Aziz Fahrurrozi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Published : 4 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

PENDIDIKAN KARAKTER DALAM KISAH ALQUR’AN DAN KEHIDUPAN EMPIRIK Fahrurrozi, Aziz
FIKRAH Vol 3 No 2 (2019): DESEMBER
Publisher : Ibn Khaldun University, Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32832/fikrah.v3i2.20528

Abstract

Pendidikan di Indonesia dalam pandangan Asep Saefuddin dalam The Dancing Leader adalah pendidikan bernuansa pelatihan. Ada hal mendasar yang memperkuat argument dari pandangannya yaitu seharusnya pendidikan di Indonesia merupakan dasar bagi pembangunan bangsa bukan subsektor dari pembangunan itu sendiri. Ini berarti bahwa makna pendidikan telah direduksi dari yang seharusnya menjadi dasar pembangunan manusia Indonesia seutuhnya menjadi subsector pembangunan.( Asep: 2011: 197). Contoh produk pelatihan sangat banyak sekali misalnya; pengemudi yang lulus mendapat sim masih tetap hoby melanggar lalu lintas karena produk pelatihan yang dipentingkan adalah keterampilan tetapi mengabaikan bahaya kemanusiaan atas pelanggarannya itu. Apalagi yang hanya mendapat sim tembak tidak procedural. Demikian pula oknun petugas pajak sangat lihai menghitung berapa baesaran wajib pajak yang harus dibayar, namun penyimpangan atas pajak demikian merajarela. Karena pendidikan kita sangat bernuansa pelatihan dan hanya menguji kecerdasan seperti alat uji dengan memberlakukan UN, hasilnya hanya melatih siswa cerdas memilik soal-soal obyektif tes yang lemah membekali analisis problem. Dalam konteks di atas maka jika ada upaya-upaya mata pelajaran agama juga digiring untuk di UN kan hanya karena alasan agar mendapat perhatian pembelajarar dalam kegiatan proses. Ini pertanda makin menunjukkan kegagalan orientasi pendidikan agama yang harusnya membentuk moral dan karakter menjadi terampil menjawab soal-soal yang isinya menguji berbagai tentang; tentang shalat, tentang wudhu, tentang rasa hormat, tentang iman dll. Semuanya dibelajarkan dengan nihil nilai keberagamaan dan nihil moral, karena yang dikembangkan bukan potensi spiritual melainkan hanya wilayah kognitif semata. Kegagalan ini menurut hemat penulis jangan berjustifikasi atas nama UN sebagai solusi kegagalan, melainkan harus dievaluasi ulang, mulai dari cara membelajarkan, materi bahan ajar yang sudah terlalu tidak up to date untuk kepentingan kekinian baik kontennya maupun penjelasan dan contoh-contohnya termasuk juga pendekatan yang ditawarkan. Lihat satndar isi PAI baik di Sekolah maupun Madrasah.
PEMBELAJARAN BAHASA ARAB : PROBLEMATIKA DAN SOLUSINYA Fahrurrozi, Aziz
Arabiyat : Jurnal Pendidikan Bahasa Arab dan Kebahasaaraban Vol. 1 No. 2 (2014)
Publisher : Syarif Hidayatullah State Islamic University of Jakarta, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/a.v1i2.1137

Abstract

There are some factors influencing teaching and learning of foreign language. In teaching Arabic, for example, linguistic factors, such as Phonology, Grammatical rules, Morphology, and Vocabulary. Non linguistic factor also influences teaching and learning Arabic, for example, teaching aids, teaching method, age and environment. Teaching method in Arabic classroom is one of the important factor. This article discusses how linguistic factor and non linguistic factor influenced Arabic Classroom. DOI: 10.15408/a.v1i2.1137
STANDARISASI KOMPETENSI BAHASA ARAB BAGI CALON SARJANA PERGURUAN TINGGI KEAGAMAAN ISLAM NEGERI Wahab, Muhbib Abdul; Fahrurrozi, Aziz; Musthafa, Tulus; Arifin, Syamsul
Arabiyat : Jurnal Pendidikan Bahasa Arab dan Kebahasaaraban Vol. 5 No. 1 (2018)
Publisher : Syarif Hidayatullah State Islamic University of Jakarta, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/a.v5i1.6691

Abstract

This study aims to explore, analyze, and formulate the standard of Arabic competence for prospective graduates of S1 in UIN Jakarta and UIN Yogyakarta related to four language skills: listening, speaking, reading, and writing based on the assessment of Arabic language requirements and standards. This research used qualitative approach. In collecting the data, the researchersplayed themselve as "the main instrument" in observation, in-depth interviews, and FGD (Focussed Group Discussion). The findings of this study indicate that the competence of Arabic-based needs assessment and standard of Arabic language science is emphasized on the skills of reading and understanding Islamic texts relevant to the scholarship developed by Department and Faculty. Thus, the competence of Arabic in both UIN is accentuated on the religious orientation, namely the fulfillment of the need for understanding and scientific deepening relevant to the Prodi and the Faculty, so that Arabic is positioned as the main media in Islamic studies. These findings had implications for the importance of academic policy affirmations from UIN second leaders for the development of curricula, syllabus, teaching materials, strategies and methodologies of learning Arabic skills.
PENDIDIKAN KARAKTER DALAM KISAH ALQUR’AN DAN KEHIDUPAN EMPIRIK Fahrurrozi, Aziz
FIKRAH Vol 3 No 2 (2019): DESEMBER
Publisher : Ibn Khaldun University, Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32832/fikrah.v3i2.20528

Abstract

Pendidikan di Indonesia dalam pandangan Asep Saefuddin dalam The Dancing Leader adalah pendidikan bernuansa pelatihan. Ada hal mendasar yang memperkuat argument dari pandangannya yaitu seharusnya pendidikan di Indonesia merupakan dasar bagi pembangunan bangsa bukan subsektor dari pembangunan itu sendiri. Ini berarti bahwa makna pendidikan telah direduksi dari yang seharusnya menjadi dasar pembangunan manusia Indonesia seutuhnya menjadi subsector pembangunan.( Asep: 2011: 197). Contoh produk pelatihan sangat banyak sekali misalnya; pengemudi yang lulus mendapat sim masih tetap hoby melanggar lalu lintas karena produk pelatihan yang dipentingkan adalah keterampilan tetapi mengabaikan bahaya kemanusiaan atas pelanggarannya itu. Apalagi yang hanya mendapat sim tembak tidak procedural. Demikian pula oknun petugas pajak sangat lihai menghitung berapa baesaran wajib pajak yang harus dibayar, namun penyimpangan atas pajak demikian merajarela. Karena pendidikan kita sangat bernuansa pelatihan dan hanya menguji kecerdasan seperti alat uji dengan memberlakukan UN, hasilnya hanya melatih siswa cerdas memilik soal-soal obyektif tes yang lemah membekali analisis problem. Dalam konteks di atas maka jika ada upaya-upaya mata pelajaran agama juga digiring untuk di UN kan hanya karena alasan agar mendapat perhatian pembelajarar dalam kegiatan proses. Ini pertanda makin menunjukkan kegagalan orientasi pendidikan agama yang harusnya membentuk moral dan karakter menjadi terampil menjawab soal-soal yang isinya menguji berbagai tentang; tentang shalat, tentang wudhu, tentang rasa hormat, tentang iman dll. Semuanya dibelajarkan dengan nihil nilai keberagamaan dan nihil moral, karena yang dikembangkan bukan potensi spiritual melainkan hanya wilayah kognitif semata. Kegagalan ini menurut hemat penulis jangan berjustifikasi atas nama UN sebagai solusi kegagalan, melainkan harus dievaluasi ulang, mulai dari cara membelajarkan, materi bahan ajar yang sudah terlalu tidak up to date untuk kepentingan kekinian baik kontennya maupun penjelasan dan contoh-contohnya termasuk juga pendekatan yang ditawarkan. Lihat satndar isi PAI baik di Sekolah maupun Madrasah.