Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

MAPPADENDANG: MEDIA PENGOBATAN TRADISIONAL PADA ORANG BUGIS DI DESA BENUA KABUPATEN KONAWE SELATAN Andi Ika Puspita Ningsih; Syamsumarlin Syamsumarlin; Hasniah Hasniah
ETNOREFLIKA: Jurnal Sosial dan Budaya Vol 5 No 2 (2016): Volume 5 Nomor 2, Juni 2016
Publisher : Laboratorium Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (8442.079 KB) | DOI: 10.33772/etnoreflika.v5i2.388

Abstract

Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan proses pelaksanaan mappadendang sebagai media pengobatan, serta mendeskripsikan fungsi dan makna mappadendang sebagai media pengobatan pada orang Bugis di Desa Benua Kabupaten Konawe Selatan. Kajian ini menggunakan metode etnografi dengan teknik pengumpulan data pengamatan dan wawancara mendalam. Data dianalisis dari awal penelitian secara deskriptif kualitatif. Mappadendang merupakan ritual pengungkapan rasa syukur kepada sang pencipta atas keberhasilan hasil panen yang dilaksanakan sekali setahun oleh masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan. Fenomena serupa juga dilakukan oleh orang Bugis perantauan yang ada di Desa Benua Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara. Mereka masih mempertahankan tradisi tersebut walaupun pekerjaan pokok mereka bukan lagi sebagai petani sawah yang menghasilkan butiran padi. Pelaksanaan mappadendang di desa ini sekaligus menjadi media pengobatan dan pencegahan penyakit bagi masyarakat. Pengobatan dilakukan oleh tokoh sentral yang disebut puang sanro (dukun). Proses mendapatkan petunjuk atau ilham dari Allah SWT yang menurut mereka melalui leluhur (puang nene) berlangsung bersamaan dengan proses mappadendang. Sedangkan pengobatan dilakukan setelah proses pelaksanaan mappadendang selesai. Puang sanro melakukan sholat 5 (lima) waktu yang bertujuan untuk meminta pertolongan kepada Allah SWT agar dapat menyembuhkan penyakit yang disebabkan oleh intervensi mahluk halus, teguran dari roh leluhur dan intervensi manusia (doti-doti). Sedangkan fungsi mappadendang selain dari pengobatan dan pencegahan penyakit juga dapat dijadikan sebagai tempat bertemunya pasangan muda-mudi, hiburan, menjalin silaturahmi, dan menjalin hubungan kekerabatan antar masyarakat yang mengahdiri acara tersebut.
BERLAYAR DENGAN PERAHU BHANGKA PADA MASYARAKAT BINONGKO DI KELURAHAN POPALIA KABUPATEN WAKATOBI Syamsumarlin Syamsumarlin
ETNOREFLIKA: Jurnal Sosial dan Budaya Vol 5 No 3 (2016): Volume 5 Nomor 3, Oktober 2016
Publisher : Laboratorium Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (672.138 KB) | DOI: 10.33772/etnoreflika.v5i3.391

Abstract

Artikel ini mendeskripsikan tentang jalur pelayaran masyarakat Binongko dalam melakukan perdagangan antar pulau dalam wilayah Indonesia menggunakan perahu bhangka. Pelayaran dan perdagangan bagi masyarakat Binongko adalah satu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan, karena mereka adalah pelaut dan sekaligus sebagai pedagang. Pelayaran dengan perahu bhangka menggunakan pengetahuan dan teknologi tradisional untuk berlayar. Pola jalur perdagangan dan barang yang diperdagangkan antar pulau selalu sama setiap periode pelayaran, sehingga pola hubungan antara pelayar dengan masyarakat daerah tujuan terjalin hubungan timbal balik yang harmonis karena mereka saling menguntungkan. Barang-barang yang diperadgangkan sudah terpola yakni dari Binongko membawa parang dan sejenisnya ke Maluku, dari Maluku membawa kopra ke Jawa, dan dari Jawa membawa kebutuhan pokok kembali ke Binongko. Sedangkan pada putaran kedua pelayar membawa parang dan sejenis ke Flores, kemudian dari Flores ke Bima menyesuaikan dengan produksi hasil panen petani atau barang-barang lain, dan dari Bima membawa garam ke Bau-Bau. Kemudian dari Bau-Bau kembali ke Binongko membawa barang-barang kebutuhan sehari-hari.
PEMBUAT IKAN TINAPO Hasniah .; Syamsumarlin Syamsumarlin; Lisnayanti Lisnayanti
ETNOREFLIKA: Jurnal Sosial dan Budaya Vol 7 No 3 (2018): Volume 7 Nomor 3, Oktober 2018
Publisher : Laboratorium Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (273.436 KB) | DOI: 10.33772/etnoreflika.v7i3.546

Abstract

The purpose of this study is to determine and to find out the defensive pressure of the families startegies who make the Tinapo fish in Molawe Village, District of Molawe, North Konawe Regency. The informants in this study are 7 families making Tinapo fish, which consists of 4 families of Tinapo fish's producers who have special ponds and 3 families of fish producers who do not have special grills. Data collection of this study is field work directly at the study site using observation techniques and depth interviews. Data analysis is using descriptive qualitative method. The results of the study show that: (1) the pressures faced by the families of the Tinapo fish producers in Molawe Village, District of Molawe, Konawe Utara Regency include the pressure of the natural environment such as raw materials which are not always available like fresh fish, firewood and receding sea water. The pressures are originating by the socio-cultural environment such as the difficulty of obtaining other jobs and the complexity of making Tinapo fish through a long process; (2) the defensive strategy of the family of Tinapo fish producers can be seen from the division of labor in the family of Tinapo fish producers in Molawe Village, District of Molawe, North Konawe regency. It is men who work externally by providing tools and materials such as preparing fish, firewood, fish piercing and grilling fish, while women are more inclined to domestic work such as cleaning fish, piercing fish and marketing the results of making Tinapo fish to the contractor or to the nearest market. Keywords: tinapo fish, family, strategy, pressure, defensive