Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

Islam Nusantara, ulemas, and social media: understanding the pros and cons of Islam Nusantara among ulemas of West Sumatera Benny Ridwan; Iswandi Syahputra; Azhari Akmal Tarigan; Fatahuddin Aziz Siregar
Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies Vol 9, No 2 (2019): Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies
Publisher : IAIN Salatiga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18326/ijims.v9i2.163-188

Abstract

The concept of Islam Nusantara, which is defined as Islam that accommodates the customs and culture of the (Indonesian) Archipelago, has been rejected by the West Sumatera branch of Indonesian Ulema Council (MUI). Meanwhile, other groups in West Sumatera support the Islam Nusantara concept. This article explains the pros and cons of Islam Nusantara among religious leaders in West Sumatera in the context of social media activities. Ulemas rejected Islam Nusantara in West Sumatera based on the perspective that Islam as a religion has reached peak perfection,adding the word Nusantara is, thus, unnecessary. Other religious leaders in West Sumatera have embraced Islam Nusantara based on the view that in terms of customs in Minangkabau, the principle of Adaik Bersandi Syarak, Syarak Bersandi Kitabullah is followed. This is a field study employing the qualitative method of approach. Data were obtained via in-depth interviews with four West Sumatran religious figures (ulemas) and subsequently analyzed in an interpretative and descriptive manner. The findings in this study show that the ulemas’ rejection of Islam Nusantara via Facebook indicates a shift in the definition of ulemas as religious leaders to that of opinion makers. This is a new finding that has never been studied before as it places the pros and cons of Islam Nusantara within the context of virtual culture. Consequently, this study has implications on the definition of ulemas as religious leaders overlapping with their part as opinion makers and opinion leaders in the current era of new media.Gagasan Islam Nusantara sebagai Islam yang mengakomodir adat dan budaya Nusantara ditolak kehadirannya oleh Majelis Ulama Indonesia wilayah Sumatera Barat. Sementara itu terdapat kelompok lain yang mendukung gagasan Islam Nusantara di Sumatera Barat. Artikel ini menjelaskan pro dan kontra di antara pemuka agama tentang Islam Nusantara di Sumatera Barat dalam konteks aktivitas di media sosial. Islam Nusantara di tolak oleh Ulama di Sumatera Barat didasari oleh pandangan umum bahwa Islam sebagai agama telah mencapai sempurna, sehingga tidak diperlukan penambahan kata Nusantara. Sedangkan pemuka agama lainnya menerima Islam Nusantara di Sumatera Barat karena didasari oleh pandangan umum bahwa adat di Minangkabau Sumatera Barat berpegang pada prinsip Adaik Bersandi Syarak, Syarak Bersandi Kitabullah. Data penelitian dikumpulkan melalui wawancara mendalam terhadap empat pemuka agama (ulama) di Sumatera Barat. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa aktivitas ulama yang menolak Islam Nusantara melalui facebook menggambarkan pergeseran makna Ulama dari religius leader ke opinion maker. Namun pergeseran tersebut justru mengokohkan ulama sebagai pemilik otoritas keagamaan. Temuan ini dapat berimplikasi pada terminologi ulama sebagai religius leader pada era media baru akan berhimpitan dengan terminologi opinion maker dan opinion leader sebagai terminologi baru pada era media baru.
PEMBERITAAN MEDIA ONLINE: STUDI KASUS KONFLIK BUDAYA “SEDEKAH LAUT” DI PANTAI BARU, NGENTAK, BANTUL, YOGYAKARTA Eko Saputra; Iswandi Syahputra; Bono Setyo
Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora Vol. 9 No. 2 (2020)
Publisher : Universitas Pendidikan Ganesha

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23887/jish-undiksha.v9i2.17542

Abstract

Penelitian ini menelisik tentang konflik Sedekah Laut melalui media online di Pantai Baru, Dusun Ngentak, Desa Poncosari, Bantul-Yogyakarta. Berangkat dari fenomena sosial. Artikel ini membahas mengenai bagaimana media online melaporkan peristiwa konflik Sedekah Laut di Pantai Baru, bagaimana media online memposisisikan pemberitaanya terhadap kepentingan publik dan institusi medianya dan bagaimana media online membentuk fakta dan opini publik di masyarakat. Studi ini menggunakan metode kualitaif dengan pendekatan analisis isi kualitatif (qualitatif massage analisis). Hasil studi ini menunjukan bahwa konflik Sedekah Laut di Pantai Baru disebabkan oleh perbedaan interpretasi hukum Islam dalam memahami Sedekah Laut. Kelompok konservatif menilai, tidakan tradisi Sekekah laut ialah menyimpang dari Islam, dengan kata lain haram, syirik (yang dapat menyebabkan seorang bisa keluar dari Islam). Sementara kelompok Islam moderat dan respon masyarakat setempat, sedah laut tidak menyimpang dari nilai ajaran Islam. Justru dengan kehadiran tradisi tersebut, membuat masyarakat semakin religious, memperkuat keimananya dan menguatkan hubungan persaudaraan.
PENGGUNAAN MEDIA SOSIAL DAN KEMARAHAN RELIGIUS DALAM KASUS PEMBAKARAN VIHARA DI KOTA TANJUNG BALAI, INDONESIA Iswandi Syahputra
Epistemé: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman Vol 13 No 1 (2018)
Publisher : IAIN Tulungagung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21274/epis.2018.13.1.149-172

Abstract

Public activities carried out on social media may trigger religious identity based social riot. Such social unrest is observed to have surfaced initially as religious rage channeled via social media. It is, indeed, a fact that various issues on religion, which is regarded as sacred, hallowed, and revered, are discussed freely on social media, and it may very easily incite social turbulence. In the case of vihara burning and rioting in the city of Tanjung Balai, North Sumatera, Indonesia, a social riot was instigated by users of social media who mutually provoked resentment against one another, there was also the Budha statue which posed as a latent triggering factor threatening inter-religious relations within societal culture fond of congregating. This article discusses the case of vihara burning which had occurred in Tanjung Balai, North Sumatera, Indonesia, where in research data were acquired through in-depth interviews with several informants active on social media, community figures, and police personnel.
Strategi Media Relations Perusahaan Pertambangan Timah dan Agenda Setting Media di Bangka Belitung Iswandi Syahputra
Jurnal Kajian Komunikasi Vol 6, No 1 (2018): June 2018
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (326.754 KB) | DOI: 10.24198/jkk.v6i1.15233

Abstract

Artikel ini menjelaskan strategi media relations yang digunakan oleh perusahaan pertambangan timah di provinsi Bangka Belitung dalam menyusun agenda setting media. Satu sisi, perusahaan pertambangan timah memiliki agenda agar dapat melakukan penambangan sesuai peraturan. Pada sisi lainnya, pemerintah daerah sebagai pihak yang berada di luar institusi media massa dan perusahaan pertambangan juga memiliki agenda tersendiri. Sehingga persoalan pertambangan timah di Bangka Belitung memiliki potensi konflik kepentingan, bukan saja antar perusahaan dengan pemerintah, tetapi juga dengan warga masyarakat. Penelitian ini bertujuan mengetahui bagaimana strategi media relations perusahaan pertambangan timah dalam menyusun agenda setting media massa di Bangka Belitung. Ini merupakan penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui observasi partisipatoris. Data penelitian ini diperoleh melalui pengamatan dan partisipasi semi tertutup serta wawancara dengan sejumlah informan yang memiliki kompetensi dan relevansi dengan masalah penelitian. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa media massa sebagai institusi ekonomi digerakkan melalui prinsip transaksional. Pada sisi lain, perusahaan penambang timah dan pemerintah daerah memiliki agenda setting bersama. Relasi berbagai sisi tersebut merupakan faktor internal yang terjadi dalam suatu iklim media baru yang sangat dinamis. Sedangkan aktivitas yang sangat dinamis pada era media baru tersebut merupakan faktor eksternal. Relasi antara faktor internal dan eksternal tersebut digambarkan sebagai hal yang dapat menyusun agenda setting media. Agenda setting merupakan teori yang menjelaskan media membentuk agenda khalayak. Sehingga khalayak cenderung menilai suatu hal menjadi penting karena media menilai suatu hal tersebut penting.
Agama di Era Media: Kode Religius dalam Industri Televisi Indonesia Iswandi Syahputra
ESENSIA: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin Vol. 17 No. 1 (2016)
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/esensia.v17i1.1283

Abstract

This article will examine the relation between religion and religious symbol in television media industry era in Indonesia. In order to understand religion thought which is transcendental, community needs religious symbol. Religious symbol contains several codes that can be interpreted socially and culturally. Television as an industry produces religious code as a comodity. Religious comodity then being used as a strategy to widen its viewer. Relation between those conditions can lead to a new mass culture and symbolic religiosity. In mass society, religion turns into an entertainment instead of guidance. In the end, religion in social life will be practiced by consuming religious symbol only. This condition shows the lack of religious spirituality. Where, religion without spirituality only leaves ritual.[Artikel ini akan membahas relasi agama dan simbol keagamaan dalam era industri media televisi di Indonesia. Untuk menghayati ajaran agama yang bersifat transenden masyarakat membutuhkan berbagai simbol religius. Simbol religius tersebut memuat sejumlah kode yang dapat dibaca secara sosial dan budaya. Televisi sebagai industri memproduksi kode religiusitas tersebut sebagai sebuah komoditas. Komoditas religius kemudian digunakan sebagai strategi untuk memperluas cakupan khalayak penonton. Relasi berbagai kondisi-kondisi tersebut dapat menuju pada satu situasi baru budaya massa dan religiusitas simbolik. Dalam masyarakat massa, agama berubah menjadi tontonan bukan tuntunan. Pada bagian hilir, kehadiran agama dalam kehidupan sosial cukup dipraktekkan dengan mengkonsumsi berbagai simbol religius. Kondisi ini menunjukkan hilangnya spritualitas agama. Padahal, agama tanpa spiritualitas hanya menyisahkan ritual.]
Staying at Home: The Perspectives of Minangkabau Ulemas Concerning Husbands' Provision of Sustenance in Covid-19 Impacted Households Fatahuddin Aziz Siregar; Azhari Akmal Tarigan; Nofialdi Nofialdi; Febri Yulika; Iswandi Syahputra; Nurhayati Nurhayati; Benny Ridwan
JURIS (Jurnal Ilmiah Syariah) Vol 21, No 2 (2022)
Publisher : Institut Agama Islam Negeri Batusangkar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31958/juris.v21i2.6551

Abstract

The article discusses the perspectives of Minangkabau ulemas in West Sumatra concerning the ruling for husbands incapable of providing a living for their wife as a result of the COVID-19 pandemic. In West Sumatra, some husbands were unable to provide sustenance to their wife because they were dismissed from their employment due to the COVID-19 pandemic. The study findings are highly specific as Minangkabau customs and culture are grounded on a matrilineal system, yet they remain to be based on Islamic sharia. The research data were acquired by in-depth interviews with three influential ulemas in West Sumatra and a prominent customary figure who is the Chair of the Minangkabau Adat Council. The study found that according to the Minangkabau customary and cultural perspective, husbands are duty-bound to earn a living outside their home while their wife remains at home. Such spousal relationship has an impact on the wife’s acceptance of the husband who became jobless since they were dismissed on account of the pandemic. A condition wherein wives can accept being married to a husband incapable of providing a living on account of the COVID-19 outbreak does not become a legal issue. Accordingly, the study will have implications on the formation of new categories concerning the husband’s obligation to provide sustenance to his wife during a state of emergency.
PENGGUNAAN MEDIA SOSIAL DAN KEMARAHAN RELIGIUS DALAM KASUS PEMBAKARAN VIHARA DI KOTA TANJUNG BALAI, INDONESIA Iswandi Syahputra
Epistemé: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman Vol 13 No 1 (2018)
Publisher : Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung State Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21274/epis.2018.13.1.149-172

Abstract

Public activities carried out on social media may trigger religious identity based social riot. Such social unrest is observed to have surfaced initially as religious rage channeled via social media. It is, indeed, a fact that various issues on religion, which is regarded as sacred, hallowed, and revered, are discussed freely on social media, and it may very easily incite social turbulence. In the case of vihara burning and rioting in the city of Tanjung Balai, North Sumatera, Indonesia, a social riot was instigated by users of social media who mutually provoked resentment against one another, there was also the Budha statue which posed as a latent triggering factor threatening inter-religious relations within societal culture fond of congregating. This article discusses the case of vihara burning which had occurred in Tanjung Balai, North Sumatera, Indonesia, where in research data were acquired through in-depth interviews with several informants active on social media, community figures, and police personnel.