewarisi tugas kenabian dalam mendidik urnat.Kara Kunci: pendidikan, Ibnu Taymiyah.
Manajemen : Sejarah Dan Penerapannya Dalam Dakwah Hasan Basri
Al-MUNZIR Vol 12, No 2 (2019): November 2019
Publisher : Institut Agama Islam Negeri Kendari

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31332/am.v12i2.1480

Abstract

 Fokus pembicaraan dalam tulisan ini adalah posisi manajemen dalam pandangan Islam, baik pada aspek sejarah maupun prakteknya. Inti aktivitas manajemen sesungguhnya terletak pada upaya pengelolaan kerja sama beberapa orang untuk mencapai tujuan tertentu. Manajemen lebih bersifat seni mengelola dari pada ilmu. Dalam banyak literatur, manajemen dalam Islam kadang disebut al-idārah, al-tadbīr, al-niẓām, dan al-‘imārah. Dalam pengertian ini, manajemen lebih bersifat praktis dari pada teoretis. Secara praktis, manajemen telah dipraktekkan sejak Nabi Adam as. bersama keluarganya, dilanjutkan oleh para Nabi sesudahnya sampai datangnya Nabi Muhammad Saw., sebagai penyempurna Islam. Di zaman Islam, manajemen dipraktekkan dalam kerangka pelaksanaan Islam secara umum sebagai sistem kehidupan, pemerintahan dan pengembangan peradaban.  Tulisan ini merupakan ramuan dari berbagai literatur. Kajian ini menyajikan fakta historis kegemilangan Islam dalam sisi pengelolaan kehidupan kaum muslimin secara kolektif. Bentang panjang sejarah keemasan Islam membuktikan bahwa pengelolaan kehidupan kaum muslimin tertata sempurna termasuk dalam bidang pengelolaan dan manajemen dakwah.Dalam perspektif Islam, pengelolaan kerja sama apapun sebagai suatu kegiatan manajemen menempati posisi sebagai pengaturan aktivitas dan interaksi yang mesti terikat dengan ketentuan ajaran Islam. Ketentuan-ketentuan yang diisyaratkan oleh al-Qur’an terkait manajemen adalah berbasis pada aqidah Islam yang mengajarkan keterhubungan manusia dengan penciptanya ketika melakukan aktivitas apapun. Keterhubungan dengan Allah secara mutlak akan menghasilkan pribadi yang memiliki sikap moral dan integritas pribadi para pelaksana manajemen, mengutamakan ketulusan, keikhlasan, kejujuran, amanah, serta pelayanan yang cepat dan komunikatif. Penekanan pada adanya pribadi yang menjadikan Islam sebagai dasar aktivitasnya akan menjadikan manajemen kelembagaan apapun berjalan baik sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.Kata kunci: Manajemen, Manajemen dalam Islam.
MANAJEMEN DAKWAH RASUL SAW DI MEKKAH Hasan Basri
Al-MUNZIR No 2 (2014): Vol. 7 No. 2 November 2014
Publisher : Institut Agama Islam Negeri Kendari

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31332/am.v7i2.277

Abstract

Abstrak: Dalam Sirah Nabi saw diketahui bahwa tahapandemi tahapan yang ditempuh oleh Nabi saw dalamdakwahnya merupakan metode (thariqah) dakwah yangsangat jelas dalam rangka menegakkan Islam. Metodeitulah yang harus ditempuh sebagai kewajiban dari Allahswt (QS. al-Hasyr [59]: 7). Awal dakwahnya dimulaidengan menyeru manusia secara individu untuk menerimaIslam dan turut berdakwah, setelah itu mereka dihimpununtuk sama-sama melakukan dakwah berkelompok yangterorganisasi dengan baik. Kutlah ini dibentuk, dipimpin,dan dibina langsung oleh Nabi dalam menapaki langkahdemi langkah perjalanan dakwah. Kelompok dakwah(kutlah dakwah) yang solid ini kemudian terjun kemasyarakat menyampaikan Islam secara terbuka yangdiawali dengan penampakan kutlah, melakukan pergulatanpemikiran. Membongkar kerusakan setiap aqidah dansystem-sistem jahiliyah dan menunjukkan keagunganIslam sebagai tatanan hidup yang haq. Hal inilah yangmembuat Quraisy memusuhi Nabi saw dan dakwahnya.Ketika permusuhan semakin memuncak, Nabi sawmelakukan perjuangan politik untuk mendapatkandukungan riil dari pemegang kekuatan di tengah umat.Kelompok dakwah inilah yang kemudian berhasilmembentuk masyarakat Islam yang unik di Madinah.Kata Kunci: dakwah individu, dakwah jamaah,pertarungan pemikiran, perjuangan politik.
DISORIENTASI PENDIDIKAN MADRASAH DI INDONESIA Hasan Basri
POTENSIA: Jurnal Kependidikan Islam Vol 3, No 1 (2017): Juni
Publisher : Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24014/potensia.v3i1.3470

Abstract

Madrasah in the Middle East has known eight or nine centuries before madrasah in Indonesia, which emerged as a reaction to the reform movement as well as a response to the policy of Dutch colonizers secular education. Madrasah got a decent place in Indonesia after rising SKB 3 minister (Minister of Interior, Minister of Education and Culture, and the Minister of Religious Affairs) in 1975, where madrasas equated with other schools in terms of the status of the diploma, graduates continuing education opportunities and changing schools. In a further development, the school as disoriented. It is caused by two things: first, a paradigm shift towards sekularistik. Education implementation has marred even be interpreted as a partial instead of a holistic paradigm as desired by Islam. Supposedly, the madrasa education as a whole should make Islam as a principle in the determination of educational objectives, the formulation of the curriculum and standard of value of science and the learning process, including determining the qualifications of teachers and school culture that will be developed in the madrasas. Second, the functional institutional weakness as a result of shifting the orientation and function of the family and their influence and societal demands materialistic-hedonistic.The weakness seen in a mess madrasa curriculum, not optimal role of teachers as well as school culture that is not in line with the will of Islam.
Teologi Sains, Mengatasi Dikotomi Sains-Agama Perspektif Islam hasan basri
Zawiyah: Jurnal Pemikiran Islam Vol 5, No 2 (2019): Desember 2019
Publisher : IAIN Kendari

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31332/zjpi.v5i2.1506

Abstract

Dikotomi sains-agama yang terjadi di negeri-negeri kaum muslimin merupakan warisan bangsa-bangsa Barat dan Eropa yang telah menjajah mereka, terutama abad 18-20 M. Dikotomi tersebut telah menimbulkan kemunduran ilmu pengetahuan dan teknologi serta kerugian nonmateri berupa pola berpikir umat Islam yang terkontaminasi dengan pola dikotomis dan sekularisme. Upaya menghentikan dikotomi itu telah banyak dilakukan oleh pemikir kaum muslimin dengan gagasan integrasi antara sains dengan agama. Namun, upaya itu tampaknya kurang efektif, bahkan cenderung melanggengkan dikotomi itu sendiri. Kedudukan sains di sisi agama sebenarnya sederhana. Allah Swt. menurunkan hukum alam bagi setiap makhluk dan menurunkan wahyu kepada manusia berakal. Antara wahyu dengan hukum alam selalu selaras karena bersumber dari Pencipta, Allah Swt. Dengan kemampuan akalnya, manusia mampu melakukan penyelidikan terhadap alam dan fenomenanya serta mengungkap rahasia keteraturan dan juga keganjilan alam semesta, yang mengantarkan manusia mengetahui dan menemukan Penciptanya. Dengan kemampuan akal pula manusia mengkaji wahyu sehingga semakin mudah dipahami dan semakin tampak kesesuainnya dengan sains. Mengatasi dikotomi yang terjadi saat ini, konsep yang tepat adalah teologisasi sains melalui pola interanneal, yakni hubungan saling menguatkan. Agama mendorong untuk melakukan kajian ilmiah tentang alam dan fenomenanya. Sementara sains dan teknologi menguatkan keimanan dan memudahkan manusia dalam memenuhi tugas utamanya di bumi ini.
MANAJEMEN MULTIKULTURALISME DALAM ISLAM (Konsep Islam dalam Mengelola Keragaman dan Paham Keberagaman) Hasan Basri
Zawiyah: Jurnal Pemikiran Islam Vol 1, No 1 (2015): Desember 2015
Publisher : IAIN Kendari

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (228.18 KB) | DOI: 10.31332/zjpi.v1i1.387

Abstract

AbstrakArtikel ini mengkaji fenomena multikultur dan gagasan multikulturalisme yangberkembang di tengah masyarakat khususnya kaum muslimin. Sorotannya diarahkankepada peran Negara dalam Islam untuk mengelola keberadaannya.Islam memandang keragaman masyarakat sebagai suatu fenomena yang mutlakterjadi karena memang sengaja diciptakan oleh Allah (QS. al-Hujurât: 13). Justrukeragaman dalam seluruh aspeknya menjadi modal untuk terwujudkan kebaikan melaluisarana saling kenal. Namun, jika keragaman itu dibiarkan berjalan sendiri tanpa dikelola,atau dikelola tetapi dengan cara tidak benar, maka akan menghasilkan gesekan bahkankonflik yang berujung pada perang antarkelompok etnis, suku, atau agama. Inilah yangmasih marak terjadi dewasa ini dengan melihat kasus tawuran antarkampung atau desa,antarklub, antarpelajar, dan antarpemeluk agama. Bahkan antara sesama dalam suatu kulturatau agama yang sama. Fenomena ini tentu tidak bijak jika dijadikan alasan membenarkanumat Islam untuk mengambil gagasan multikulturalisme sebagai solusi dengan anggapanbahwa Islam adalah agama yang sangat akomodatif. Karena akomodasi Islam terhadapsemua yang datang dari luar Islam hanya berlaku pada aspek yang tidak menyentuhpemikiran, paham, dan sistem yang digunakan untuk mengatur kehidupan. Islam hanyawelcometerhadap seluruh produk budaya manusia yang terkategori benda-benda hasil sainsdan teknologi serta uslûb (teknis, administratif) untuk pelaksanaan suatu kegiatan darisebuah ajaran Islam yang masih dalam cakupan dalil-dalil umum yang tidak terdapat dalilkhusus yang men-takhsîsh keumumannya.Terkait multikulturalisme, Islam memiliki seperangkat aturan yang tegas, yaknimembolehkan mengkajinya pada level pendidikan tinggi, bukan untuk diambil danditerapkan, melainkan sebagai kajian akademik, hanya untuk diketahui dan didalamisebagai bahan perbandingan. Ketika terdapat seorang atau kelompok yangmenyebarluaskannya, Islam memberikan kewenangan kepada Negara untuk melakukanlangkah-langkah edukasi dan eksekusi. Namun, hal itu hanya memungkinkan untukterwujud dengan sempurna jika seluruh aspek ajaran Islam terlaksana dengan sempurnapula. Kehadiran sistem Islam yang sempurna itu akan terlihat jelas ketika akidah Islamdijadikan dasar dan syariat Islam dijadikan konstitusi Negara secara menyeluruh dankonsisten.Kata Kunci: Keragaman, multikulturalisme, peradaban, sistem Islam.
HARMONI MASJID-GEREJA: Relasi Jamaah Masjid Da’wah Wanita dengan Jemaat GPdI Bukit Zaitun Kendari Hasan Basri
Al-Izzah: Jurnal Hasil-Hasil Penelitian Vol 12 No. 1 Mei 2017
Publisher : Institut Agama Islam Negeri Kendari

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (488.366 KB) | DOI: 10.31332/ai.v12i1.531

Abstract

This research focuses on the relation and attitude of Da'wah Wanita Mosque’s community towards GPdI Bukit Zaitun’s community in Kendari. The research data is collected through observation and depth interviews with the community and the mosque’s boards. The results showed that the relationship of Da'wah Wanita Mosque’s community is limited to the church’s boards who live surroundings, for example day-to-day personal relationship at home, while in the church, it is individual’s muammalah. The relationships established in the form of sharing information and material assistance from the church, and the cooperation in the form of a joint commitment to maintain cleanliness, order and beauty of the worship houses. Besides, the mosque’s community attitude tends to be passive tolerance to the church’s community indicated from their acceptance of the church’s existence beside the mosque. In term of communication, they tend to be open-passive, while in willingness of sharing, they are passive-pragmatic, and for cooperation aspect, they are closed-passive. Regarding the existence of the mosque attached to the church, the mosque's community basically understand that it is not in accordance with Islamic teachings and regulations