Claim Missing Document
Check
Articles

Found 12 Documents
Search

ANALISIS FUNGSIONAL SITUS SEWO, SOPPENG nfn Hasanuddin
WalennaE Vol 4 No 1 (2001)
Publisher : Balai Arkeologi Provinsi Sulawesi Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3203.861 KB) | DOI: 10.24832/wln.v4i1.117

Abstract

Megalithic culture is the biggest puzzle in pre-historic age. Living monument tradition or continuous mega­lithic tradition at Sewo site, for instance, is unable to explain its character or time it represented. This paper is attempting to analyze pre-historic elements and tradition which has no strict limitations. Etnoarchaeological approach is used to exploring ideas (mental template), site functions and social organization from megalithic supported community of Sewo, Soppeng.
POLA PEMUKIMAN DALAM ARKEOLOGI: REKONSTRUKSI EKOLOGI, KEBUDAYAAN, DAN STRUKTUR MASYARAKAT nfn Hasanuddin
WalennaE Vol 4 No 2 (2001)
Publisher : Balai Arkeologi Provinsi Sulawesi Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2638.504 KB) | DOI: 10.24832/wln.v4i2.128

Abstract

Settlement pattern concept appears in 1940s in America, and in these last few years has already been implemented in many researches in Indonesia. What is the real settlement pattern in archaeology and how does it scope? Willey, Vogt, Rouse and Mundardjito's concepts which are emphasizing in pattern, distribution, and its relations are interesting to be attended to understand and to reconstruct the past ecology, culture and social structure.
BEBERAPA KONSEP KEBUDAYAAN DAN APLIKASINYA DALAM ARKEOLOGI nfn Hasanuddin
WalennaE Vol 5 No 1 (2002)
Publisher : Balai Arkeologi Provinsi Sulawesi Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2625.944 KB) | DOI: 10.24832/wln.v5i1.140

Abstract

Tulisan ini merupakan penjelasan singkat dari karya J. Ned Woodall berjudul An Introduction to Moderen Archaeology. Dalam karyanya tersebut Woodall menguraikan beberapa konsep kebudayaan dan aplikasinya dalam penelitian arkeologi seperti konsep historical particularism, structural fungsional system, cultural materialism dan cultural ekologi. Adanya keragaman konsep kebudayaan yang bisa dipergunakan dalam penelitian arkeologi disebabkan oleh sifat data arkeologi itu sendiri, yaitu sangat terbatas dalam hal jumlalah maupun kualitas dari data tersebut. Maka dari itu diperlukan sebuah konsep kebudayaan yang harus sesuai dengan data-data yang di peroleh dalam sebeuah penelitian arkeologi.
PEMANFAATAN SITUS GUA SEBAGAI STRATEGI ADAPTASI MANUSIA PRASEJARAN DI MAROS, SULAWESI SELATAN nfn Hasanuddin
WalennaE Vol 5 No 2 (2002)
Publisher : Balai Arkeologi Provinsi Sulawesi Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1706.591 KB) | DOI: 10.24832/wln.v5i2.152

Abstract

Wilayah Maros memiliki bukti peninggalan kehidupan masa lalu. Peninggalan tersebut menjasi suatu indikasi bahwa gua-gua daerah Maros umumnya pernah dihuni oleh manusia pendukung khususnya masa berburu tingkat lanjut. Melihat situasi ini, mereka memanfaatkan sumberdaya alam yang tersedia. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan strategi adaptasi manusia prasejarah di Maros. Metode digunakan berupa pengumpulan data pustaka yang mencoba menerapkan konsep antropologi dalam menginterpretasi data arkeologi. Hasil yang diperoleh bahwa gua sebagai hunian memberikan tempat yang nyaman dan perlindungan diri terhadap perubahan iklim. Manusia prasejarah juga mengembangkan kearifan tersendiri dalam menghadapi alam. Tindakan manusia yang memilih tempat hunian, disadari atau tidak telah mengubah ekosistem gua menjadi  ekosistem buatan, perubahan ini disebabkan oleh kegiatan manusia itu sendiri.
PERMUKIMAN DI SEPANJANG DAERAH ALIRAN SUNGAI BIANG KEKE DAN CALENDU KABUPATEN BANTAENG, SULAWESI SELATAN nfn Hasanuddin
WalennaE Vol 11 No 1 (2009)
Publisher : Balai Arkeologi Provinsi Sulawesi Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (5621.796 KB) | DOI: 10.24832/wln.v11i1.202

Abstract

Bantaeng is one of the regencies in South Sulawesi which has history that came since 13th cen­tury. There are many cultural remains found in this area especially from prehistoric and Islamic period. Bantaeng was still a small kingdom in southern Sulawesi peninsula. The whole site has been surveyed along the Biang Keke River at the east side of Bantaeng and the Calendu River in the middle side of Bantaeng. The presence of big rivers with its branch that get upstream at Lompobattang's mountainside and flows across many Bantaeng's regions, allows the creation of settlement that rely on the farm fecundity and availability of fresh water. In later times, the settle­ments along the river flows of Biang Keke and Celendu river is constitute a small kingdom that depends on trade and agriculture sector.Bantaeng adalah salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan yang memiliki sejarah sejak abad ke-13. Ada banyak sisa-sisa budaya yang ditemukan di daerah ini terutama dari periode prasejarah dan Islam. Bantaeng masih merupakan kerajaan kecil di semenanjung Sulawesi selatan. Seluruh situs telah disurvei di sepanjang Sungai Biang Keke di sisi timur Bantaeng dan Sungai Calendu di sisi tengah Bantaeng. Kehadiran sungai-sungai besar dengan cabangnya yang berhulu di lereng gunung Lompobattang dan mengalir melintasi banyak wilayah Bantaeng, memungkinkan terbentuknya permukiman yang mengandalkan kesuburan pertanian dan ketersediaan air tawar. Di kemudian hari, pemukiman di sepanjang aliran sungai Biang Keke dan sungai Celendu merupakan kerajaan kecil yang tergantung pada sektor perdagangan dan pertanian.
INDIKASI PERMUKIMAN SITUS-SITUS BERCIRI AUSTRONESIA DI PANTAI TIMUR DAN SELATAN PULAU SELAYAR nfn Hasanuddin
WalennaE Vol 11 No 2 (2009)
Publisher : Balai Arkeologi Provinsi Sulawesi Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (5033.896 KB) | DOI: 10.24832/wln.v11i2.210

Abstract

The arrival of Austronesian communities in South and Southeast Sulawesi did not occur at the same time. Allegedly the coast of South and Southeast Sulawesi mainland inhabited earlier than the small islands to the south. The strategy used is a survey primarily on sites along the east coast and southern Selayar Island. The entire site is the coast with a discovery of a corpse coffin was left of human bones are stored in a cave, bronze bracelets, and artifacts of stone tools and fragments of pottery. Utilization of caves and niches shows a multi-resi­dential space that functions as a dwelling (with indication of shellfish), industrial (with indication of stone tools and chips/waste rock), and the burial place (which proved the dis­covery of human bones and container tomb called duni placed in the cave).Kedatangan masyarakat Austronesia di Sulawesi Selatan dan Tenggara tidak terjadi pada saat yang bersamaan. Diduga pantai daratan Sulawesi Selatan dan Tenggara dihuni lebih awal dari pulau-pulau kecil di selatan. Strategi yang digunakan adalah survei terutama pada situs di sepanjang pantai timur dan Pulau Selayar selatan. Seluruh situs adalah pantai dengan penemuan peti kubur yang tersisa dari tulang manusia yang disimpan di gua, gelang perunggu, dan artefak alat-alat batu dan pecahan tembikar. Pemanfaatan gua dan ceruk menunjukkan ruang multi-residen yang berfungsi sebagai tempat tinggal (dengan indikasi kerang), industri (dengan indikasi alat-alat batu dan keripik / batuan sisa), dan tempat pemakaman (yang membuktikan adanya penemuan tulang manusia dan wadah makam yang disebut duni ditempatkan di gua).
EKSISTENSI BENTENG WABULA SEBAGAI BENTUK PERTAHANAN BERLAPIS KERAJAAN BUTON, SULAWESI TENGGARA nfn Hasanuddin
WalennaE Vol 12 No 1 (2010)
Publisher : Balai Arkeologi Provinsi Sulawesi Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (4972.109 KB) | DOI: 10.24832/wln.v12i1.224

Abstract

This research is a methodological and theoretical application in the context of the fortress kingdom Wabula Buton. Wabula research coverage consists of two main components, namely building the fortren with several cultural components that are involved and the geographic position of Buton keletakannya is an island-shaped country with strategic location on the sea route connecting the producing islands in eastern spices. To strengthen the defense system in maintaining the sovereignty of the kingdom, then the Sultan of Buton built several fortresses scattered layered in some areas, one of whom Wabula castle. Position Wabula fortress overlooking the sea is the political strategy were taken into account, because the position on a hill overlooking the beach make the attackers participated in the defense through the region. Penelitian ini adalah aplikasi metodologis dan teoritis dalam konteks kerajaan benteng Wabula Buton. Cakupan penelitian Wabula terdiri dari dua komponen utama, yaitu membangun fortren dengan beberapa komponen budaya yang terlibat dan posisi geografis Buton keletakannya adalah negara berbentuk pulau dengan lokasi yang strategis di jalur laut yang menghubungkan pulau-pulau penghasil rempah-rempah di timur. Untuk memperkuat sistem pertahanan dalam menjaga kedaulatan kerajaan, maka Sultan Buton membangun beberapa benteng yang tersebar di beberapa daerah, salah satunya benteng Wabula. Posisi benteng Wabula yang menghadap ke laut adalah strategi politik yang diperhitungkan, karena posisi di atas bukit yang menghadap ke pantai membuat para penyerang berpartisipasi dalam pertahanan melalui wilayah tersebut.
BENDE WUTA (BENTENG TANAH) DALAM KONTEKS SEJARAH BUDAYA MEKONGGA SULAWESI TENGGARA nfn Hasanuddin
WalennaE Vol 12 No 2 (2010)
Publisher : Balai Arkeologi Provinsi Sulawesi Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (5462.302 KB) | DOI: 10.24832/wln.v12i2.238

Abstract

This research was conducted in Wundulako, Kolaka, Southeast Sulawesi, which express the geographic location of the fort the ground, and it contains a number of artifacts through survei and excavation methods. Archaeological data in said Collaborate with tradition and geological data. Citadel Land (Bende Wuta) was established by Latoranga the XVII century (around 1676). Survei data to produce findings of a metal currency (coins), fragments of pottery and ceramics. Excavation data showed the existence of the artificial soil structure and modification of forms of material available in the vicinity. From the comparative aspect that shows the shape of the blockhouse and fortified the settlement as well as the king and his family. Besides, the position of land fort called Wuta Bende is 471 m from the river showed Lamekongga maintaining a strategic position in the kingdom's sovereignity Mekongga.Penelitian ini dilakukan di Wundulako, Kolaka, Sulawesi Tenggara, yang mengungkapkan lokasi geografis benteng alam, dan berisi sejumlah artefak melalui metode survei dan ekskavasi. Data arkeologi di katakan Berkolaborasi dengan data tradisi dan geologi. Citadel Land (Bende Wuta) didirikan oleh Latoranga pada abad XVII (sekitar 1676). Survei data untuk menghasilkan temuan mata uang logam (koin), pecahan tembikar dan keramik. Data penggalian menunjukkan adanya struktur tanah buatan dan modifikasi bentuk bahan yang tersedia di sekitarnya. Dari aspek komparatif yang menunjukkan bentuk benteng yang melindungi raja dan keluarganya. Selain itu, posisi benteng tanah yang disebut Wuta Bende berjarak 471 m dari sungai menunjukkan Lamekongga mempertahankan posisi strategis dalam kedaulatan kerajaan Mekongga.
POTENSI DAN SEBARAN ARKEOLOGI MASA ISLAM DI SULAWESI SELATAN Muhammad Husni; nfn Hasanuddin
WalennaE Vol 13 No 2 (2011)
Publisher : Balai Arkeologi Provinsi Sulawesi Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3799.63 KB) | DOI: 10.24832/wln.v13i2.260

Abstract

Sebaran peninggalan arkeologi Islam memang cukup menarik dibicarakan, karena kejadiannya berlangsung cukup lama dalam konteks masyarakat yang konservatif. Namun menjadi identifikasi dasar legitimasi kultural dan kepeloporan pembaharuan dalam masyarakat. Masuknya Islam di Sulawesi Selatan agak terlambat jika dibandingkan dengan kawasan sekitarnya seperti Maluku, Kalimantan, dan Pesisir Utara Jawa. Sejak awal abad ke-17 Masehi, masyarakat Sulawesi menganut agama Islam dan dicap sebagai orang Nusantara yang paling kuat identitas keislamannya. Meskipun demikian, pada saat yang sama berbagai kepercayaan dan tradisi yang berasal dari Praislam masih tetap dipertahankan oleh sebagian masyarakatnya hingga akhir abad ke-20 Masehi. Di beberapa daerah yang juga menerima Islam, bahkan mengalami perkembangannya dengan bukti-bukti arkeologis berupa makam yang megah dan kaya akan ragam hias. Indikasi yang dapat diamati mengenai proses islamisasi yaitu terdapatnya beberapa peninggalan arkeologi berupa kompleks-kompleks makam, mesjid dan naskah-naskah kuno yang ditulis dengan huruf Arab. Peninggalan makam-makam Islam jika dihubungkan dengan kajian proses Islamisasi di setiap daerah, merupakan data yang sangat penting, karena makam sebagai salah satu perilaku ritual sekaligus perilaku sosial dan merupakan salah satu fenomena yang harus ada dalam siklus kehidupan manusia. Demikian pula dengan transformasi budaya yang dapat dilihat pada bentuk makam dan nisan yang digunakan.Spreading of Islamic archaeological inheritance is an interesting topic to be discussed, because it occurred in conservative society for a quite long period of time. It became basic identification for cultural legitimating and renewal pioneering in society. Although the spreading of Islam in South Celebes was a little slow compared with other regions such as Moluccas, Borneo and north of Java. In early 17th century, people of Celebes professed Islam. They were labeled as people with the strongest Islamic identity in Indonesian archipelago. But in the same time, some beliefs and traditions ofpre-Islam were still maintained in the society until the end of 20th century. In some regions, Islam showed its development with some archaeological evidences of luxurious graves with rich ornaments. Islamisation process was indicated on some archaeological inheritance of graves, mosque and ancient scripts written in Arabic. Related to study of Islamisation process in every region, inheritance of Islamic graves is a very important data. Graves indicates as one of ritual and social behavior. It was one of phenomenon that always occur in human life. Likewise, cultural transformation could be seen on graves and gravestones.
TEMUAN MEGALIT DAN PENATAAN RUANG PERMUKIMAN DI KABUPATEN ENREKANG nfn Hasanuddin
WalennaE Vol 13 No 2 (2011)
Publisher : Balai Arkeologi Provinsi Sulawesi Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3955.75 KB) | DOI: 10.24832/wln.v13i2.264

Abstract

Situs Tampo dan Situs Buntu Marari adalah situs megalitik yang ditemukan di wilayah Kabupaten Enrekang. Kedua situs tersebut memperlihatkan keberagaman dan sebaran data artefaktual yang cukup menarik untuk dikaji dalam penelitian arkeologi permukiman. Temuan umpak dan struktur bangunan teras membuktikan adanya sistem permukiman yang cukup kompleks dengan sifat kemandirian yang dibangun dalam jalinan sistem okupasi. Lokasi yang berada di daerah ketinggian menunjukkan tingkat okupasi yang cukup tinggi dengan akselerasi penggunaan lokasi berdasarkan pertimbangan teknologis. Dikatakan demikian karena sistem permukiman itu berlangsung di daerah ketinggian yang disesuaikan dengan faktor geografis daerah Enrekang. Mungkin juga lebih disebabkan oleh pertimbangan keamanan, karena daerah ketinggian cukup strategis untuk kemanan, baik secara hubungan komunal maupun dari faktor alam seperti menghindari kemungkinan banjir.Tampo and Buntu Marari Sites are megalithic sites found in the area of Enrekang Regency. These sites show the diversity and distribution of artefactual data that interesting to study in the research of archaeological settlements. Extolled and terrace structure findings proves the existence of a fairly complex settlement system with independence properties built within the occupational system. Location which is located at an altitude regions show a fairly high level of occupational therapy with acceleration of location utilizing based on technological considerations. It was said, because the system of settlements took place in the region height adjusted by geographic factor of Enrekang area. It may also be more due to security considerations, because the height is a good strategic area for safety, both communal relationships as well as natural factors such as avoiding the possibility of flooding.