Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search
Journal : Jurnal Matematika Sains dan Teknologi

KOMPARASI NILAI GIZI SAYURAN ORGANIK DAN NON ORGANIK PADA BUDIDAYA PERTANIAN PERKOTAAN DI SURABAYA Dwi Iriyani; Pangesti Nugrahani
Jurnal Matematika Sains dan Teknologi Vol. 18 No. 1 (2017)
Publisher : LPPM Universitas Terbuka

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (405.682 KB) | DOI: 10.33830/jmst.v18i1.173.2017

Abstract

The developing of urban agriculture is having an important contribution in food supply to the citizen. One of urban agriculture commodity which is marketable is leaf vegetable, as the sources of protein, vitamin, minerals, essential amino acids that is cheap and available everydays. Even though the developing of urban agriculture commodity in the marginal land condition, but the result is a good product. This research conducted to make a comparison of nutrition value the leaf vegetable which planted in surabaya urban agriculture, such as Kangkung (Ipomea aquatic forsk), Mustard green (Brassica rapa), and Spinach (Spinacea oleracea L.), with its similar products which are produced organically. The method used is descriptive quantitative. The total chlorophyll content and carotenoids are be measured by using spectrophotometric method at a wavelength of 480 nm, 645nm, and 663 nm.The content of vitamin C be measured by using the titration methods solution of Dichlorophenol Indophenol (DCPIP). The findings indicated that vegetable which planed in non organic agriculture, or organic, is having high enough in water content, more than 80%. The high vitamin C level is in non organic Mustard green (2,45 µg/g) and the lowest one in organic spinach (0,68 µg/g). The high chlorophyll level is in non organic spinach (23,81 mg/L) and the lowest one in non organic kangkung (3,29 mg/L). Likewise, the high carotene level is in non organic spinach (263,52 μmol/L) and the lowest one in non organic mustard green (168,02 μmol/L). The results of this study indicate that there is no particular type of leaf vegetables that has all the best nutrition value, both organic and non-organic. Pertanian perkotaan dikembangkan agar dapat memiliki kontribusi penting dalam memasok bahan pangan penduduk kota. Salah satu komoditi pertanian perkotaan yang cukup marketable adalah sayuran daun. Sayuran daun adalah sumber protein, vitamin, mineral, dan asam amino esensial paling murah dan tersedia setiap saat. Meskipun komoditi pertanian perkotaan dikembangkan di lahan yang marjinal, namun menghasilkan produk yang cukup baik. Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan nilai gizi sayuran daun yang ditanam di pertanian perkotaan kota Surabaya, yaitu kangkung (Ipomea aquatic Forsk), sawi hijau (Brassica rapa), dan bayam (Spinacea oleracea L.), dengan produk serupa yang dihasilkan secara organik. Metode yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif. Kandungan klorofil total dan karotenoid diukur dengan menggunakan metode spektrofotometri pada panjang gelombang 480 nm, 645 nm, dan 663 nm. Kandungan vitamin C diukur dengan metode titrasi larutan Dichlorophenol Indophenol (DCPIP). Hasil penelitian menunjukkan sayuran yang ditanam pada pertanian non organik, maupun organik, memiliki kadar air yang cukup tinggi, yakni lebih dari 80%. Kadar vitamin C tertinggi pada Sawi non organik (2,45 µg/g) dan terendah pada bayam organik (0,68 µg/g). Kadar klorofil tertinggi pada bayam non organik (23,81 mg/L) dan terendah pada kangkung non organik (3,29 mg/L). Demikian juga kadar karoten tertinggi pada bayam non organik (263,52 μmol/L) dan yang terendah pada sawi non organik (168,02 μmol/L). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada jenis sayuran daun tertentu yang memiliki seluruh nilai gizi terbaik, baik yang organik maupun yang non organik.
KANDUNGAN KLOROFIL, KAROTENOID, DAN VITAMIN C BEBERAPA JENIS SAYURAN DAUN PADA PERTANIAN PERIURBAN DI KOTA SURABAYA Dwi Iriyani; Pangesti Nugrahani
Jurnal Matematika Sains dan Teknologi Vol. 15 No. 2 (2014)
Publisher : LPPM Universitas Terbuka

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (307.03 KB)

Abstract

Periurban agriculture actually means agriculture that is found surrounding urban boundary. Due to heavy load for various non-agricultural activity and transportation, it necessary to pay attention on the agro-ecological conditions where each crop could grows well. The quality of environment for growing plantsin periurban influences on composition of biochemistry in plants’ tissue. The purpose of this study is to determine the chlorophyll, carotenoid, and ascorbic acid contents in three species of vegetables, those are bayam (Amaranthus tricolor, L.), kangkung (Ipomoea reptans) and sawi (Brassica juncea L.) which were cultivated in three periurban agriculture areas of Surabaya. Total contents of chlorophyll and carotenoid was measured by spectrophotometer. Vitamin C contents was analyzed by DCPIP dye method. The results showed that bayam which was cultivated in Bangkingan-Lakarsantri has the highest content of chlorophyll (3.046 mg/g ) and carotenoid (375.33 μmol/L). The highest content (4.55 μg/g) of vitamin C was found on sawi which was cultivated in Wonorejo. There was no significant difference on chlorophyll content, carotenoid content and vitamin C content between organic vegetables labeled and those are cultivated on Bangkingan-Lakarsantri periurban area. Kawasan pertanian periurban merupakan daerah pertanian yang dijumpai di sekitar pinggiran perkotaan. Berkaitan dengan tekanan lingkungan yang berat di kawasan periurban, akibat berbagai kegiatan non pertanian dan transportasi, perlu adanya perhatian terhadap kondisi agro klimat yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Kualitas lingkungan tempat tumbuh tanaman pada kawasan pertanian periurban berpengaruh terhadap komposisi kandungan biokimia jaringan tanaman. Tujuan penelitian ini adalah untuk menetapkan kadar klorofil, karotenoid, dan vitamin C pada sayuran bayam (Amaranthus tricolor, L.), kangkung (Ipomoea reptans) dan sawi (Brassica juncea L.) yang dibudidayakan di tiga kawasan periurban Kota Surabaya. Kadar klorofil dan karotenoid diukur dengan spectrophotometer, sedangkan kandungan vitamin C ditetapkan dengan metode titrasi DCPIP. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sayuran bayam yang dibudidayakan di kawasan Bangkingan-Lakarsantri memiliki kadar klorofil (3.046 mg/g) dan karotenoid (375.33 μmol/L) tertinggi. Kandungan vitamin C tertinggi (4.55 μg/g) terdapat pada sayuran sawi yang dibudidayakan di kawasan Wonorejo. Tidak ada perbedaan nyata pada kadar klorofil, karotenoid dan vitamin C antara sayuran organik dengan sayuran yang dibudidayakan di kawasan periurban Bangkingan-Lakarsantri.
PENGARUH LAJU PENUMPUKAN DAN KELEMBABAN FESES BURUNG WALET (Aerodramus Fuciphagus) PADA PERUBAHAN WARNA SARANG WALET Dwi Iriyani; Sunu Kuntjoro
Jurnal Matematika Sains dan Teknologi Vol. 13 No. 1 (2012)
Publisher : LPPM Universitas Terbuka

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Saat ini belum banyak diketahui faktor penyebab pembentukan warna merah pada sarang burung walet, dan bagaimana teknik pembentukan warna merah pada sarang burung walet tersebut. Diduga penumpukan feses mempengaruhi perubahan warna pada sarang. Penelitian ini bertujuan mengukur banyaknya feses yang dihasilkan burung walet dalam satu periode pembentukan sarang, mengobservasi pengaruh jumlah dan kelembaban feses terhadap pembentukan warna merah pada sarang. Penelitian eksploratif ini dilaksanakan di Laboratorium Penelitian dan Laboratorium Instrumen Jurusan Kimia FMIPA UNESA dan di rumah burung walet Sidayu Gresik selama 18 minggu (Nopember 2009-Maret 2010). Hasil penelitian menunjukkan feses burung walet pada awal pembentukan sarang menunjukkan jumlah yang sangat sedikit 2,16±0,90 g/minggu (minggu ke-4) dan sarang walet masih menunjukkan warna putih. Sedangkan warna merah terbentuk pada pada minggu ke-14 dengan jumlah feses walet 41,85±4,48 g/minggu. Hasil uji laboratorium menunjukkan bahwa dengan feses walet 250 gr dan kelembaban 80% terjadi perubahan warna sarang merah pada hari ke-11. Pembentukan warna merah sarang burung walet terjadi secara bertahap dengan peningkatan jumlah feses. Kesimpulan penelitian ini adalah keberadaan feses dan kelembaban feses walet menjadi faktor penentu dalam pembentukan warna merah pada sarang burung walet. Edible swallow’s nests with red color are rare and preferred by its consumers. Besides factors affecting the coloration of the birds’ nests are not well-known. It issuspected that the amount of bird’s fecal influence the nest color. Therefore, the aim of this research are to prove that swallow’s fecal can influence the establishment of red color in swallow’s nest; to measure the amount of fecal matter produced in a single swallow bird nest formation period; and to observe the effect of the amount of feces and humidity on the formation of red color of the nest. Explorative research was done at the Instrument Laboratory of Chemistry Department in FMIPA UNESA and Gresik Sidayu swiftlet house for 18 weeks (November 2010 to March 2011). The results showed that fecal in the early formation was light (2.16 ± 0.90 g / week at 4th week) and swallow’s nest color was white. The red color was formed on the 14th week with larger amount of fecal (41.85 ± 4.48 g / week). Laboratory test results showed that the 250 gr swallow fecal at 80% humidity has changed the nest color to be red on the 11th day. It can be concluded that the formation of the red color of the bird's nest happens gradually in line with increasing number of bird’s fecal. Meanwhile, humidity of fecal was also influenced the coloration process.