Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

KERUSAKAN EKOSISTEM MANGROVE AKIBAT KONVERSI LAHAN DI KAMPUNG TOBATI DAN KAMPUNG NAFRI, JAYAPURA Meivy Arizona; Sunarto Sunarto; Djalal Tandjung
Majalah Geografi Indonesia Vol 23, No 1 (2009): Majalah Geografi Indonesia
Publisher : Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (89.198 KB) | DOI: 10.22146/mgi.13325

Abstract

ABSTRAK Daerah penelitian adalah desa Tobati dan Nafri di Jayapura-Papua. Tujuan dari penelitian ini adalah 1) mengetahui jenis-jenis mangrove yang telah diubah oleh aktivitas manusia, 2) untuk mengetahui kondisi air dan tanah di daerah yang telah diubah oleh konversi lahan, 3) untuk mengetahui tanggapan masyarakat tentang ekosistem mangrove rusak dan mereka memberikan kontribusi dalam pengelolaan ekosistem mangrove. Metode yang digunakan adalah garis transek plot kuadrat di zona mangrove dan daerah distribusi dengan tiga kali pengulangan. Ukuran plot kuadrat adalah 10m x 20m untuk pohon, 1m x 1m untuk tumbuh-tumbuhan, bibit dan rerumputan. Parameter adalah ukuran kerapatan, frekuensi, daerah basal dan nilai-nilai penting mangrove. Langkah-langkah parameter fisika adalah air yang meliputi pH suhu, salinitas, dan kualitas tanah seperti bahan organik, Savailable Pavailable, Caavailable, Mgavailable, Naavailable, Ntotal, pH, suhu dan tekstur tanah. Analisis parameter fisika menggunakan analisis varian. Sosial parameter yang diukur adalah jumlah populasi, pekerjaan, pendidikan, dan pengetahuan tentang ekosistem mangrove. Metode yang digunakan untuk mengidentifikasi budaya masyarakat desa Tobati adalah survied dan diwawancarai dengan 50 responden. Para responden telah dipisahkan dalam 2 kelompok dari 40 repondents yang diambil dari desa Tobati dan sisanya diambil dari desa Nafri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya tujuh jenis mangrove (Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata, Rhizophora sfylosa, tagal Csriops, Snnneratia alba, Xylocarpus dan hydrophyllacea mollucensis Scyphiphora) di desa Tobati. Spesies mangrove yang menunjukkan di desa Nafri yang sembilan jenis, tujuh spesies yang mirip dengan Tobati kecuali Bruguiera gymnorrhiza dan Aegiceras comiculatum tidak menunjukkan di desa Tobati. Keberadaan vegetasi mangrove yang telah diubah oleh konversi lahan di desa Tobati didominasi oleh Rhizophora spp. Di desa Nafri sebagai daerah kontrol menunjukkan bahwa pembentukan mangrove masih dalam kondisi baik.  ABSTRACT The research area are Tobati and Nafri villages in Jayapura-Papua. The aim of this research is 1) to study the kinds of mangrove that had been changed by human activities, 2) to study the condition of water and soil in the area which had been changed by land conversion, 3) to know the society responses about the mangrove ecosystems damaged and their contributes in mangrove ecosystems management.The methods used are transect line quadrate plots across the mangrove zones and distribution area with three times repeating. The quadrate plot sizes were 10m x 20m for trees, 1m x 1m for herbs, seedling and grasses. The parameter measures were densities, frequencies, basal areas and important values of mangrove. The physic parameter measures were water that included temperature pH, salinity, and soil qualities such as organic matters, Savailable Pavailable, Caavailable, Mgavailable, Naavailable,  Ntotal, pH, temperature and the soil textures. The analysis of the physic parameter was using variant analysis. Social parameter that been measured were numbers of population, occupation, education, and knowledge about mangrove ecosystems. The methods that used for identifying the culture of the society of Tobati villagers were survied and interviewed with 50 respondents. The respondents have been separated in 2 groups of 40 repondents that were taken from Tobati village and the rest of it were taken from Nafri village.The results showed that mere are seven species of mangrove (Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata, Rhizophora sfylosa, Csriops tagal, Snnneratia alba, Xylocarpus mollucensis and Scyphiphora hydrophyllacea) in Tobati village. Species mangrove that showed in Nafri village were nine species, seven species which similar with Tobati except for Bruguiera gymnorrhiza and Aegiceras comiculatum were not showed in Tobati village. The existence of mangrove vegetation that been changed by land conversion in Tobati village were dominated by Rhizophora spp. In Nafri village as the control area showed that the formation of mangrove is still in the good condition.
Klasifikasi Pohon Keputusan untuk Kajian Perubahan Penggunaan Lahan Kota Semarang Menggunakan Citra Landsat TM/ETM+ Like Indrawati; Hartono Hartono; Sunarto Sunarto
Majalah Geografi Indonesia Vol 23, No 2 (2009): Majalah Geografi Indonesia
Publisher : Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1274.449 KB) | DOI: 10.22146/mgi.13330

Abstract

ABSTRAK Kota Semarang masih berkembang pesat. Dengan jumlah penduduk sekitar 1.434.025 jiwa (BPS, 2006) yang tinggal di kota, kota ini bisa disebut kota metropolitan. Pertumbuhan penduduk Kota Semarang sejak tahun 1994 ketika ekspansi ke 16 daerah kabupaten menunjukkan perbaikan. Kondisi ini menyebabkan kebutuhan lahan yang lebih tinggi, sehingga konversi lahan pertanian menjadi nonpertanian akan meningkat. Untuk yang terakhir, data dari jarak jauh-merasakan memainkan peran penting yang memberikan informasi terbaru untuk penggunaan lahan. Hal ini harus didukung oleh canggih metodologi pengolahan gambar seperti otomatis klasifikasi spektral. Penelitian ini mencoba untuk membandingkan dua algoritma klasifikasi Landsat TM digital / ETM + adalah classifier kemungkinan dan keputusan pohon maksimum, akurasi tertinggi berikutnya digunakan untuk studi perubahan penggunaan lahan di Kota Semarang. Penggunaan lahan klasifikasi yang diterapkan memiliki berbeda dua-tahap detail untuk skala 1: 250.000 (tingkat I) dan 1: 100.000 (level II). Hasil ini pada penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan lahan peta klasifikasi pohon keputusan pada akurasi keseluruhan dan Kappa Indeks lebih tinggi dari penggunaan lahan peta hasil maximun klasifikasi kemungkinan dan penggunaan lahan klasifikasi tingkat I memiliki akurasi yang lebih baik daripada penggunaan lahan klasifikasi tingkat II. Akurasi tingkat I klasifikasi di peta tahun 1994, untuk klasifikasi kemungkinan maksimum yang diperoleh adalah 54,14% yang memiliki indeks Kappa adalah 0,4822, dan akurasi untuk klasifikasi pohon keputusan adalah 66,34% dengan indeks Kappa 0,6256. Akurasi peta tahun 2002 untuk klasifikasi kemungkinan maksimum yang diperoleh adalah 75,12% yang memiliki indeks Kappa 0713, dan keputusan klasifikasi pohon akurasi 81,46% yang memiliki indeks Kappa 0787. Pada peta tahun 2006 untuk klasifikasi kemungkinan maksimum yang diperoleh adalah akurasi keseluruhan 78,05% yang memiliki indeks Kappa 0,7641 dan keputusan klasifikasi pohon akurasi 82,45% yang memiliki indeks Kappa 0805. Perubahan penggunaan lahan di Kota Semarang menginstruksikan turunnya perkebunan dan lahan pertanian dan meningkatnya penyelesaian dan industri. ABSTRACT The  Semarang  City  is  still  growing  rapidly.   With  total  population  of approximately 1,434,025 people (BPS, 2006) who lived in the city, this city can be called a metropolitan city. Growth of Semarang City population since 1994  when expansion into 16 district areas showed improvement. This condition caused the need of  land higher, so that the conversion of agricultural into nonagricultural land will increased. For the latter, remotely-sensed data plays an important role which provide updated information for land use. This is must be supported by the advanced of image processing methodology such as automated   spectral  classification. This study attempted to compare two classification algorithm of digital Landsat TM/ETM+ is the maximum likelihood and decision tree classifier, the next highest accuracy used for the study of land use change in the Semarang City. Land use classification which was applied has different two-stage of the detail for scale of 1 : 250.000 (level I)  and 1 : 100.000 (level II). This  result  on  this  study indicate  that  the  landuse  map  of  decision  tree classification  on overall accuracy and Kappa Index was higher than landuse map of result maximun likelihood classification and land use classification of level I   have accuration which better than land use classification of level II. The accuracy of level  I classification at map year 1994, for maximum likelihood classification obtained is 54,14%  that  have  Kappa  index  is  0,4822,  and  the  accuracy  for  decision  tree classification is 66,34% with Kappa index 0,6256. The accuracy of map year 2002 for maximum likelihood classification obtained is 75,12% that have Kappa index 0,713, and for decision tree classification accuration of 81,46% that have Kappa index 0,787. At map year 2006 for maximum likelihood classification obtained  is overall accuration of 78,05% that have Kappa index 0,7641 and for decision tree classification accuration of 82,45% that have Kappa index 0,805. Change of land use in Semarang City instruct the  descent  of  plantation  and  agricultural  land and increasing  of  settlement  and industrial.
Pengaruh Aktivitas Masyarakat terhadap Kerusakan Hutan Mangrove di Rarowatu Utara, Bombana Sulawesi Tenggara Wa Alimuna; Sunarto Sunarto; Sigit Heru Murti
Majalah Geografi Indonesia Vol 23, No 2 (2009): Majalah Geografi Indonesia
Publisher : Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (206.305 KB) | DOI: 10.22146/mgi.13332

Abstract

ABSTRAK Hutan mangrove penting keberadaannya karena memberikan fungsi ekologi dan fungsi ekonomis bagi kehidupan masyarakat pesisir. Kerusakan hutan mangrove yang terjadi bersumber dari perilaku masyarakat untuk membuka lahan tambak, budidaya perikanan, dan penebangan liar karena semakin besarnya permintaan terhadap produksi kayu. Penelitian ini bertujuan untuk : 1) mengkaji tingkat kerusakan hutan mangrove; 2) mengkaji aktivitas masyarakat yang mempengaruhi kerusakan hutan mangrove; 3) mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas masyarakat terhadap kerusakan hutan mangrove; 4) mengkaji peran serta masyarakat dalam mengelola hutan mangrove. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode survei melalui wawancara dengan menggunakan kuisioner. Analisis data menggunakan tabel silang, kemudian hasilnya dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa melalui perhitungan INP (Indeks Nilai Penting) diketahui bahwa jenis vegetasi mangrove yang mendominasi dan memiliki peranan penting pada hutan mangrove di Desa Watumentade adalah jenis Bruguiera gymnorrhiza (tingkat semai (92,21), tingkat sapihan (87,98), dan tingkat pohon (139,84)), dan di Desa Tunas Baru adalah jenis Rhizophora mucronata (tingkat semai (67,52), tingkat sapihan (73,52), dan tingkat pohon (80,88)). Aktivitas masyarakat yang mempengaruhi terjadinya kerusakan hutan mangrove meliputi kegiatan pertambakan, dan penebangan liar yang digunakan sebagai kayu bakar dan bahan bangunan. Faktor-faktor kondisi sosial ekonomi yang mempengaruhi ativitas masyarakat meliputi pendidikan formal, pengetahuan, dan pendapatan masyarakat. Faktor tingkat pendidikan, pengetahuan (fungsi dan manfaat hutan mangrove, kerusakan hutan mangrove, dan pencegahan kerusakan hutan mangrove), dan pendapatan berpengaruh terhadap aktivitas masyarakat dalam bentuk penggunaan lahan pertambakan yang menyebabkan kerusakan terhadap hutan mangerove. Peranserta masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove ditujukan oleh tindakan pencegahan kerusakan hutan mangrove, pada tingkat sedang (41,67%). ABSTRACT Presence of mangrove forest is very necessary because it serve ecological and economical functions to beach inhabitants’ life. Mangrove forest was damaged as result of inhabitants’ behavior to open embankment area, fishing, and illegal logging due to big demand for wood products. Objectives of research were (1) to study damage rate of mangrove forest; (2) to study inhabitants’ activity affecting damage of mangrove forest; (3) to study factors having effects of inhabitants’ activity on damage of mangrove forest; (4) to study roles of inhabitants in cultivating the mangrove forest. Methods used in this research were survey methods through interview using questionnaires. Data were analyzed by using cross-tables, the results were analyzed descriptively. Results of research indicated that, from calculation of INP (Important Value Index), it was known that types of mangrove vegetation dominating and having important role in mangrove forest in Watumentade Village were types of Bruguiera gymnorrhiza (rate of seedling (92.21), rate of sapling (87.98), and rate of trees (139.84)); and in Tunas Baru Village were types of Rhizophora mucronata (rate of seedling (67.52); rate of sapling, (73.52); and rate of trees (80.88)). Inhabitants’ activity affecting damage of mangrove forest included activity of embankment, and illegal logging used as firewood and building materials. Factors of social-economic condition affecting inhabitants’ activity included formal education, knowledge, and inhabitants’ income. Factors of educational level, knowledge (function and benefit of mangrove forest) and income affected inhabitants’ activity in uses of embankment area were causing damage of mangrove forest. Inhabitants’ role in cultivating mangrove forest was aimed by mangrove forest damage prevention at medium rate (41.67%). 
Rekonstruksi Hutan Purba di Kawasan Karst Gunungsewu dalam Periode Sejarah Manusia Lies Rahayu Wijayanti Faida; Sutikno Sutikno; Chafid Fandeli; Sunarto Sunarto
Jurnal Ilmu Kehutanan Vol 5, No 2 (2011)
Publisher : Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (690.6 KB) | DOI: 10.22146/jik.1852

Abstract

Penelitian ini dilakukan di kawasan karst Gunungsewu yang terletak di wilayah kabupaten Gunungkidul, ai Kanigoro hingga Wediombo. Ada dua tujuan dalam penelitian ini, yaitu (1) menemukenali sejarah flora yang menghuni karst Gunungsewu dan (2) merekonstruksi profil hutan-purba berdasarkan periode sejarah manusia. Pendekatan Paleoetnoforestri digunakan metode dasar untuk rekonstruksi hutan, yang berpijak pada hukum uniformitas dan pendekatan analogi. Analisis polen dan pentarikhan radio karbon menjadi alat untuk rekonstruksi hutan selama periode sejarah kebudayaan manusia pada kala Holosen. Perolehan data di analisis secara komparatif dan asosiatif untuk mendapatkan jawaban secara kausatif, sehingga dapat ditarik kesimpulan induktif tentang kondisi hutan purba. Umur lapisan pengendapan polen dinyatakan dengan BP (Before the Present). Pernyataan umur dengan BP ini biasa digunakan dalam mempelajari sejarah kebumian, dan secara Internasional ditetapkan tahun 1950 sebagai titik awal. Untuk mempelajari sejarah kebudayaan manusia digunakan skala Sebelum Masehi-Masehi (SM-M), yang didasarkan pada kelahiran Kristus sebagai titik awal dalam kalender Masehi. Penelititan ini menghasilkan varisai tiga tipe flora dari jaman prasejarah hingga saat ini, yaitu tipe hutan bagian bawah pada 16.894±440 hingga 9.296±140 tahun BP (18.844-11.246 SM), tipe hujan tropika pada 9.296±140 hingga 1.753±90 tahun BP (11.246-3.703 SM), dan tipe hutan monsun pada 1.753±90 tahun BP hingga tarikh modern (3.703 SM - 1950 M). Kelompok flora Euphorbiaceae merupakan kelompok flora yang masa penghuniannya paling lama, yaitu ditemukan pada 16.894±440 tahun BP hingga sekarang, sedangkan kelompok Moraceae yang saat ini dikenal sebagai flora identitas kawasan karst ditemukan pada 9.296±440 tahun BP. Rekonstruksi profil hutan purba pada jaman prasejarah manusia menunjukkan bahwa hutan pegunungan bagian bawah pernah menghuni kawasan karst sejak sebelum periode Keplek, kemudian memasuki periode Keplek hingga Ngrijangan berubah dihuni oleh hutan hujan tropis, dan pada periode Klepu berubah menjadi tipe monsun. Tipe monsun ini terus berlangsung hingga jaman sejarah, bahkan sampai dengan saat ini. Ciri kebudayaan prasejarah yang subsistem dapat menjelaskan, bahwa bukan faktor antropogenik yang menyebabkan bukan tipe flora, merupakan karena perubahan iklim yang dipicu oleh berakhirnya zaman es yang menandai berakhir kala Pleistoten.Kata kunci: Analisis polen, hutan purba pentarikhan karbon, zaman prasejarah, situs palentologiReconstruction of Paleoforest in Gunungsewu Karst Area in the Period of Human HistoryAbstractThis research was carried out in Gunungsewu Karst area, Gunungkidul District from Kanigoro to Wediombo. The main objectives of this research are (1) to identify floristic history and (2) to reconstruct the palaeoforest profiles in the area. Palaeoecobotanical approach is used as the basis for the reconstruction of palaeoforest. Descriptive-explanatory methods were used to explore, interpret, and reconstruct floristic tracks from pollen analysis, radiocarbon dating, vegetation analysis, and also human cultural history. Explanatory approach was used to describe collected data, to compare, to find association, and to explain the research finding. Hypothetical tests were done by deductive-inductive logics, using general theories for basic foundation to be verified by facts from the fields. This research resulted in three types of flora from Prehistoric times to the present, that is tropical mountainous forest of 16,894±440 - 9,296±140 years BP, tropical rainforests in 9,296±140 - 1,753±90 years BP, and monsoonal forests in 1,753±90 years BP until now. The Euphorbiaceae was the oldest flora occupied the area, existed between 16,894±440 years BP until now, while the Moraceae which is known as the karstic floral identity began to be found since 9,296±140 years BP. Reconstruction of palaeoforest in human prehistory provides information that the tropical mountain forests had inhabited the area before the era of Keplek, then entering the era of Keplek until Ngrijangan the tropical rainforest occupied this area. In the era of Klepu, the forest has been turned into the monsoon type and this type persists through history until now. Cultural traits of prehistoric subsistence can explain that change in the types of flora is not caused by anthropogenic factors, but due to climate change triggered by the ice age expiration that marked the end of the Pleistocen.